Pilkada 2020

Waspadai "Parallel Crime Pattern" dalam Netralitas ASN yang Berdampak Kecurangan

Oleh : very - Jum'at, 27/11/2020 22:07 WIB

Koordinator Indonesian Democratic (IDE) Center, Girindra Sandino. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Baru-baru ini Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) RI merilis temuannya terkait pelanggaran yang dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam catatannya terdapat 1.800 lebih ASN melakukan pelanggaran di Pilkada serentak 2020. Beragam bentuk pelanggaran- netralitas ASN tersebut antara lain menjanjikan warga pemilih dengan memberikan uang (money politics)  untuk memilih paslon tertentu, penggunaan fasilitas dan anggaran negara, menggerakan perangkat desa untuk berpihak dan mendukung paslon tertentu, program-program bantuan sosial yang disalahgunakan untuk kepentingan kampanye untuk memilih calon tertentu, terlibat sebagai tim kampanye, menggerakkan struktur birokrasi, memengaruhi atau mengintimidasi para pegawai di tingkat bawah.

Padahal dengan tegas Pasal 71 UU No 1 Tahun 2015 sebagaimana diubah oleh UU No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) menyebut bahwa "Pejabat Negara, Pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye".

Ancaman dan sanksinya juga jelas diatur dalam UU Pilkada Pasal 188 dan 189 yang mengatur tentang ancaman sanksi pidana dan delik pelanggarannya tetap merujuk pada Pasal 70 dan/atau 71 dengan ancaman sanksi pidana. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 70 dan/atau 71 juga diancam dengan sanksi administrasi berupa pembatalan dari calon.

Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, sebagai perangkat hukum turunan teknis dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN),  dan peraturan turunan lain yang dikeluarkan oleh pemerintah, presiden, maupun oleh kementerian, secara terang-terangan  melarang PNS untuk memberikan dukungan kepada calon kepala daerah/wakil kepala daerah. Dan masih banyak aturan-aturan tekhnis lain yang melarang ASN terlibat dalam kegiatan keberpihakan pada pelaksanaan Pilkada sesuai daerahnya masing-masing.

“Pelanggaran-pelanggaran ASN baik yang bersifat ringan maupun fatal harus segera ditindak tegas, oleh karena tidak menutup kemungkinan dan berdasarkan pengalaman kami dalam pemantauan pemilu maupun setiap kali hajatan Pilkada selalu pararel atau berlanjut hingga tahap pemungutan dan penghitungan suara, serta proses rekapitulasi suara berjenjang,” ujar Koordinator Indonesian Democratic (IDE) Center, Girindra Sandino melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (27/11).

Untuk itu, IDE Center, kata Girindra ingin memberi masukan-masukan berikut:

Pertama, pengalaman Pilkada masa sebelumnya telah membentangkan gambaran dan pelajaran yang terang bahwa pelanggaran yang melibatkan Aparatus Sipil Negara (ASN) di samping berdampak serius dan destruktif terhadap proses kontestasi demokrasi, juga seakan perangkat atau instrument hukum rezim pemilu seakan mandeg jika berhadapan dengan kasus netralitas atau pelibatan ASN dalam proses pelaksanaan Pilkada.

“Oleh sebab itu, Pemerintah cq Kemendagri dan Bawaslu harus melakukan langkah sesegera mungkin (cepat tanggap) untuk mencegah lebih jauh keterlibatan netralitas ASN dalam Pelaksanaan Pilkada yang dapat menodai kemurnian demokrasi di Indonesia,” ujarnya.

Kedua, IDE Center mendesak instansi-instansi terkait untuk betindak cepat menangani masalah netralitas ASN ini, berdasarkan alasan yang kuat dari pengalaman-pengalaman pelaksanaan kontestasi demokrasi yang lalu.

ASN yang menggerakan mesin birokrat hingga tingkat bawah, seperti lurah atau kepala desa hingga tingkat RT dan RW atas perintah ASN, seperti penimbunan ribuan surat undangan atau form C6, yang pernah ditemukan di kelurahan daerah Jawa Barat saat Pilkada 2015 lalu.

Kemudian pada proses tahapan pemungutan suara, oknum ASN beserta perangkatnya yang melibatkan juga masyarakat sipil setempat pada masa tenang untuk menjanjikan sesuatu jika paslon jagoannya terpilih, bahkan kadang dengan tindakan-tindakan yang mengarah pada intimidasi dan tekanan-tekanan terhadap warga.

Masyarakat sipil yang digerakan perangkat oknum ASN biasanya pada proses pemungutan suara menyebar ke TPS-TPS basis lawan yang kuat untuk melakukan upaya seperti politik uang terhadap pemilih yang akan memilih, hingga mempengaruhi KPPS dengan uang yanag jumlahnya cukup besar.

Selanjutnya pada tahapan rekapitulasi suara, khususnya di tingkat kecamatan melalui PPK, terkadang atas perintah oknum ASN mereka mengubah dengan praktek-praktek yang asal-asalan, seperti mencoret hasil rekap perolehan suara, mentip-x, bahkan membuang atau menghilangkan form rekap dan kotak suara. Kejadian ini pernah diadvokasi di Halmahera Selatan, Kecamatan Bacan, hingga KPU Kabupaten dibekukan.

Ketiga, rentetan kecurangan-kecurangan tersebut karena jalan panjang keterlibatan ASN sejak pendaftaran calon mereka sudah mulai bergerak menyusun strategi. “Sehingga praktek kecurangan yang marathon sulit untuk dihentikan, karena di samping sudah tanggung, ancaman-ancaman berbagai bentuk siap menanti jika tidak melaksanakan tugas arahan oknum ASN yang berjenjang. Maka harus segera dihentikan, diberi sanksi tegas sesuai perundangan yang berlaku,” ujarnya.

Keempat, keterlibatan ASN dalam mengorbankan netralitasnya hingga ke tahap selanjutnya, pemungutan dan penghitungan suara serta rekapitulasi suara merupakan bentuk dari Parallel Crime Pattern”, sebuah pola yang harus dipecahkan solusinya, apalagi di tengah wabah pandemi Covid 19 ini.

“Khususnya BAWASLU RI harus benar-benar jeli, tegas, cepat dalam menangani ‘Parallel Crime Pattern’ yang melibatkan ASN berjenjang ini dalam penyelenggaraan Pilkada dengan menggandeng organ-organ sipil yang memiliki kompetensi, kemampuan, startegi yang mumpuni sertadan pengalaman yang memadai dalam pemantauan dan investigasi kecurangan dalam kontestasi demokrasi,” pungkas Girindra. (Very)

 

Artikel Terkait