Nasional

Pelabelan KKB sebagai Teroris, Tutup Kesempatan Jokowi Bangun Papua Secara Humanis

Oleh : very - Kamis, 29/04/2021 22:59 WIB

Hendardi, Ketua SETARA Institute. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Kebijakan pelabelan pemerintah terhadap Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sebagai teroris menggambarkan ketidakcakapan pemerintah dalam mengelola dan meniti resolusi konflik di Papua dan ekspresi sikap putus asa pemerintah yang tidak kunjung tuntas menangani kelompok perlawanan Papua.

Bukannya membangun dialog Jakarta-Papua dan mengurangi pendekatan keamanan, pemerintah justru mempertegas pilihan kekerasan bagi penanganan Papua.

“Selain kontraproduktif, mempercepat dan memperpanjang spiral kekerasan, langkah pemerintah juga rentan menimbulkan pelanggaran HAM yang serius,” ujar Ketua SETARA Institute, Hendardi melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (29/4).

Hendardi mengatakan, sama seperti penamaan KKB yang merupakan produk Negara, penamaan sebagai teroris juga dilakukan oleh Negara untuk melegitimasi tindakan-tindakan represif dan pembenaran operasi secara massif di Papua.

“Pelabelan kelompok perlawanan di Papua tidak akan memutus siklus kekerasan yang telah berlangsung lama dan panjang,” ujarnya.

Kegagalan aparat keamanan dalam melumpuhkan kelompok bersenjata selama ini lebih dikarenakan kurangnya dukungan dan kepercayaan dari rakyat setempat. Selain kondisi geografis dan pengenalan area di pegunungan sebagai kendala utama.

Menurut Hendardi, pelabelan teroris dan tindakan operasi lanjutannya adalah kebijakan terburuk Jokowi atas Papua.

Pelabelan teroris pada KKB akan menimbulkan beberapa implikasi.

Pertama, pelabelan ini menutup ruang dialog Jakarta-Papua yang direkomendasikan oleh banyak pihak sabagai jalan membangun perdamaian. 

Kedua, meningkatnya eskalasi kekerasan yang berdampak langsung pada rakyat Papua seperti terpaksa mengungsi untuk mencari selamat, kehilangan penghasilan ekonomi, anak-anak tidak bersekolah,  kesehatan dan sanitasi lingkungan terganggu serta hal lain-lain.

Ketiga, pelabelan terorisme membuka terjadinya pelembagaan rasisme dan diskriminasi berkelanjutan atas warga Papua secara umum, mengingat tidak jelasnya definisi siapa yang dinyatakan teroris.

“Pilihan Jokowi melabeli KKB Papua sebagai teroris dan dampak lanjutan yang akan terjadi, akan menutup kesempatan Jokowi dan pemerintah untuk membangun Papua secara humanis, sebagaimana yang dijanjikannya dalam berbagai kesempatan,” ujarnya.

Pilihan realistis bagi Papua adalah penyelesaian secara damai dimulai dengan kesepakatan penghentian permusuhan, membangun dialog dan susun skema-skema pembangunan yang disepakati.

“Revisi UU Otonomi Khusus Papua bisa menjadi momentum mendialogkan isu-isu krusial Papua, termasuk soal penanganan pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait