Opini

Biar tidak kena jebakan kelas menengah, Negara perlu UU Omnibus Law Perpajakan

Oleh : luska - Selasa, 27/10/2020 07:50 WIB

Penulis :  Dr. Tb. Djodi R. Antawidjaja, Pembina Tax Center dan Dosen Unversitas Al-Azhar Indonesia

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Ternyata tidak hanya jebakan batman saja yang banyak dibicarakan orang, jebakan kelas menengah atau disebut middle income trap juga semakin banyak dibahas. Jebakan kelas menengah (middle income trap) adalah suatu keadaan ketika suatu negara berhasil mencapai tingkat pendapatan menengah, tetapi tidak dapat 
keluar dari tingkatan tersebut untuk menjadi negara maju. Indonesia kuatir kena jebakan itu dan pada posisi sudah dibibir lubang jebakan, begitulah kira-kira. 

Negara yang masuk ke dalam kategori jebakan pendapatan kelas menengah akan kehilangan keunggulan kompetitif mereka dalam mengekspor barang-barang jadi karena harus membayar biaya produksi dan investasi plus biaya transaksi serta biaya agensi lain yang tinggi dan melelahkan. Pada saat yang sama, negara ini tidak mampu bersaing secara ekonomi dengan negara-negara maju di pasar dengan nilai tambah yang tinggi. Akibatnya, negara-negara yang baru saja terindustrialisasi (seperti Afrika Selatan dan Brasil) belum keluar dari kelompok pendapatan menengah selama beberapa dasawarsa karena produk nasional bruto per kapita mereka tersangkut dalam kisaran $1.000 hingga $12.000. Negara-negara ini menghadapi masalah berupa investasi yang rendah, pertumbuhan industri sekunder yang lambat, diversifikasi industri yang kurang dan kondisi lapangan kerja yang buruk.

Presiden Joko Widodo dalam pelantikannya sebagai presiden terpilih periode 2019 - 2024 setahun yang lalu telah menyampaikan, bahwa kita punya potensi untuk dapat keluar dari jebakan penghasilan menengah. Diyakini, melalui Undang-Undang 
Cipta Kerja (UU Ciptaker) Indonesia bisa terlepas dari jebakan kelas menengah, dan untuk meningkatkan dan mengentaskan Indonesia dari middle income trap, Indonesia akan bisa menjadi negara yang efisien, regulasinya simpel, dan memberi kesempatan rakyat untuk berusaha secara mudah. Selang sehari setelah RUU Ciptaker di ketok palu oleh DPR, reaksi beberapa lembaga luar negeri memberi respon positif pada Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan DPR. Reaksi dunia terhadap Undang-Undang Cipta 
Kerja ternyata cukup menggembirakan. Seakan memberi sinyal bahwa upaya Indonesia dalam menarik investor luar diartikan sebagai keberanian negara ini dalam menutup jalan para opportunis dan ‘tukang palak’ disetiap proyek investasi sebagaimana layaknya hambatan rent seeker yang biasa terjadi di negara berkembang.

Beberapa reaksi pujian di antaranya adalah Moody's, Bank Dunia, Fitch Rating, dan Asia Development Bank (ADB). Seluruh lembaga asing tersebut pun memuji langkah pemerintah Indonesia yang membuat peraturan tersebut dengan melihat 
adanya perubahan yang positif atas sejumlah permasalahan yang dihadapi Indonesia selama ini, terutama soal regulasi yang berbelit. Bank Dunia menilai UU ini mampu membantu menarik investor, menciptakan lapangan kerja, dan memerangi kemiskinan. Mereka juga berharap aturan teknis yang memadai dapat memastikan pertumbuhan 
ekonomi yang berkelanjutan. Bank Dunia meramalkan pemulihan ekonomi dan masa depan yang lebih cerah bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, tiga pengelola dana global yakni Morgan Stanley, JP Morgan, dan CGS-CIMB juga menganggap UU Cipta Kerja bisa berdampak positif bagi perekonomian Indonesia. Mereka menyatakan aturan ini bisa menghasilkan kebijakan moneter yang lebih kuat, inflasi stabil, penurunan struktural suku bunga, percepatan infrastruktur, hingga mendorong usaha kecil.

Pandangan beberapa lembaga internasional terhadap UU Cipta Kerja ini melihat suatu harapan yang positif untuk recovery dan perkuatan ekonomi secara sustainability. Rata-rata institusi yang bergerak dalam sektor bisnis merespons baik UU ini, dan pandangan dari sejumlah lembaga asing tersebut membuat sinyal positif atas UU Cipta Kerja, tetapi disisi yang lain justru mendapat penolakan dari sebagian masyarakat Indonesia, padahal ini akan bisa berdampak positif terhadap konsolidasi 
fiskal, dan undang-undang ini akan membawa perubahan nyata. Ironisnya, massa yang menggelar demo besar-besaran dengan dana penyelenggaraan demo yang tidak sedikit yang terjadi di negeri ini justru menjadi sangat mengganggu niat mulia 
pemerintah dalam mengentas status negara ini menjadi negara yang lebih terhormat dan keluar dari status negara yang berpenghasilan menengah.

Dampak yang diharapkan para ‘bowheer’ demo jelas dapat diterka, bahwa demo yang akan digelar
diharapkan akan menjadi berita besar keseluruh dunia, agar dunia internasional jangan lagi percaya kepada pemerintah Indonesia yang sah saat ini, menakut-nakuti para investor papan atas dalam menginvestasikan dananya ke Indonesia, juga niat pihak tertentu untuk membuat perekonomian menjadi turbulence, rush serta secara ekstrim 
berpeluang mengganti pemerintahan, yang pada gilirannnya para donatur demo tentunya ingin mendapatkan kekuasaan, maupun pertahankan cara koruptif masa keemasan orde baru sebagaimana hasil ladangnya sebelum jaman transparansi seperti saat ini. Ibarat perang, musuh manfaatkan momentum menyerang negara yang sedang kena musibah penyakit menular dan berharap gampang ditundukkan mumpung lagi lemah fisik dan ekonominya.

Tujuan inti Omnibus Law adalah menarik investor dunia serta menuju perekonomian negara yang kompetitif, dengan menyasar pada tiga hal besar, yaitu UU perpajakan, cipta lapangan kerja, dan pemberdayaan UMKM. Undang-undang ini 
diharapkan dapat memperkuat kebijakan moneter, inflasi yang relatif stabil, dan dapat mempercepat belanja infrastruktur. Tujuan utama dibentuk dan disahkannya undang-undang ini adalah agar penanaman modal asing dapat berjalan lebih lancar dan makin bertambah dengan kebijakan fiskal yang lebih akomodatif, kompetitif dan berkeadilan. Masih ingatkan kisah kunjungan 33 pengusaha multinasional yang keluar dari China mau merelokasikan investasinya akibat perang dagang Amerika-China pertengahan tahun lalu? Ini sangat mengecewakan, karena kunjungan mereka ke Indonesia saat itu tidak satupun yang balik lagi. Sebanyak 23 memilih berinvestasi ke Vietnam, dan 10 lainnya memilih ke Malaysia, Thailand, dan Kamboja. Artinya, tak ada satu pun dari 33 
perusahaan yang melirik untuk berinvestasi ke Indonesia. Sebagian besar memilih berinvestasi di Vietnam dengan alasan investasi di Indonesia proses perizinannya yang rumit, waktu yang panjang, dan tarif pajak yang mahal, dengan skor Ease of Doing Business (EoDB) atau kemudahan berusaha yang tidak mendukung. Kemudahan 
berusaha di Indonesia masih kalah karena jumlah prosedur yang harus dilalui mencapai 10 buah dengan waktu rata-rata 19,6 hari. Sedangkan Vietnam sudah mampu mencapai perizinan dengan 8 prosedur saja selama 17 hari. Tarif Pajak Penghasilan di Vietnam tahun lalu 20% dan per 1 juli 2020 yang lalu Vietnam menurunkan tarif PPh nya menjadi 15-17%. Sedang di Indonesia, tahun itu masih di tarif 25%, dan baru tahun ini dan tahun depan mulai turun ke 22%, yang selanjutnya 20% mulai tahun 2023.

Konsep Reformasi Perpajakan amandemen keenam sejak tahun 1983 memang telah lama masuk prolegnas untuk dibahas tersendiri. Tapi momentum Omnimbus Law sudah melebur beberapa substansi dalam RUU khusus Omnibus Law Perpajakan yang 
rencana awalnya dibuat berdiri sendiri ke dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang sekarang. Bahkan, mengingat perlunya kecepatan dan dinamika pengesahan UU sesuai dengan kepentingannya, beberapa poin penting RUU Omnibus Law Perpajakan sudah masuk dalam Perpu No. 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU No. 2/2020. Sisanya, ditampung dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Begitu juga isu penting 
dalam RUU Omnibus Law Perpajakan mengenai penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 25% menjadi 22% untuk tahun 2020 dan 2021, yang kemudian menjadi 20% untuk tahun 2023 telah masuk dalam UU No. 2/2020. Pemajakan terhadap aktivitas ekonomi digital juga sudah masuk di dalam UU tersebut, sehingga dalam RUU Omnibus Law Perpajakan, hanya mengubah 4 hal pengaturan pokok yaitu peningkatan daya tarik investasi, keadilan dan kesetaraan berusaha, kualitas sumber 
daya manusia, dan kepatuhan pajak sukarela yang seluruhnya masuk pada klaster 5, Kemudahan Berusaha, pada Bab VI bagian ketujuh. 

Undang-Undang Omnibus Law merupakan momentum Indonesia keluar dari jebakan negara kelas menengah. Reformasi di bidang perpajakan sudah jadi keniscayaan untuk bergulir. Arah kemudi sudah saatnya berubah. Dimensi fungsi pajak 
yang biasanya lebih banyak ke fungsi penerimaan negara yang optimal (budgeter), untuk mendanai belanja negara, kali ini lebih kearah fungsi mengatur (regulerend) yang banyak berperan dalam kondisi mengutamakan stimulus ekonomi sekaligus juga 
menghadapi masa pandemi, sehingga tidak lagi memaksakan penerimaan pajak yang optimal. Tak kurang dari Dirjen Pajak yang memperkirakan berbagai kebijakan insentif pajak yang semula akan diatur dalam omnibus law perpajakan, akan memangkas penerimaan negara lebih dari 80 triliun. Klaster perpajakan dalam UU Cipta Kerja akan 
berpengaruh pada penerimaan negara tahun ini, Namun, kebijakan ini dibuat untuk meningkatkan kemudahan dan kepastian berusaha yang dapat berdampak positif pada penerimaan pajak dalam jangka panjang. Kemudahan dan kepastian berusaha, adalah kunci bagi investasi dan daya saing Indonesia. Secara tidak langsung, ini akan menjadi kunci perluasan basis pajak. Ketentuan dalam UU Cipta Kerja klaster perpajakan meliputi:
Pertama, UU Ciptaker merevisi UU Pajak Penghasilan (diatur pada Pasal 111 UU Ciptaker), terkait subjek pajak luar negeri. Pemerintah mengubah rezim perpajakan wajib pajak orang pribadi dari worldwide income tax system menjadi teritorial, tentang subyek pajak untuk lebih equal treatment, dengan menambahkan ketentuan subyek pajak luar negeri, bahwa untuk Warga Negara Asing yang berada di Indonesia tidak 
lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan menjadi subjek pajak luar negeri, sedangkan WNI yang berada di luar Indonesia dalam periode yang lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan serta memenuhi sejumlah persyaratatan yang menjadi subjek pajak luar negeri. Sebelumnya penentuan subyek pajak luar negeri tidak terbagi 
atas kewarganegaraan. (Pasal 2 ayat 4 UU PPh),

Kedua, UU Ciptaker juga mengubah sebagian Obyek Pajak dengan menghilangkan pembagian sisa hasil usaha koperasi sebagai obyek pajak, dan memberikan keistimewaan kepada WNA dengan menambah ayat 1 dengan 1a sd d berupa  pengecualian obyek pajak bagi WNA yang telah menjadi subyek pajak dalam negeri atas penghasilan yang diterima di Indonesia dari keahlian tertentu selama 4 tahun sejak menjadi subyek dalam negeri. (Pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh)
Ketiga, memberikan pembebasan PPh untuk dividen dari dalam negeri maupun luar negeri yang diinvestasikan di Indonesia. Namun, khusus dividen dari luar negeri, penghapusan pajak dilakukan jika investasi paling sedikit mencapai 30% dari laba 
setelah pajak dan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tak diperdagangkan di BEI.( Pasal 4 ayat (3) huruf f angka 1 sd 6 UU PPh),
Keempat, membebaskan PPh atas penghasilan dari luar negeri yang tidak melalui BUT,  yang diterima oleh WP Badan atau WP OP dalam negeri dalam hal penghasilan tersebut diinvestasikan di Indonesia dengan syarat berasal dari usaha aktif di luar negeri dan bukan penghasilan dari perusahaan yang dimiliki di luar negeri. (Pasal 4 ayat (3) huruf f angka 7 UU PPh), Kelima, penambahan objek PPh yang dikecualikan juga mencakup setoran dana haji dan dana yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji, serta sisa dana lebih lembaga sosial dan keagamaan. Ketiga lembaga tersebut kini dibebaskan dari pembayaran PPh. (Pasal 4 ayat (3) huruf o dan p UU PPh).

Keenam, menurunkan tarif pungutan PPh Pasal 26 kepada WP Luar Negeri yang bayar bunga termasuk premium, diskonto dan imbaan sehubungan dengan pengembalian utang akan diatur oleh PP (Pasal 26 ayat 1b UU PPh), Ketujuh, UU Ciptaker juga merevisi UU Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan 
atas Barang Mewah (PPN dan PPn BM) (diatur pada Pasal 112 UU Ciptaker), terkait pengecualian atas hasil pertambangan batu bara sebagai jenis barang yang tidak dikenai PPN (mengubah Pasal 4A ayat 2 hrf a UU PPN/PPn BM) Kedelapan, merevisi pengecualian pengkreditan pajak masukan yang diperoleh WP sebelum dikukuhkan sebagai PKP, yang semula tidak dapat dikreditkan menjadi dapat dikreditkan.

(Pasal 9 ayat 8 huruf a dan d UU PPN/PPn.BM)
Kesembilan, WP dapat mengkreditkan pajak masukan yang telah ditagih melalui penerbitan 
ketetapan pajak sepanjang telah dilunasi, pajak masukan yang tidak dilaporkan dalam SPT masa PPN yang ditemukan saat pemeriksaan, dan pajak masukan lainnya sebelum PKP berproduksi baik didalam maupun diluar daerah pabean (Pasal 9 ayat 8 huruf h, I dan j serta Pasal 9, 9a, 9b,dan 9c UU PPN/PPn BM), Kesepuluh, pada UU Ciptaker pemerintah meringankan sanksi dan denda perpajakan yang diatur UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Pasal 113 UU Ciptaker), 
terkait pembetulan SPT yang mengakibatkan utang pajak lebih besar, maka sanksi bunga yang dikenakan sebesar tarif bunga berdasarkan suku bunga acuan setahun ditambah 5% dibagi 12 
(tidak lagi 2%) perbulan, untuk maksimal 24 bulan. (Pasal 8 ayat 2, 2a dan 2b UU KUP), Kesebelas, penurunan sanksi denda kenaikan dari 150% menjadi 100% atas pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT yang isinya tidak benar sepanjang mulainya penyidikan oleh penyidik tapi belum diberitahukan kepada penuntut umum, demikian juga atas sanksi bunga atas pengungkapan ketidak benaran dalam laporan 
tersendiri saat pemeriksaan, dikenakan sanksi bunga berdasarkan suku bunga acuan ditambah 
10% dibagi 12 perbulan dengan maksimal 24 bulan yang sebelumnya kena sanksi denda kenaikan 50%. (Pasal 8 ayat 3, 3a dan 5, 5a UU KUP), Keduabelas, tarif sanksi administrasi berupa bunga perbulan atas pembayaran pajak setelah tanggal jatuh tempo juga disesuaikan pada suku bunga acuan ditambah 5% dibagi 12, termasuk atas pelunasan tagihan dan ketetapan pajak maupun putusan keberatan, banding dan PK yang menyebabkan pertambahan jumlah pajak yang harus dibayar (Pasal 9 ayat 2, 2a, 2b, dan 2c UU KUP), Ketigabelas, atas dasar kesetaraan, pemerintah juga memberikan imbalan bunga kepada WP sebesar tarif yang dihitung berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 perbulan atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. (Pasal 11 ayat 3 dan 3a, serta 
Pasal 19 ayat 4 UU KUP).

Keempat belas, atas kekurangan bayar terutang hasil ketetapan pajak kurang bayar, ditambah  dengan sanksi administrasi bunga dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 15% dsn 
dibagi 12 perbulan, juga menghapus sanksi 200% bagi WP yang karena kealpaannya mengisi SPT tidak benar, serta mengurangi sanksi denda tidak membuat faktur menjadi 1% dari sebelumnya 2% dari DPP (Pasal 13 ayat 2, 2a, 2b,13A dan 14 ayat 4 UU KUP), Kelimasbelas, mengurangi sanksi pembayaran pajak, bila WP dihentikan penyidikannya oleh Jaksa Agung atas permintaan Menteri Keuangan paling lama 6 bulan sejak tanggal surat permintaan dan penghentian penyidikan dapat dilakukan jika wajib pajak melunasi utang atau kurang bayar pajaknya ditambah dengan denda 300% dari semula sebesar 400% (Pasal 44B ayat 2 UU KUP), Keenam belas, UU Cpta Kerja juga merevisi UU tentang Pajak Daerah dan Retribusi 
Daerah, yang diatur pada Pasal 114 UU Ciptaker, dengan menghapus retribusi ijin gangguan, dan dalam rangka kebijakan fiskal nasional dan untuk mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi serta mendorong pertumbuhan industri dan atau usaha yang berdaya saing tinggi serta perlindungan dan pengaturan yang berkeadilan, pemerintah  (pusat) sesuai program prioritas nasional dapat melakukan penyesuaian terhadap kebijakan Pajak dan Retribusi yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah, dengan dapat mengubah tarif Pajak dan tarif Retribusi yang berlaku secara nasional maupun 
pengawasan dan evaluasi terhadap Perda tentang Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha (Pasal 141, 144, dan Pasal 156A ayat 1 sd 5 UU PDRD),
Ketujuhbelas, untuk mendukung kebijakan berinvestasi, gubernur/bupati/walikota dapat memberikan insentif fiskal kepada para pelaku usaha didaerahnya berupa pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak dan atau sanksinya (Pasal 156B UU PDRD), Ketentuan ini diharapkan akan menciptakan keadilan dalam iklim berusaha di 
dalam negeri, serta mendorong sektor prioritas skala nasional dengan memberikan kemudahan, perlindungan, serta pengaturan yang sederhana dan berkeadilan. Insentif perpajakan yang diberikan juga dimaksudkan untuk mengurangi beban pajak yang 
harus ditanggung oleh Wajib Pajak, sehingga terdapat ruang pendanaan dari dalam negeri untuk menambah investasi dan meningkatkan investasi langsung dari luar negeri atau foreign direct investment (FDI). Paket reformasi dibidang perpajakan dalam upaya pemerintah menggaet 
investor ini, sebenarnya sudah banyak diterbitkan pemerintah yang pada masa yang bersamaan dengan keadaan lesunya ekonomi akibat pandemi Covid-19. Sehingga dalam menciptakan kebijakan pajak yang murah dan mudah yang kompetitif, serta 
insentif-insentif pajak seperti tax holiday, super deduction, tax allowance, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), PPh untuk surat berharga, dan insentif pajak daerah dari Pemda memaklumkan untuk tidak lagi dapat berharap banyak penerimaan negara dari 
pajak dalam tahun ini, kecuali berharap menjaga basis pajak, menyesuaikannya dengan era digital ekonomi dan menuainya untuk jangka panjang. 
Bagian paket Reformasi Perpajakan yang telah di gulirkan pada 31 maret 2020 yang lalu sebelum disahkannya UU Ciptaker adalah Undang-Undang No.2 Tahun 2020 tentang Perpu No.1/2020 ttg Kebijakan Keuangan Negara dan stabilitas sistem 
keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/ atau stabilitas keuangan, menjadi Undang-undang, yang memuat: Pertama, untuk mengamankan kebijakan defisit anggaran dalam menjaga stabilitas sistem keuangan risiko negara dalam keadaan lebih buruk dengan menetapkan batasan defisit anggaran melampaui batas 3% dari PDB selama pandemi hingga tahun 2022, yang selanjutnya tahun 2023 akan kembali menjadi maksimal 3% dari PDB. (Pasal 2 ayat 1),

Kedua, dalam rangka menuju negara yang kompetitif, pemerintah menurunkan Tarif 
Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dari semula 25% (Pasal 17 ayat 2 UU PPh) menjadi 22% yang berlaku pada tahun 2020 dan tahun 2021, serta menjadi 20% mulai tahun 2022, dan bagi WP Badan status 
terbuka bila saham yang disetor di BEI minimal 40% akan memperoleh tarif 3% lebih rendah lagi (Pasal 5 ayat 1 dan 2), Ketiga, mulai memberlakukan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kepada 
pelaku usaha sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (bagi subyek pajak luar negeri), atas pemanfaatan barang kena pajak tak berwujud dan/ atau jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean (Pasal 6) dan bagi yang tidak mematuhi selain dikenakan sanksi administrasi juga dikenai sanksi berupa pemutusan akses setelah 
diberi teguran (Pasal 7 ayat 3), Keempat, perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan berupa pengajuan keberatan yang semula jatuh temponya paling lambat 3 bulan menjadi 6 bulan (Pasal 8)
Pandemi Corona yang belum diketahui kapan berakhirnya ini berdampak besar bagi perekonomian nasional. Pasalnya, perekonomian langsung terhantam di dua sisi yang penting yakni penawaran dan permintaan. Sehingga penerimaan pajak pada 
umumnya bakal terkena dua pukulan telak sekaligus. Perlambatan ekonomi secara alamiah mengurangi basis pajak. Di sisi lain, belanja pajak alias tax expenditure sebagai wujud pajak yang bersifat regulerend akan banyak digelontorkan. Relaksasi berupa Insentif pajak yang diberikan pemerintah tahun ini secara temporer juga diberikan dalam rangka penanggulangan bencana dimasa pandemi, untuk wajib pajak terdampak selama wabah Virus Covid-19, yang akan berimbas pada pemungutan eksesif dimasa depan. Seperti diketahui, insentif yang telah digelontorkan pemerintah lewat penerbitan turunan PMK-23, PMK-28, PMK-44, PMK-86 dan PMK-110 dibulan maret sampai dengan Agustus 2020 (sebelum UU Ciptaker disahkan) berlaku terbatas hanya tinggal 2 bulan lagi, yaitu sampai dengan akhir Desember 2020 (setelah direvisi dari semula berlaku sampai dengan September 2020) berupa: Pertama, Insentif PPh Pasal 21atas gaji dan upah yang ditanggung Pemerintah (DTP). Insentif ini untuk karyawan pada perusahaan yang bergerak di 1.189 bidang industri 
tertentu yang terdampak pandemi, pada perusahaan yang mendapatkan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), dan pada perusahaan di kawasan berikat dengan batasan gaji maksimal Rp.200 juta pertahun, dapat memperoleh fasilitas 
pajak penghasilan ditanggung pemerintah. Kedua, Insentif Pajak Penghasilan (PPh) Final bagi Wajib Pajak UMKM dan Jasa Konstruksi tertentu (Jasa P3TGA Irigasi), yang juga ditanggung seluruhnya oleh Pemerintah (DTP). Pelaku UMKM yang mendapat fasilitas pajak penghasilan final (PP 23/2018) yang ditanggung pemerintah. Dengan demikian wajib pajak UMKM tidak perlu melakukan setoran pajak dan pemungut pajak tidak melakukan pemotongan atau pemungutan pajak pada saat melakukan pembayaran kepada pelaku UMKM. Demikian juga atas wajib pajak pemberi jasa konstruksi tertentu dalam rangka Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3TGAI).

Ketiga, Insentif berupa pembebasan (SKB) pungutan PPh Pasal 22 Impor. Wajib pajak yang bergerak di salah satu dari 721 bidang industri tertentu, pada 
perusahaan KITE, dan pada perusahaan di kawasan berikat mendapat fasilitas pembebasan dari pemungutan pajak penghasilan pasal 22 impor. Fasilitas ini sebelumnya hanya diberikan kepada 102 bidang industri dan perusahaan KITE.
Keempat, Insentif berupa pengurangan Angsuran PPh Pasal 25 sebesar 50%. Wajib pajak yang bergerak di salah satu dari 1.013 bidang industri tertentu, perusahaan KITE, dan perusahaan di kawasan berikat mendapat pengurangan angsuran pajak penghasilan pasal 25 sebesar 50% (semula 30%) dari angsuran yang seharusnya terutang. Fasilitas ini juga sebelumnya diberikan hanya kepada 102 bidang industri dan perusahaan KITE. Kelima, Insentif atas pengembalian pendahuluan PPN lebih bayar maksimal atas restitusi Rp. 1 miliar rupiah. Wajib pajak yang bergerak di salah satu dari 716 bidang industri tertentu, perusahaan KITE, dan perusahaan di kawasan berikat, ditetapkan sebagai PKP berisiko rendah sehingga mendapat fasilitas restitusi dipercepat hingga jumlah lebih bayar paling banyak Rp5 miliar, tanpa persyaratan melakukan kegiatan tertentu seperti melakukan ekspor barang atau jasa kena pajak, penyerahan kepada pemungut PPN, atau penyerahan yang tidak dipungut PPN. Fasilitas ini sebelumnya hanya diberikan kepada 102 bidang industri dan perusahaan KITE Fasilitas insentif tersebut diberikan pada wajib pajak bidang tertentu yang merupakan Badan/Instansi Pemerintah yang ditunjuk melakukan penanganan pandemi Covid-19, Rumah Sakit Swasta maupun BUMN yang ditunjuk khusus melakukan penanganan pandemi sebagaimana ditentukan Permenkes 169/2020 terhadap 132 RS, serta pihak 
lain selain badan/instansi pemerintah atau RS, tetapi bertransaksi dengan pihak yang ditunjuk. 
Pemerintah saat ini sedang dapat ujian yang cukup berat. Perjuangannya dalam mengangkat derajat Indonesia menjadi negara yang terhormat dan sejajar dengan negara maju cukup berat. Ibarat bekerja siang dan malam dengan kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala jadi niscaya, apalagi para pengganggu yang tidak ingin melihat negara 
ini maju, para cukong politik sangat bernafsu ingin mengganjal upaya pemerintah ini. 

Lawan tidak menduga dimasa pandemi yang sulit ini pemerintah masih menggunakan jurus gemilang omnibus law yang seharusnya jurus bertahan dari kesulitan ekonomi. Pemerintah masih percaya dan yakin bahwa kita pasti bisa keluar sebagai pemenang, bisa menata ulang perekonomian, masih melihat bahwa PDB kita yang masih bisa lebih 
besar lagi, dan mata yang jeli melihat celah Tax Gap kita masih cukup besar, artinya masih terdapat potensi atau peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak yang masih besar. Menurut penelitian Mc Kinsey, total potensi penerimaan yang belum dapat tergali di Indonesia adalah sebesar 123 hingga 185 triliun rupiah. Tax gap ini berasal dari PPh Orang Pribadi sebesar 50%, PPh Badan dan PPN sebesar 20-30%. Menurut data Susenas Tax gap antara Potensi PPh OP, serta PPN dan PPnBM dengan realisasi saat sebelum pandemi juga cukup besar, sedangkan pada periode 2008 sd 2011 tax 
gap ratio cenderung konstan.

Meminjam istilah Dahlan Iskan, mudah-mudahan Bus Omni sampai ke terminal berikutnya dengan selamat diperjalanan. Selamat dari preman-preman terminal seperti preman khusus yang tugasnya mencopet penumpang, ada yang menyedot bensin, 
maupun yang memalak sopir. Banyak yang butuh uang menjelang pilkada. Bila aman, tak pelak lagi, periode kedua kepresidenan Jokowi ternyata benar-benar untuk membenahi hukum. Dan membangun terminal. Inshaa Allah.

Artikel Terkait