Opini

7 Alasan Buruh Indonesia Gelar Mogok Nasional: Kurang Argumentatif

Oleh : indonews - Sabtu, 03/10/2020 21:20 WIB

Omnibus Law. (Foto: Ilustrasi/Mojok)

Oleh : TW Deora dan Wildan Nasional *)

INDONEWS.ID -- Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menjelaskan bahwa mogok nasional dilakukan sesuai dengan UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh khususnya Pasal 4 yang menyebutkan, fungsi serikat pekerja salah satunya adalah merencanakan dan melaksanakan pemogokan. Selain itu, dasar hukum mogok nasional yang akan kami lakukan adalah UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan UU No 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

Ada tujuh hal yang lainnya, menurut Said, buruh Indonesia menolak keras dan tidak menyetujui hasil kesepakatan tersebut. Ketujuh isu yang ditolak buruh adalah:

Pertama. UMK bersyarat dan UMSK dihapus. Buruh menolak keras kesepakatan ini.

UMK  tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada. Karena UMK tiap kabupaten/kota berbeda nilainya.

Kedua. buruh menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan. Di mana 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan.

Ketiga. PKWT atau kontrak seumur hidup tidak ada batas waktu kontrak. Dalam hal ini, buruh menolak PKWT seumur hidup. Keempat. Outsourcing pekerja seumur hidup tanpa batas jenis pekerjaan yang boleh di outsourcing. Padahal sebelum, outsourcing dibatasi hanya untuk 5 jenis pekerjaan. Buruh menolak outsourcing seumur hidup.  Kelima. Waktu kerja tetap eksploitatif. Buruh menolak jam kerja yang eksploitatif. Keenam. Hak cuti hilang dan hak upah atas cuti hilang. Cuti haid dan melahirkan bagi pekerja perempuan terancam hilang, karena hak upahnya atas cuti tersebut hilang. Begitu pun dengan cuti panjang dan hak cuti panjang, juga berpotensi hilang. Ketujuh. Karena karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup, maka jaminan pensiun dan kesehatan bagi mereka hilang.

 

Kurang Argumentatif

Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menjelaskan, mogok nasional dilakukan sesuai dengan UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh khususnya Pasal 4 yang menyebutkan, fungsi serikat pekerja salah satunya adalah merencanakan dan melaksanakan pemogokan. Pendapat tersebut kurang lengkap karena dalam pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2020 disebutkan juga fungsi serikat pekerja/serikat buruh juga disebutkan sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya; sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya; sebagai perencana, pelaksana, dan penanggungjawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan.

Dalam membaca pasal ini, khususnya dengan “ancaman mogok nasional” KSPI cs maka perlu ditanyakan pertama kali, apakah dengan mogok nasional akan membuat hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan? Disamping itu, pasal ini juga mengisyaratkan mogok kerja “harus seizin” pemilik perusahaan, sehingga hanya pemilik perusahaan yang “patah arang” saja yang mengijinkan buruhnya mogok kerja, bahkan penulis yakin perusahaan akan menjadikan mogok kerja yang dilakukan buruh sebagai senjata memecat atau mem-PHK mereka.

Pertanyaan terakhir disebutkan dalam pasal 4 yang dikutip Said Iqbal, “sebagai perencana, pelaksana, dan penanggungjawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”, penulis belum yakin sepenuhnya pimpinan tertinggi serikat pekerja/serikat buruh mau masuk “hotel prodeo/penjara” jika mogoknya ricuh, mengganggu roda perusahaan dan pesertanya ada yang terkena Covid-19.

Sebelum melakukan mogok kerja dan unjuk rasa, sebaiknya buruh di tingkat grassroots atau anggota serikat pekerja/serikat buruh menyadari Pasal 37 huruf b UU Nomor 21 Tahun 2020 yaitu serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bubar dalam hal perusahaan tutup atau menghentikan kegiatannya untuk selama-lamanya yang mengakibatkan putusnya hubungan kerja bagi seluruh pekerja/serikat buruh di perusahaan setelah seluruh kewajiban pengusaha terhadap pekerja/buruh diselesaikan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut penulis, mogok kerja dan unjuk rasa terus menerus menolak Omnibus Law akan menyebabkan hal ini terjadi dan hal tersebut merugikan buruh, karena mereka akan kehilangan pekerjaan akibat bubar atau tutupnya perusahaan.

Tindakan mogok kerja merupakan jalan terakhir (ultimum remedium) yang dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menekan pengusaha agar mau memperbaiki dan atau meningkatkan sistem pengupahan dan atau kondisi-kondisi kerja. Walaupun mogok kerja diakui sebagai hak asasi pekerja berdasar Konvensi ILO Nomor 87 Tahun 1948 dan Konvensi ILO Nomor 98 Tahun 1949, negara mempunyai kepentingan untuk mengatur dan membatasi mogok kerja. Pada perspektif Indonesia dan Malaysia, mogok kerja diakui sebagai hak asasi pekerja berdasarkan alasan bahwa hak pekerja untuk mogok adalah penting sebagai sarana penyeimbang dalam hubungan industrial. Namun demikian, ada perbedaan dalam kontrol dan pembatasan mogok kerja yang dilakukan oleh negara melalui pengaturan hukum. Pada perspektif Indonesia, kontrol dan pembatasan mogok kerja tidak diberikan secara ketat karena alasan demokrasi dan hak asasi manusia. Ini berbeda dengan perspektif Malaysia bahwa kontrol dan pembatasan diberikan secara ketat dengan alasan prioritas kepentingan ekonomi nasional. Jika gara-gara Omnibus Law, terjadi unjuk rasa dan mogok kerja, maka penulis menyarankan untuk Indonesia tidak segan-segan meniru Malaysia dalamm mengatasinya.

Sementara itu, terkait tujuh hal dimana buruh Indonesia menolak keras dan tidak menyetujui hasil kesepakatan tersebut, maka dapat dijelaskan sebagai berikut : ada 7 substansi pokok perubahan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja. Pertama, pesangon. Dalam RUU Cipta Kerja, ada penyesuaian perhitungan besaran pesangon. Di dalamnya, pemerintah menambah program baru yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JPK). Kementerian Ketenagakerjaan telah mendata pembayaran pesangon di tahun 2019. Hasilnya, dari 539 persetujuan bersama (PB) untuk pesangon, hanya 27 persen saja yang sesuai ketentuan. Sebanyak 73 persen terjadi tidak sesuai ketentuan. Dalam perkembangan terakhir, panitia kerja sepakat bahwa pesangon 32 kali ini dihapus. Sebagai gantinya akan ada sistem campuran, 23 akan ditanggung perusahaan dan 9 ditanggung pemerintah. Menurut ekonom senior Universitas Indonesia (UI) Chatib Basri, Foreign Direct Investment (FDI) atau investasi asing langsung lebih menyasar Vietnam, dibandingkan Indonesia. "Vietnam itu, pesangonnya setengah kali Indonesia," kata dia, 23 Juli 2019.

Kedua, upah minimum. Dalam RUU Cipta Kerja, upah minimum tidak dapat ditangguhkan. Kenaikan upah minimum menggunakan formulasi pertumbuhan ekonomi daerah dan produktivitas. Selanjutnya, basis upah pada tingkat provinsi alias Upah Minimum Provinsi (UMP) dan dapat ditetapkan pada kabupaten atau kota, dengan syarat tertentu. Artinya, tetap ada peluang munculnya Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Sementara untuk UMKM, akan ada upah tersendiri.

Ketiga, Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Dalam RUU Cipta Kerja, ada perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK. Ada tiga manfaat yaitu Cash Benefit, Vocational Training, dan Job Placement Access. Pekerja yang mendapatkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan ini, akan tetap mendapatkan lima jaminan sosial lainnya di BP Jamsostek, maupun BPJS Kesehatan. Rinciannya yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), Jaminan Kematian (JT), dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Program ini sebenarnya sudah banyak berjalan di negara lain, yang dikenal sebagai Unemployment Insurance.  Beda dengan Indonesia, Amerika tidak mengatur besaran pesangon untuk pekerja.

Keempat, pekerja kontrak. Dalam RUU Cipta Kerja, pekerja kontrak akan diberikan hak dan perlindungan yang sama dengan pekerja tetap. Antara lain dalam hal upah hingga jaminan sosial. Pengaturan ini terjadi karena revolusi industri 4.0 membuat lahirnya pekerja baru yang bersifat kontrak. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2019, di mana ada sekitar 7,8 juta pekerja yang berhenti bekerja dengan perincian karena masa kontrak habis mencapai 2,2 juta orang: Pendapatan kurang sebesar 1,5 juta: Tidak cocok dengan pekerjaan sebesar 1,1 juta; Mengurus rumah tangga sebesar 700 ribu dan terkena PHK sebesar 500 ribu orang.

Kelima, waktu kerja. Dalam RUU Cipta Kerja, aturan 5 dan 6 jam ini dihapus. Hanya ada ketentuan waktu kerja paling lama 8 jam per hari dan 40 jam per minggu. Ini terjadi karena ada pekerjaan khusus yang waktunya dapat kurang dari 8 jam, seperti pekerja paruh waktu dan pekerja digital. Maupun sebaliknya, pekerjaan di atas 8 jam seperti minyak dan gas, pertambangan, perkebunan, pertanian, dan perikanan.

Keenam, Tenaga Kerja Asing. Dalam RUU Cipta Kerja, ada kemudahan RPTKA untuk TKA ahli yang memang diperlukan untuk kondisi tertentu. Contohnya untuk maintenance (darurat), vokasi, peneliti, hingga investor.

Ketujuh, outsourcing. Dalam RUU Cipta Kerja, tenaga outsourcing sebenarnya merupakan bentuk hubungan Business to Business (B2B). Tapi dalam RUU ini, perusahaan penyedia jasa outsourcing wajib memberikan hak dan perlindungan yang sama bagi pekerjanya. Baik sebagai pekerja kontrak, maupun pekerja tetap. Antara lain dalam hal upah, jaminan sosial, hingga perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

So, berarti banyak “petinggi” serikat pekerja/serikat buruh yang tidak konsisten mencermati Omnibus Law, bahkan mungkin kurang memahaminya, namun karena “desakan pragmatis ekonomis” mengajak mogok kerja dan unjuk rasa. Apakah seperti ini bisa dicontoh?? Buruh, tidak perlu mogok dan unjuk rasa, karena jika terkena nasib sial, Anda sendiri yang menanggungnya, “mereka” akan lari. Percayalah!.

*) Penulis adalah pemerhati masalah strategis nasional.

Artikel Terkait