Opini

Pancasila dan Virus Korupsi

Oleh : Mancik - Rabu, 02/06/2021 12:12 WIB

Tenaga Ahli DPR RI Periode 2019-2024, Wilibaldus Kuntam.(Foto:Istimewa)

*)Oleh: Wilibaldus Kuntam

Jakarta, INDONEWS.ID - Setiap 1 Juni kita memperingati hari kelahiran pancasila. Pancasila diperingati karena menjadi pilar kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Karenanya, pancasila harus djaga semua pihak. Kalau tak dijaga, maka bangunan kenegaraan dan kebangsaan mudah runtuh.

Peringatan kelahiran pancasila sangat relevan dengan situasi kekinian Indonesia. Salah satu situasi paling menarik perhatian publik adalah persoalan korupsi. Seharusnya, tak ada korupsi dalam negara pancasila. Nyatanya tidak begitu.

Korupsi justru semakin parah dari masa ke masa. Korupsi mulai dari pusat hingga daerah. Dari korupsi yang merugikan negara puluhan juta hingga triliunan rupiah. Contoh korupsi yang paling merugikan negara adalah korupsi dana Bansos. Inilah sebabnya indeks pemberantasan korupsi Indonesia cenderung menurun belakangan ini.

Apakah pancasila yang salah? Tentu saja tidak sebab pancasila ibarat kompas. Sebagai kompas, pancasila hanya memberikan arah kemana orang harus berjalan. Karenanya, menyalahkankan pancasila lantaran orang salah jalan tentu tak masuk akal. Begitu pula halnya dengan korupsi. Menyalahkan pancasila karena perilaku korupsi semakin menggurita adalah sesat nalar.

Lantas, siapa yang bertanggung jawab dengan masalah korupsi? Jawabannya beragam. Hemat saya, jawabannya adalah pemimpin. Tidak lebih tak kurang begitu. Dikatakan pemimpin karena pemimpin mempunyai kekuasaan dan memakai kekuasaan itu sebagai alat untuk membuat keputusan dan kebijakan politik, ekonomi, dan seterusnya.


Karenanya, pemimpin tidak boleh hanya pandai mengeluh apalagi berdoa semata agar pejabat tidak korupsi. Pemimpin harus berpeluh. Ia harus mampu menggunakan kekuasaannya untuk menggerak seluruh potensi melawan korupsi. Bukan kebetulan Syafii Maarif beberapa waktu yang lalu mengkritik pemerintah sekarang yang hanya bisa "menghimbau tanpa mampu memerintah" dalam pemberantasan korupsi (Koran Tempo, 27 /5/2021).

Selain alasan di atas, pemimpin mesti bertanggung jawab atas perilaku korupsi karena pemimpin adalah teladan atau model bagi yang dipimpin. Anda tentu sudah membayangkan saat pemimpin sendiri sudah korupsi, maka yang di dipimpin pun ikut menirunya.Saya meyakini bahwa korupsi yang semakin beranakpinak belakangan ini hanyalah tiruan korupsi pemimpin. Bila atasan merampok uang negara, bawahan pun ikutan merampok.

Kala pemimpin melindungi koruptor, bawahan pun melakukan hal serupa. Korupsi yang dilakukan oleh elit terutama partai politik, baik dari pusat maupun daerah, sesunguhnya meniru perilaku korupsi pemimpin. Itu berarti keberhasilan pemberantasan korupsi saat ini dan ke depan mesti dimulai dari pemimpin. Apa ini mungkin? Sangat mungkin.

Saya sodorkan contoh. China merupakan satu negara yang berhasil memberantas korupsi. Keberhasilan negara Tirai Bambu itu bermula dari pemimpinnya. Deng Xiaoping pada tahun 1978 mulai mendiagnosa penyakit negaranya. Ia menemukan satu virus yang bisa mematikan China. Virus itu bernama korupsi. Korupsi baginya adalah virus ganas mematikan. Lebih ganas dari covid`19 yang sedang kita takuti sekarang ini.

Menyadari itu, Deng Xiaoping berhasil membunuh virus korupsi dengan baik. Tak hanya Deng Xiaoping tapi juga pemimpin lain seperti Zhu Rongji. Ada satu kalimat yang tersohor dari mulutnya. Ia bilang "berikan saya seribu peti mati. Sembilan puluh sembilan saya gunakan untuk mengubur para koruptor dan satu untuk saya kalau saya melakukan tindak pidana korupsi". Hasilnya tak mengecewakan. Kini China mempunyai prestasi luar biasa di dunia. Posisinya pada pentas global sudah satu level dengan negara adidaya Amerika Serikat, bahkan menguasai negara-negara di dunia.

China berbeda dengan Indonesia. Di Indonesia, koruptor tak dihukum mati. Cukup beri hukuman ringan. Selain itu, koruptor dilindungi dengan beragam cara. Tengoklah bagaimana para pemimpin negeri ini mencari siasat melindungi koruptor. Mirisnya lagi, yang melindungi koruptor adalah penguasa yang mengaku anak ideologis Bung Karno, sang penggali pancasila. Simaklah drama kekuasaan yang melemahkan Lembaga Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) belakangan ini.. Penyidik KPK yang mau menangkap Harun Masiku disingkirkan .

Karena korupsi itu bermula dari pemimpin, maka saat ini publik mesti mendesak partai politik untuk mereformasi diri. Mengapa parpol? Alasannya sederhana. Parpol mempunyai kewenangan begitu besar menentukan pemimpin. Soal ini Anda bisa bilang bahwa tak ada parpol yang melakukan korupsi. Nyatanya justru terbalik. Cermati data dari lembaga antirasuah-KPK.

Di era pemerintahan presiden Joko Widodo, korupsi beranakpinak pada lembaga partai politik. Tak jarang partai korup itu jelas-jelas mengaku pancasilais. Sampai di sini bisa saja ada argumen lain. Argumen itu begini: yang melakukan korupsi adalah pribadi bukan lembaga parpol. Ini argumen keliru. Mengapa? Sebab setiap institusi mempunyai tata etika dan tata aturan yang membuat perilaku kader partai menjadi beradab.

Dengan etika dan aturan yang ada dalam partai, setiap kader bisa membedakan yang baik dan yang buruk. Ringkasnya, virus korupsi yang bercokol dalam parpol mulai pusat hingga daerah, bukan hanya menjadi persoalan individu tetapi persoalan kelembagaan parpol.

Dari semua persoalan ini, maka hal yang paling mendesak dibuat saat ini adalah merevolusi mental para elit parpol. Nilai-nilai pancasila itu seharusnya dibatinkan dalam diri mereka. Pembatinan nilai-nilai pancasila itu tentu bukan diukur dari seberapa sering para kader memberikan ucapan peringatan hari kelahiran pancasila di media sosial dan media massa. Juga bukan diukur dari kemampuan membuat citra diri sebagai partai pancasilais.

Belakangan ini negeri ini sibuk mengurus masalah negara lain. Begitu cermat memperhatikan semut di seberang lautan lalu lupa gajah di depan mata. Cermat mengurus masalah kemanusiaan Israel dengan Palestina tapi lupa bahwa korupsi adalah persoalan kemanusiaan yang paling nyata.

Saya sependapat dengan Hendropriyono, mantan kepala BIN, yang meminta negeri ini fokus menyelesaikan masalah dalam negeri ketimbang ribut soal konflik Israel dan Palestina yang semakin memanas. Soekarno pernah bilang: penjajahan bentuk yang lama telah tiada. Penjajahan gaya baru segera tiba.

Ia berganti bentuk dan berganti bajunya. Penjajahan gaya baru itu muncul dari dalam negara sendiri dan lebih berat ketimbang penjajahan lama. Penjajahan gaya baru itu adalah korupsi. Peringatan hari kelahiran pancasila kali ini sebaiknya dimaknai sebagai peringatan akan bahaya virus korupsi bagi masa depan bangsa.

Penulis adalah Tenaga Ahli DPR RI Periode 2019-2024*)

 

 

 

Artikel Terkait