Nasional

Selesaikan Konflik Papua Secara Holistik dan Kolaboratif

Oleh : very - Kamis, 06/05/2021 22:56 WIB

Dr. AS Hikam, MA (Pengamat Politik President University). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Konflik yang terjadi di Papua harus diurai akar persoalannya, kemudian diambil langkah-langkah penyelesaikan secara kolaboratif dan holistik.

Hal ini dikupas dan dipaparkan saat webinar yang diselenggarakan Indonesian Public Institute (IPI) dengan tema "Memahami Papua Serta Upaya Penyelesaian Secara Kolaboratif dan Holistik" pada Kamis, 6 Mei 2021.

Webinar itu menghadirkan pembicara Komjen Pol. Drs. Paulus Waterpauw (Tokoh Masyarakat Papua); Bobby Adhityo Rizaldi, MBA (Komisi I DPR RI); Dr. AS Hikam, MA (Pengamat Politik President University); Jaleswari Pramodhawardani (Deputi V Bidang Politik Hukum Pertahanan Keamanan dan HAM - Kantor Staf Presiden); Billy Mambrasar (Staf Khusus Presiden/Pengusaha Muda Papua); dan Puspita Ayu Putri Dima sebagai Host.

Direktur Eksekutif IPI Karyono Wibowo dalam pengantar diskusi mengatakan, konflik Papua harus dipahami dalam spektrum yang lebih luas karena di Papua tak berlaku solusi tunggal, mengingat persoalanya sangat heterogen, multidimensi dan sangat complicated.

"Konflik Papua ini tergolong paling alot, sangat lama dibanding di wilayah lain. Maka perlu kajian mendalam untuk mengidentifikasi akar persoalan konflik," katanya.

Pembicara pertama Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan, sebenarnya pembanguna di Papua sudah terlegislasi dan teregulasi dengan baik. Diantaranya dengan adanya UU 21/2001 tentang Otsus Papua.

Kemudian Perpu No.1 tahun 2008 yang mengamanatkan agar Papua mewujudkan keadilan; Penegakan supremasi hukum; Penghormatan HAM; Percepatan pembangun ekonomi; dan Peningkatan kesejahteraan dalam rangka kesetaraan.

"Bicara konflik Papua, perlu dilihat, apakah masalah ada pada regulasi, perda, ataukah secara taktis implementasinya. Sebab dengan dana otsus yang ratusan triliun pasti indeks manusianya meningkat," kata Bobby.

Sebagai contoh, lanjut Bobby, ketika Presiden Jokowi menggenjot pembanguan infrastruktur jalan lintas, BBM satu harga, dan program lainnya, ternyata masih ada kendala di lapangan berupa pertentangan antara yang mendukung dan melawan kebijakan itu.

"Pembangunan jalan ruas Papua, masih banyak diganggu. BBM satu harga ternyata masih ada biaya tambahan. Maka secara taktis harus dilihat. Mana yang mendukung program pemerintah dan mana yang menolak dan menghambat kemajuan," katanya.

 

Cenderung Bicara `Kami Cersus Mereka`

Sementara itu, AS Hikam menilai Papua mestinya dilihat dengan cara pandang yang berorientasi pada humanistik dan kebudayaan. Sebab masalah Papua bisa diselesaikan dengan pendekatan yang khas masyarakat sipil.

"Jadi bagaimana masyarakat sipil bisa terlibat secara sukarela dalam menyelesaikan masalah. Ini kedengarannya sederhana tapi tidak mudah. Apalagi jika mereka masih ada trauma," jelas Hikam.

Bagi Hikam, apa yang sudah dilakukan pemerintah memang sangat baik. Tapi kalau tidak berbasis fakta real di lapangan, maka hasilnya mungkin tak akan terlalu efektif.

Sebagai contoh, Otsus Papua dan dana triliunan rupiah yang mengikutinya juga masih jadi pertanyaan, sejauh mana efektifitasnya.

"Memang secara normatif sudah dilakukan pembangun Indonesia untuk Papua. Tapi persoalan paling krusial adalah pada penanggulangan masalah korupsi. Inilah yang membuat masyarakat dengan mudah kecewa. Entah benar atau tidak, bagaimana pejabat yang menikmati dan masyarakat masih miskin," kata Hikam.

Problem lainnya bagi Hikam adalah bagaimana memosisikan masyarakat Papua secara humanistik agar orang Papua merasa dihargai.

"Dalam bahasa Jawa bagaimana kita Ngewongke Wong. Orang Papua dilibatkan dan didengarkan. Sekarang ada orang bicara Papua cenderung bicara `kami versus mereka` Bukan solodarity making. Ini juga jadi persoalan," katanya. (Very)

 

Artikel Terkait