Nasional

AM Putut Prabantoro Serahkan Buku "Masyarakat Pancasila" di Titik Nol Indonesia, Pulau Sabang

Oleh : very - Selasa, 19/01/2021 16:30 WIB

Pangdam Iskandar Muda, Nanggroe Aceh Darussalam menerima buku ”Masyarakat Pancasila” dari editor AM Putut Prabantoro, Alumnus Lemhannas PPSA XXI, di Titik Nol Indonesia, Pulau Sabang, Selasa (19/01/2021). Penyerahan buku itu disaksikan Danrem 012 Teuku Umar Kol. Inf. Djon Afriandi dan Dosen UMB DR Caturida Meiwanto Doktoralina. (Foto; Ist)

Sabang, INDONEWS.ID – Di Titik Nol Indonesia, Pulau Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam, buku Masyarakat Pancasila yang merupakan karya terakhir dari Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo diserahkan, Senin (19/01/2021). Buku tersebut diterima oleh Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI Achmad Marzuki dari editor buku AM Putut Prabantoro, Alumnus Lemhannas PPSA XXI. Peristiwa bersejarah ini disaksikan Danrem 012 Teuku Umar Kol Inf. Djon Afriandi dan Dosen UMB DR Caturida Meiwanto Doktoralina, yang juga Alumnus Lemhannas PPSA XXI.

Buku setebal 53 halaman itu merupakan hasil permenungan dan pemikiran Sayidiman Suryohadiprojo yang baru saja wafat di Jakarta, Sabtu (16/01/2021). Tulisan “Masyarakat Pancasila” diselesaikan oleh Sayidiman pada Oktober 2018. Oleh Sayidiman yang merupakan sesepuh TNI hasil permenungan itu disempurnakan pada 01  Januari  2019. Buku tersebut diluncurkan dalam acara Buka Tahun Baru Bersama XIV Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia (PWKI) pada akhir Januari 2019.

Pangdam Iskandar Muda Achmad Marzuki menegaskan, penyerahan buku “Masyarakat Pancasila” ini merupakan momentum bersejarah. Alasannya adalah, judul buku tersebut menjelaskan jati diri bangsa Indonesia yang mendiami sebuah negara yang terletak serta dimulai dari Sabang sebagai titik nol. Dimulai dari Sabang dan berakhir di Merauke sebagai provinsi di Indonesia yang paling ujung.

“Lagu Dari Sabang Sampai Merauke  menjelaskan teritori bangsa dan masyarakat Indonesia yang falsafah hidupnya adalah Pancasila. Titik Nol Indonesia ada di Pulau Sabang ini. Selain itu buku ini merupakan permenungan dari sesepuh TNI yang sampai akhir hayat beliau terus memikirkan bangsa dan negara Indonesia sebagaimana yang diimpikan oleh para pendiri bangsa dan negara. Pak Saydiman dengan para sesepuh TNI lainnya seperti Jenderal TNI Widjojo Suyono, Letjen TNI Kiki Syahnakri dll. Meskipun sudah purna tugas, beliau-beliau tak pernah berhenti memikirkan Indonesia. Ini menjelaskan Pak Sayidiman sangat memegang teguh Saptamarga dan Sumpah Prajuritnya ,” tegas Achmad Marrzuki melalui siaran pers yang diterima redaksi, pada Selasa (19/1).

Dalam penjelasannya lebih lanjut, Achmad Marzuki memerintahkan jajarannya untuk memasyarakatkan buku “Masyarakat Pancasila” dalam berbagai bentuk kegiatannya. Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa  harus berakar dalam budaya serta menjadi roh kehidupan seharian masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Sementara itu Danrem 012 Teuku Umar, Kolonel Djon Afriandi menyatakan siap mengamalkan Pancasila dengan kegiatan yang lebih nyata melalui berbagai kegiatan budaya. Momentum penyerahan buku Masyarakat Pancasila di Titik Nol Indonesia ini memiliki makna yang mendalam terkait dengan Aceh. Aceh selain pernah menjadi daerah konflik yang cukup Panjang, juga mengalami bencana tsunami Desember 2004 dan sekarang menghadapi pandemi. Segala penderitaan yang ada ini akan menjadi ringan jika dalam nilai Pancasila bersama-sama mengatasi.

Oleh karena itu, Korem 012 Teuku Umar memberi perhatian lebih terhadap terwujudnya kerukunan melalui gotong royong dan perhatian kepada para korban konflik sebagai salah satu bentuk pengalaman.

Caturida Meiwanto Doktoralina menegaskan bahwa momentum sejarah ini hendaknya diikuti oleh dunia pendidikan yang merupakan kawah candradimuka calon para pemimpin Indonesia di masa depan. Pancasila tidak mungkin akan bertahan hidup jika dunia Pendidikan Indonesia tidak benar-benar memerhatikan dan memelihara “roh” Pancasila. Sabang sebagai Titik Nol negara Indonesia harus menjadi motor dikembalikannya roh Pancasila tersebut untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa yang sekarang nyata dihadapi.

Menurut pengakuan Putut Prabantoro, yang juga Ketua Presidium Bidang Komunikasi Politik ISKA (Ikatan Sarjana Katolik Indonesia), dalam kesempatan Buka Tahun Baru Bersama di Gedung Lemhannas RI, Jakarta pada Januari 2019, selain meluncurkan secara khusus buku Masyarakat Pancasila,  PWKI juga menganugerahkan trophy “Terima Kasihku Kepadamu” kepada  Sayidiman dan juga para tokoh nasional lainnya karena bakti kepada negara dan bangsa.

 

Warisan

Dalam buku “Masyarakat Pancasila” yang diterbitkan Altheras itu, Putut Prabantoro adalah satu-satunya pemberi pengantar “Sekapur Sirih” dalam buku tersebut. Dan seperti merasakan apa yang akan terjadi, Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) itu kemudian memberi judul sekapur sirihnya dengan “WARISAN”. Dan diakhir tulisan “WARISAN” tersebut, Putut menuliskan posisinya ketika menulis untuk menjelaskan hubungannya dengan Sayidiman Suryohadiprojo. 

Di bawah ini  kutipan kata pengantar “WARISAN” tersebut :

1 Januari 2019!

Ketika sebagian besar orang di seantero dunia ini sedang berlibur dan menikmati merekahnya fajar baru, Pak Sayidiman justru menggunakan waktunya untuk menyelesaikan tulisan ini – MASYARAKAT PANCASILA. Ketika saya disodori untuk membaca tulisan ini, saya langsung mengusulkan, “Dibuat buku saja, Pak Sayidiman”.

Alasannya adalah, dalam usia 91 tahun, Letjen TNI (Pur) Sayidiman Suryohadiprojo masih tidak berhenti memikirkan negara, bangsa dan Pancasila.  Ia menyelesaikan tugas akhirnya, yang berjudul Masyarakat Pancasila. Dengan buku ini, seakan ada kerisauan mendalam dalam hati Pak Sayidiman terhadap masa depan negara Indonesia, dan itu tidak bisa diucapkan. Kerisauan itu ia tulis agar kelak banyak orang bisa membacanya.

Tentu saja Pak Sayidiman harus risau mengingat hidupnya tidak pernah lepas dari negara dan bangsa. Sebagai pejuang, sebagai Wakasad, sebagai mantan duta besar, sebagai mantan utusan khusus Presiden, sebagai mantan Gubernur Lemhannas, Pak Sayidiman sudah sewajarnya menunjukkan kerisauan atau kegalauannya sebagai orang tua. Seakan, Pak Sayidiman dengan buku itu (“Masyarakat Pancasila”) ingin bercerita betapa sulitnya sekarang ini mencari Pancasila, tidak mudah menemukan dan membangun masyarakat Pancasila yang diidamkan oleh pendiri bangsa serta negara.

Buku Masyarakat Pancasila ini seperti ingin menegaskan pepatah yang mengatakan, “It’s better to be A Lion for One Day than A hundred year as A Sheep”. Dan sebagai  “Singa”, Pak Sayidiman ingin meninggalkan “warisan” bagi siapapun Pemimpin Indonesia dan bagi siapapun yang ingin menjadi pemimpin Indonesia di masa depan agar hidup ratusan tahun sebagai singa dan bukan sebagai domba.

Warisan ini juga sebagai pengingat atau “pepiling” bagi bangsa Indonesia agar merawat dan memelihara Pancasila yang adalah falsafah hidup serta nilai luhur bagi bangsa Indonesia. Diharapkan bangsa Indonesia terutama para pemimpinnya tidak pernah merasa lelah untuk benar-benar mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam tatanan kehidupan sehari-hari.

Dilahirkan menjadi warga negara Indonesia dengan Pancasilanya adalah anugerah semata, bukan pilihan. Pelihara dan jagalah ! AM Putut Prabantoro – Alumnus PPSA XXI Lemhannas RI. (*)

Artikel Terkait