Opini

Typo pada Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Karya, perlukah di amandemen melalui Perppu ?

Oleh : luska - Jum'at, 13/11/2020 06:46 WIB

Dr. Tb. Djodi R. Antawidjaja, Dosen Universitas Al Azhar Indonesia

Penulis : Dr. Tb. Djodi R. Antawidjaja, Dosen Universitas Al Azhar Indonesia

Jakarta, INDONEWS.ID - Undang-Undang Omnibus Law telah diteken Presiden sebagai Undang-undang 
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja setebal 1.187 halaman pada Senin, 2 Nopember 2020 yang lalu. Bagi banyak pihak yang menantikannya sebagai suatu harapan yang positif untuk negara ini recovery dan perkuatan ekonomi secara  sustainability tentu menyambutnya dengan gembira. Tetapi kemudian muncul masalah baru, bahwa telah terjadi kesalahan ketik pada Undang-undang tersebut. Ada dua kesalahan ketik, yaitu pada Pasal 6 dan Pasal 197.

Andaikan kesalahan yang bersifat klerikal ini terjadi pada sebuah buku biasa yang telah selesai dicetak, bahkan telah terpajang di toko buku sekalipun, penerbitnya cukup merevisi nya dengan cara menyelipkan secarik kertas disela-sela halaman buku tersebut dengan tulisan 17 baris seperti ini: 
Revisi: Pada halaman 6, tertulis: Pasal 6 Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi: dst. seharusnya tertulis
Pasal 6 Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi: dst.

Pada halaman 757, tertulis (5). Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dalam Peraturan Presiden. Seharusnya tertulis (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Presiden.

Maka persoalanpun selesai. Hal ini bisa dilakukan pada buku cetakan apa saja. Buku cerita fiksi, Non fiksi, pelajaran sekolah, resep masakan, bahkan Buku yang berisi Undang-Undang sekalipun.
Tetapi ini terjadi pada sebuah Undang-Undang hasil perumusan antara parlemen dan pihak pemerintah, yang telah melalui proses persidangan berhari-hari yang juga telah melalui sidang paripurna yang telah disetujui secara sah, serta telah menjadi  Undang-undang yang juga telah ditandatangani oleh Presiden dan telah diunggah di situs resmi Sekretariat Negara dengan nama Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cita Kerja.

Sebelumnya, pemerintah telah mengakui adanya kesalahan pengetikan dalam Undang-Undang tersebut, dan hal itu diklaim pemerintah sebagai kekeliruan teknis administratif saja sehingga tak berpengaruh pada implementasi UU Cipta Kerja. 

Terdapat dua kesalahan ketik yang cukup fatal terjadi, pertama pada Pasal 6 di Bab Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha. Pasal 6 menyebutkan, peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 5 Ayat (1) huruf a meliputi (a) penerapan perizinan berusaha berbasis risiko; (b) penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha; (c) penyederhanaan perizinan berusaha sektor; dan (d) penyederhanaan persyaratan investasi. Tetapi, rujukan ke Pasal 5 Ayat (1) tidak jelas karena dalam UU Cipta Kerja Pasal 5 tidak memiliki ayat. 

Pasal 5 hanya berbunyi, ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait. Seharusnya hal rujukan dimaksud adalah Pasal 4 huruf a, tanpa ayat.

Kesalahan ketik kedua pada Pasal 175 Bab Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan untuk Mendukung Cipta Kerja. Pasal 175 angka 6 mengubah Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014. Pasal 53 itu terdiri atas 5 ayat yang mengatur soal syarat sahnya keputusan pemerintahan. 
Ayat (1) berbunyi, batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan diberikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. 
Ayat (2), jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan dan/atau pejabat pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh badan 
dan/atau pejabat pemerintahan. 
Ayat (3), dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan keputusan dan/atau tindakan sebagai 
keputusan atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan yang berwenang. 
Ayat (4), apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), badan dan/atau pejabat pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum. 
Ayat (5), ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden. Semestinya, ketentuan dalam ayat (5) merujuk pada ayat (4). Bukan pada ayat (3) sebagaimana yang ditulis dalam UU Cipta Kerja.

Berbagai reaksi ahli hukum memberikan pendapat yang beragam. Ada pendapat bahwa salahsatu pasal tidak dapat dilaksanakan maka akan menggugurkan keseluruhan Undang-Undang itu sendiri, adapula yang menganjurkan untuk segera lakukan Judicial Review (Uji Materi) ke Mahkamah Konstitusi (MK), agar segera dibuatkan Undang-
Undang perubahannya. 

Memang kewenangan MK adalah menguji undang-undang secara formil dan materiil. Tetapi, kesalahan pengetikan belum tentu menyalahi prosedur pembentukan undang-undang ataupun substansi dari UU itu sendiri. Perbaikan ketikan di Pasal 6 dan Pasal 175 angka 6 tidak akan mengubah substansi UU Cipta Kerja. Karena masalahnya hanya soal pengetikan yang menyangkut pasal rujukan.

Kesalahan pengetikan dalam UU Cipta Kerja terjadi akibat proses pembentukannya yang tergesa-gesa sehingga mengabaikan asas kecermatan. Namun, kesalahan pengetikan tersebut tidak membawa pengaruh pada norma yang diatur dalam UU tersebut.

Dari tiga alternatif mekanisme yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal ini, yakni melalui executive review, legislative review, atau judicial review. Mekanisme judicial review dilakukan melalui lembaga peradilan yakni Mahkamah Konstitusi (MK), akan menimbulkan kesangsian pengujian yang akan dilakukan, bila hanya menguji materi 
“salah ketik”. Jika proses pembentukan sebuah undang-undang didapati karena kesalahan prosedur, maka UU tersebut berpotensi untuk dapat dibatalkan MK. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan mengatur adanya asas kecermatan dalam pembentukan undang-undang. Namun, asas itu 
menyangkut rumusan suatu norma, bukan persoalan pengetikan, dan salah ketik dalam UU Cipta Kerja ini tak substansial. Sehingga mempersoalkan salah ketik untuk menjadi dasar penafsiran asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan itu menjadi mustahil.

Sementara, opsi legislative review melalui amandemen UU baru akan dibahas setelah proses judicial review di MK selesai dan menyatakan terdapat pasal yang harus diubah secara substansial.

Proses perbaikan sebuah undang-undang bisa juga ditempuh melalui executive review dengan presiden menerbitkan perppu yang mengoreksi pasal bermasalah. Tetapi yang menjadi soal adalah bahwa tak ada ihwal kegentingan yang memaksa bagi pemerintah untuk menerbitkan Perppu terkait UU Cipta Kerja. Sehingga untuk mengatasi persoalan 
sebatas salah ketik saja, maka perbaikannya tak perlu menempuh langkah-langkah tersebut
Kesalahan pengetikan itu bisa diperbaiki dengan cara DPR dan pemerintah duduk bersama untuk melakukan perbaikan sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya selama ini untuk mengatasi kesalahan manusiawi seperti typo, salah ketik, salah hitung, melalui mekanisme Distribusi II yang selama ini berulang kali digunakan dalam praktik teknis-administrasi penyebarluasan peraturan perundang-undangan, yaitu dengan mencabut undang-undang yang telah dipublikasikan dari Lembaran Negara di
Kementerian Hukum dan HAM. Selanjutnya, undang-undang hasil perbaikan itu diterbitkan. Sedangkan nomor undang-undang tidak berubah dan Presiden tidak perlu menandatangani ulang naskah undang-undang yang sudah diperbaiki dari kesalah  ketikannya itu. Mekasnisme ini juga telah digunakan pada perbaikan UU Nomor 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan UU Nomor 49/2008 tentang Pembentukan Kabupaten Mesuji di Lampung. Kemudian UU Nomor 24 Tahun 2003 
tentang Administrasi Kependudukan. Bahkan, ada pula peraturan pemerintah (PP) yang diterbitkan di dalam Distribusi II yakni PP Nomor 35/2019 tentang Pemberian Gaji, Pensiun atau Tunjangan Ketiga Belas kepada Pegawai Negeri Sipil, Prajurit TNI, 
Anggota Polri, Pejabat Negara dan Penerima Pensiun atau Tunjangan. 

Belajar dari case RUU Haluan Ideologi Pancasila, UU Cipta Kerja yang muatannya lebih besar dengan implikasi yang lebih luas, maka dibutuhkan soliditas, kesepakatan, semangat kebangsaan dan niat yang kuat dari pihak eksekutif dan legislatif untuk 
menuntaskannya sampai pada lahirnya berbagai PP dan Peraturan pelaksanaan lain untuk melengkapinya. 

Kalau sesuatu sudah berjalan rutin dan lebih mudah, mengapa harus dipersulit ?

Artikel Terkait