Nasional

Pakar Hukum: Pemerintah Perlu Lancarkan Operasi Militer dalam Kasus di Intan Jaya

Oleh : very - Kamis, 18/02/2021 11:16 WIB

Dr. iur. Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum., pakar Hukum Humaniter Internasional dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, di Bandung, Rabu (17/02/2021). (Foto: Ist)

Bandung, INDONEWS.ID -- Pemerintah tidak perlu ragu melakukan operasi militer ke daerah Intan Jaya. Selain untuk melindungi penduduk sipil yang tidak berdosa serta aparat kemanan baik TNI maupun Polri, juga untuk menjaga kepercayaan seluruh komponen bangsa Indonesia terhadap hadirnya NKRI di Papua.

Demikian ditegaskan oleh Dr. iur. Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum., pakar Hukum Humaniter Internasional dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, di Bandung, Rabu (17/02/2021).

Menurut Liona, pemerintah  tidak perlu ragu dan takut atau kuatir akan mendapat reaksi dan atau tekanan internasional, karena kasus gerakan teror yang dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata di Papua umumnya dan khususnya yang melanda daerah Intan Wijaya baru-baru ini adalah murni merupakan masalah dalam negeri negara Indonesia. “Tidak ada satupun negara di dunia yang dapat melakukan intervensi urusan dalam negeri negara lain,” ujar President The Best Lawyers Indonesia (BLCI) itu.

Tindakan tegas dan terukur yang selama ini dilakukan terhadap kelompok yang dianggap intoleran merupakan prestasi tersendiri dari pemerintahan Jokowi. Demikian juga seharusnya, katanya, dapat melakukan tindakan yang sama, yaitu tindakan tegas dan terukur terhadap Kelompok Kriminal Bersenjata berserta organisasi Underbownya di Papua khususnya dan umumnya di Indonesia.

“Tindakan tegas dan terukur itu baik di lingkungan kampus, pemerintahan maupun di masyarakat, tidak boleh diberikan tempat bagi mereka yang ingin memisahkan diri dari NKRI,” tegas Alumus Lemhannas Angkatan 58.

Menurut Liona, berdasarkan Protokol Tambahan II, 1977, Konvensi Jenewa 1949 Kelompok Kriminal Bersentaja di Papua bukanlah termasuk pada kategori konflik bersenjata non internasional (Non International Armed Conflict).

Pertama, karena tidak memenuhi minimum level of intensity. Artinya konfrontasi bersenjata yang dilakukan oleh KKB tidak mencapai tingkat intensitas minimum, masih bersifat sporadis atau tidak ada kontinuitas/keberlangsungan yang terus menerus tanpa henti.

“Kedua, KKB tidak memenuhi minimum of organization, sebagai pihak yang berkonflik, KKB tidak menampilkan atau menunjukan unsur minimal suatu organisasi pemberontak yang terorganisir dengan baik,” ujar Pengurus Pusat ISKA itu. 

Menurut Liona Protokol Tambahan II, 1977, Konvensi Jenewa 1949 khususnya Pasal 1 ayat (2) secara tegas menyatakan tidak berlakunya ketentuan hukum internasional untuk kasus KKB di Papua.

“Protokol ini tidak berlaku untuk situasi-situasi kekerasan dan ketegangan dalam negeri, seperti huru-hara, tindak kekerasan yang bersifat terisolir dan sporadis, serta tindak kekerasan serupa lainnya, yang bukan merupakan konflik bersenjata”. Jadi jelas penegakan hukum nasional secara absolut dapat diterapkan untuk menyelesaikan kasus KKB di Papua.

Karena jika tidak diselesaikan sekarang, maka kemungkinan KKB akan membesar dan dikuatirkan akan menjelma menjadi kaum belligerent yaitu kelompok bersenjata terorganisir yang memiliki pemimpin layaknya pemimpin sebuah pemerintah yang berdaulat.

“Bisa juga menguasai sebagian wilayah yang diklaimnya, melaksanakan operasi militer yang berkelanjutan yang kemungkinan akan mendapat dukungan dari rakyat sekalipun dibawah ancaman. Jadi saatnya Pemerintah bertindak tegas dan terukur sesuai dengan hukum,” pungkas Liona yang juga anggota Dewan Kehormatan Peradi Jawa Barat. (Very)

Artikel Terkait