
Oleh: Maryunani, Purnapraja Angkatan 01/ Domisili di Malang-Jawa Timur
Dalam suatu pembicaraan dengan Pak Indrarto, aku katakan serius, “Jujur Pak, aku dan mungkin semua Praja di Jatinangor benci sama Pak In!”
Tanpa tedeng aling-aling aku ungkapkan itu dengan berbagai alibiku.
Dengan mimik muka serius pula Pak In memerhatikanku. Saat kita pendidikan di Jatinangor, kebebasan kami hilang, semua serba dilarang, setiap waktu kami diatur, dari pagi hingga menjelang tidur. Bertemu dengan Pak In saja kita ogah dan lebih baik menghindar, karena di mata Pak In pasti ada hal yang salah dan kita dapat teguran bahkan hukuman.
Saat malam, perut kami berbunyi karena aktivitas melelahkan sedang menu makanan itu-itu saja, kami juga ingin makan di luar untuk sekedar isi perut dan merembes sebuah pelanggaran di mata Pak In.
Setiap aktivitas kami, termasuk acara seremonial yang kita lakukan selalu saja ada kehadiran Pak In. Pagi, siang, dan malam, selalu diawasi seolah kami tidak boleh melakukan ini dan itu yang menurut selera kami dan mau kami.
Pak, sadar enggak sih. Di Jatinangor itu, rata-rata sivitas akademika peduli dengan kami sebatas tugas dan tanggung jawabnya. Selesai kerja, mereka lantas pulang berkumpul dengan keluarganya masing-masing. Mereka menganggap tupoksinya selesai dan tidak perlu ada lagi tambahan aktivitas yang menghantui kami sebagai praja. Seharusnya ya begitu Pak. Tapi apa yang Pak In lakukan? Semuanya mungkin juga aneh nyleneh di mata mereka, apalagi kami.
Sekali lagi, aku sebenarnya muak dan benci dengan tindakan Pak In!
Kok mau-maunya Pak In melakukan itu. Sorot mataku jadi wegah bila bertemu Pak In.
Tahu nggak Pak In?
Saat kami lulus dan wisuda lalu keluar dari Jatinangor, langsung merasa bebas merdeka dari belenggu tekanan Pak In yang menyebalkan itu.
Pak In...
Saat kami tugas dinas dalam pengabdian sebagai aparatur di daerah, banyak kisah pengalaman yang kami hadapi. Kadang lancar dan sebaliknya ada juga hambatan tantangan beban berat dalam jiwa ini.
Tapi entahlah, saat tekanan itu melanda, aku justru terkenang Pak In. Aku merasa cacian makian dan kata-kata yang aku rasakan selama di Jatinangor itu membekas dan menjadi kekuatan moralku untuk mampu menyelesaikan beban persoalan di lapangan kerja.
Aku tersadar, ternyata apa yang dilakukan Pak In selama ini benar-benar bermanfaat dalam membentuk jiwa dan karakterku. Aku merenung, rupanya makian dan hukuman yang selama ini aku terima ternyata telah menjelma dalam sikap dan mentalku.
Oh...inilah fakta, bahwa aku harus menjaga sikap, disiplin, dan berintegritas dalam tugas itu sebagaimana yang Bapak contohkan saat di Jatinangor.
Hmm...andai lembaga pendidikan sekolah pamong orang-orangnya bersikap seperti Pak In, atau setidak-tidaknya satu orang saja di masing-masing bidang, aku bayangkan kualitas moral dan pengetahuan praja tentu akan lebih hebat.
Wajar saja sikap para purnapraja seluruh Indonesia yang pernah diasuh Pak In, begitu mengidolakan, kangen, dan merasa bersyukur atas sentuhan dan kepedulian Pak In.
Banyak kisah-kisah yang diceritakan purnapraja lintas generasi yang kini sukses dengan aneka jabatannya, mereka mengakui atas gemblengan Pak In di Jatinangor. Terbitnya buku Sang Guru Pamong adalah kepentingan kami, kehendak kami para purnapraja Indonesia. Sebagai apresiasi jiwa kami yang tulus atas jasa dan pengorbanan pak in kepada kami para anak didik, meskipun Pak In sendiri tidak menghendaki terbitnya buku itu.
Terima kasih kami dari jiwa-jiwa tulus kepada sang Pengasuh Legend, Sang Bapak, semoga Pak In diberkahi sehat dan berbahagia bersama keluarga , dan kami akan selalu hormat, mendoakan, dan menyayangi Pak In hingga akhir usia.
Semoga integritas dan jiwa-jiwa pengasuh sejati yang dilakukan Pak In menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya dalam mendidik adik-adik kami di IPDN.
Integritas itu wajib ditanamkan saat pendidikan.!
Bukan kekayaan harta yang dibanggakan.
Kekayaan jiwa yang dimiliki Pak In yang menjadikan para purna ini bagai tebaran permata di seluruh NKRI.
Salam santun BNEB
Mas Yun/NPP. 01.0382