Sosok

Jejak FISIP UI: Sosok Hediana Utarti, Srikandi Penumpas Kejahatan Perdagangan Manusia

Oleh : Rikard Djegadut - Kamis, 11/02/2021 14:45 WIB

Penerima Penghargaan 2017 Modern Day Abolitionist Award for Direct Service to Survivors of Human Trafficking Hediana Utarti

Sosok, INDONEWS.ID - Dalam pewayangan Jawa, Dewi Srikandi dikisahkan sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna.

Dewi Srikandi menjadi suri teladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya.

Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa.

Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, putri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura yang dendam kepada Bisma.

Kisah Dewi Srikandi ini mungkin tepat bila disandingkan dengan kisah dan jejak perjuangan salah seorang alumnus perempuan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) tentang kiprahnya dalam memberantas para pelaku kejahatan perdagangan manusia.

Ia layak disebut srikandi seklaigus pendekar yang lihai memanfaatkan ilmu hukumnya dalam bertarung melawan para penjahat, perusakan kemanusian. Dengan ilmu yang diperolehnya ia manfaatkan untuk menyelamatkan orang banyak dari cengkraman para musuh kemanusian.

Atas komitmen dan usahanya membantu para korban perdagangan manusia di Amerika Serikat selama kurang lebih dari 17 tahun, warga Indonesia yang tinggal di San Francisco ini dianugerahi penghargaan anti perdagangan manusia, 2017 Modern Day Abolitionist Award for Direct Service to Survivors of Human Trafficking oleh pemerintah AS.

WNI Pertama Peraih Penghargaan Anti-Perdagangan Manusia di AS

Ketika penghargaan Modern Day Abolitionist Award 2017 beberapa waktu lalu dibacakan di San Fransisco, Amerika Serikat, orang Indonesia dikejutkan dengan nama penerimanya yang sangat familiar di telinga orang Indonesia.

Yeah, dia adalah Herdiana Utarti. Tidak main-main, kategori yang didapatkannya adalah Direct Service to Survivors of Human Trafficking.

Siapa sangka, ternyata Herdiana Utarti adalah warga Indonesia. Ia menyandang gelar doktoral di bidang politik yang sudah lama tinggal di San Fransisco, Amerika Serikat.

Hediana menjadi orang Indonesia pertama yang memperoleh penghargaan dari organisasi San Francisco Collaborative Against Human Trafficking (SFCAHT) ini.

Menurut situs Web SFCAHT, penghargaan ini diberikan kepada individu yang aktif memerangi perbudakan di era modern dan berkomitmen untuk membangun komunitas lokal dan global yang menghargai kehidupan manusia.

Selama kurang lebih 17 tahun, lulusan S3 bidang politik dari University of Hawaii di Manoa ini bekerja di organisasi nirlaba Asian Women’s Shelter yang sudah beroperasi selama hampir 30 tahun di San Francisco.

Dalam sepuluh tahun terakhir, Hediana menjabat sebagai Community Projects Coordinator yang menangani program dan pelayanan di bidang anti perdagangan manusia.

Sehari-harinya, ia membantu para korban kekerasan rumah tangga dan pemerkosaan yang memiliki keterbatasan bahasa Inggris, yang berasal dari berbagai negara. Kebanyakan dari para korban adalah imigran baru.

Saat ini, organisasi tempat Hediana bekerja memiliki 19 karyawan dan sekitar 50 penerjemah yang dua atau tiga di antaranya adalah orang Indonesia. “Jadi komitmen besar dari organisasi saya ini adalah yang namanya language access,” ujar Hediana Utarti saat dihubungi oleh VOA.

“Tahun ’88 servis kami itu dilakukan dalam dua atau tiga bahasa, ada Mandarin, ada Laotian. Di tahun 2017, kami mempunya 40 bahasa, termasuk Indonesia, Hindi, Mongolia, sampai Arabic, Spanish, dan juga bahasa Rusia,” tambahnya.

Para korban bisa menelpon dan meminta bantuan dengan rahasia, tanpa harus memberitahu mengenai latar belakang Selama ia bekerja di Asian Women’s Shelter, Hediana banyak melihat perempuan Indonesia yang melarikan diri dari kekerasan rumah tangga dan meminta bantuan.
“Saya membantu orang-orang Indonesia, tenaga kerja Indonesia yang menjadi korban eksploitasi atau labor trafficking,” jelas Hediana.

Menurut Hediana, terkadang para korban sendiri tidak menyadari bahwa mereka adalah korban perdagangan. Ia menuturkan, ada segerombolan orang Indonesia dibawa ke daerah Philadelphia dengan alasan bekerja di hotel. Namun, mereka tinggal dalam satu hinga dua apartemen yang diisi hingga sepuluh orang.

"Tiap pagi dijemput jam 5 pagi, kerja sampai jam 12 malam, enggak pernah kemana-mana, tidak tahu kalau mau lari mau kemana. Paspornya juga disimpan. Dalam kasus seperti itu ada beberapa kelompok yang lalu digrebek oleh FBI atau oleh Homeland Security. Tugasnya pemerintah itu juga mencarikan mereka pengacara,” cerita Hediana.

Dari situ kemudian para pengacara menghubungi organisasi tempat Hediana bekerja untuk meminta bantuan di bidang pelayanan sosial. Dalam pekerjaannya, Hediana juga bekerja sama dengan Asian Pacific Islander Legal Outreach yang membantu di bidang hukum dan organisasi nirlaba Mujeres Unidas yang juga menyediakan tempat penampungan bagi perempuan di AS.

Indonesian Community Outreach Committee

Di samping itu, bersama beberapa warga Indonesia lainnya, Hediana juga membentuk organisasi Indonesian Community Outreach Committee yang memang khusus membantu para korban perdagangan manusia yang berasal dari Indonesia. Para anggotanya terdiri dari seorang pastor dan pemimpin kelompok pengajian di San Francisco.

"Acapkali kok ada situasi dimana orang itu tidak dibayar atau di penjara, enggak boleh keluar dari rumah, mereka itu ceritanya ke ibu pengajian. Ibu pengajian lalu bilang ke saya. Dalam situasi seperti itu, saya bagaimana caranya bisa bicara dengan bapak-bapak atau ibu-ibu yang tidak boleh keluar dari rumah itu, untuk membei informasi bahwa (tindakan) seperti itu dilarang di Amerika. Itu adalah tindakan kriminal,” papar Hediana.

Bantuan yang diberikan oleh Indonesian Community Outreach Committee tidak hanya mencarikan tempat penampungan bagi korban, namun juga mencakup bantuan di bidang kesehatan dan lainnya. Seperti yang pernah dilakukan oleh Hediana saat membantu dua orang nelayan pria asal Indonesia yang bekerja di perairan Hawaii dan San Francisco.

“Ternyata di kapal itu paspornya disimpan. Bekerjanya dari jam 5 pagi sampai 12 malam, tidak diberi pakaian untuk pengamanan. Setelah hampir dua tahun, salah satu dari mereka luka-luka (dan akhirnya mereka itu melarikan diri dari kapal itu. Mereka itu sebetulnya takut lari dari kapal, karena visanya itu visa untuk bekerja di kapal. Kalau enggak salah malah kadang-kadang tidak usah pakai visa kalau mau kerja di kapal, tapi tidak boleh menginjak ranahnya Amerika,” ujar Hediana.

Karena jarang ada tempat penampungan yang menerima korban pria, ia dan rekannya, pastor Tony Bastaman, kemudian mencari teman-teman asal Indonesia yang bisa menampung para korban untuk sementara. Hediana juga membantu para korban dalam berkomunikasi, mengingat mereka tidak bisa bahasa inggris. Tidak hanya itu, Hediana juga membantu mereka menemui dokter dan potong rambut.

“Mereka perlu tempat tinggal yang aman, mereka perlu makanan, mereka perlu ke dokter, mungkin juga perlu ke terapis, karena mereka ketakutan,” kata Hediana.

Hediana kemudian membantu mencarikan mereka pengacara yang lalu melaporkan kasus tersebut kepada FBI. Jika tidak ada pengacara yang membantu, Hediana menambahkan para korban ini bisa langsung dideportasi.

Jika terbukti bahwa mereka adalah benar korban, maka pemerintah dan agen sosial di AS bisa memberikan bantuan selama delapan bulan, juga bantuan dana sebesar 400-500 dolar AS untuk makan, dan bantuan asuransi kesehatan.

Dengan memiliki pengacara, para korban bisa mendaftar untuk memperoleh ijin tinggal T visa yang khusus ditujukan untuk korban perdagangan manusia, yang berlaku selama empat tahun.

Pemegang T visa juga diperbolehkan untuk bekerja di AS. Setelah empat tahun, mereka bisa mendaftar untuk mendapatkan Green Card atau menjadi penduduk tetap AS. Mereka juga diperbolehkan untuk pulang ke negara masing-masing.

Kepada orang Indonesia yang ingin bekerja di luar negeri Hediana berpesan untuk mencari keberadaan organisasi Indonesia di negara yang dituju dan jangan mau diisolasi.

“Kalau bisa, kita itu harus punya kebebasan untuk bergerak. Kalau kita kerja di suatu tempat, terus kita enggak boleh keluar masuk, termasuk kalau kita dalam hubungan intim, menikah dengan seseorang tapi kita keluar masuk dari rumah atau pergi-pergi harus ikut suami, itu agak-agak bahaya."

Hediana Utarti bersama teman-teman alumni FISIP UI angkatan 1978 di Balai Sarwono, Jakarta

Sosok Hediana Utarti

Sebelum menyelesaiakan gelar master dan doktoralnya serta tinggal di Amerika Serika, Hediana Utarti menyelesaikan strata satu (S1) dengan gelar Sarjana Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politk Universitas Indonesia pada 1983.

Selanjutnya, perempuan 62 tahun ini lalu menempuh pendidikan master dan doktoral di University of Hawai di Manoa Amerika Serikat selama tahun 1989 hingga 2000.

Setelahnya, Hedina Utarti menetap di Amerika Serikat dan bergabung dengan organisasi kemanusian dan berjuang melawan human traficking.

Hediana tercatat bergabung dengan San Francisco Asian Women`s Shelter dan menjabat sebagai Anti-Trafficking Program Coordinator/Community Advocate selama 14 tahun sejak Juli 2006 hingga Juni 2020.

Selanjutnya, pada Juli 2006 hingga Maret 2017, selama 10 tahun Hediana bergabung dengan Asian Women`s Shelter.

Lalu ia juga menjadi Community Projects Coordinator (termasuk Anti Trafficking Program Coord), dimana Ia bertugas menyediakan pelatihan terkait isu-isu keadilan sosial seperti tindakan kekerasan atau pemerkosaan, eksploitasi, anti homophobia dan lain-lain.

Hediana menjadi Board member dari National Coalition Against Domestic Violence selama tiga tahun sejak 2005 hingga 2008.

Berikutnya, selama 9 tahun sejak 1991-2000, Hediana Utarti menjadi Co-Director Women`s Center, University of Hawaii at Manoa Honolulu, Hawaii, AS.

Selain itu, aktivitas kemanusian lain yang dilakukannya adalah menjadi anggota aktif di Family Peace Center, Volunteer and Co Facilitator for Women`s Support Group.

Atas dedikasi dan kerja kerasnya dalam memberantas kasus kejahatan perdagangan manusia, Hediana Utarti menerima penghargaan dari San Francisco Collaborative Against Human Trafficking (SFCAHT) sebagai 2017 Modern Day Abolitionist Award for Direct Service to Survivors of Human Trafficking.


Profil Singkat:

Nama : Hediana Utarti
Lahir : Indonesia
Domisili : San Fransico, USA

Pendidikan:

Sarjana Politik FISIP UI 1983
MA dan Ph.D Political Science University of Hawaii at Manoa 1989 – 2000

Kerja:

Anti-Trafficking Program Coordinator/Community Advocate
San Francisco Asian Women`s Shelter 2006 – Jun 2020 (14 Tahun)

Community Projects Coordinator (including Anti Trafficking Program Coord) Company NameAsian Women`s Shelter 2006 -2017 (10 yrs 9 mos)

Board member National Coalition Against Domestic Violence 2005 – 2008 (3 yrs)

Co-Director Women`s Center, U of Hawaii at Manoa 1991 – 2000 (9 yrs) Honolulu, Hawaii

Activities and Societies:

Family Peace Center, Volunteer and Co Facilitator for Women`s Support Group.

Penghargaan:

2017 Modern Day Abolitionist Award for Direct Service to Survivors of Human Trafficking.*(Rikard Djegadut).

 

Artikel Terkait