Opini

Menyoal Komisaris BUMN Rangkap Jabatan, Menteri Erick Tohir Harus Lakukan Apa?

Oleh : indonews - Jum'at, 09/07/2021 19:42 WIB

Wakil Sekretaris Jendral Bidang Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia PB PMII dan Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta, Hasnu.(Foto:Ist)

Oleh: Hasnu*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Berdasarkan laporan Ombudsman RI pada tahun 2017 telah mengungkap banyaknya jumlah komisaris rangkap jabatan dan menjadi perhatian publik. Terhadap hal tersebut pemerintah melalui Kantor Staf Presiden menyampaikan akan memberikan opsi pengaturan kepada Presiden RI. Namun, belum diketahui perkembangan terkait hal tersebut hingga saat ini.
 
Menurut data Ombudsman RI, mengungkapkan dalam perkembangannya persoalan tersebut tak kunjung tuntas, dan kembali menuai polemik di publik. Saat ini persoalan yang menjadi perhatian juga bertambah, hingga mencakup isu-isu seperti dominasi jajaran Direksi dan Komisaris yang berasal dari Bank BUMN tertentu, kompetensi komisaris yang berasal dari relawan politik, penempatan anggota TNI/Polri aktif, penempatan ASN aktif sebagai komisaris di anak perusahaan BUMN hingga Pengurus Parpol diangkat menjadi Komisaris BUMN.
 
Padahal, Ombudsman RI telah berkomitmen pihaknya masih terus melakukan pendalaman terhadap hal tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh, pada tahun 2019 terdapat 397 orang penyelenggara negara/pemerintahan terindikasi rangkap jabatan di BUMN dan sebanyak 167 orang di anak perusahaan BUMN. Data-data tersebut masih terus  diverifikasi ulang berdasarkan status keaktifannya saat ini.
 
Kendati demikian, Ombudsman RI mengakui, dari 397 orang dimaksud, Komisaris terindikasi rangkap jabatan yang berasal dari Kementerian mencapai 254 orang (64%), dari Lembaga Non Kementerian mencapai 112 orang (28%), dan dari Perguruan Tinggi 31 orang (8%).
 
Untuk instansi asal kementerian, dalam laporan Ombudsman, ada lima kementerian yang mendominasi hingga 58%, yaitu: Kementerian BUMN (55 orang), Kementerian Keuangan (42 orang), Kementerian Perhubungan (17 orang), Kementerian PUPR (17 orang), dan Kementerian Sekretaris Negara (16 orang).
 
Dalam data itu merincikan, untuk instansi asal Lembaga Non Kementerian, 65% didominasi oleh lima instansi, yaitu: TNI (27), POLRI (13 orang), Kejaksaan (12 orang), Pemda (11 orang), BIN (10 orang) dan BPKP (10 orang).Sedangkan untuk instansi asal Perguruan Tinggi, tercatat seluruhnya berasal dari 16 Perguruan Tinggi dengan terbanyak dari Universitas Indonesia (9 orang) dan disusul Universitas Gajah Mada (5 orang).
 
Apabila kita menelisik lebih jauh, polemik rangkap jabatan ini meningkat dan juga dipicu oleh regulasi yang membuka peluang lebih longgar untuk pengabaian etika. Sebelumnya, Peraturan Pemerintah (PP) No. 30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS melarang PNS rangkap jabatan menjadi direksi dan komisaris perusahaan swasta.
 
Selanjutnya, PP tersebut diubah menjadi PP No. 53/2010 tentang Disiplin PNS dan tidak ada lagi larangan merangkap jabatan menjadi komisaris, kecuali menjadi anggota Partai Politik.Logika yang berkembang kemudian adalah, jika menjadi komisaris perusahaan swasta tak dilarang, apa lagi menjadi komisaris BUMN maupun anak perusahaan.
 
Di sisi lain, adanya regulasi yang melarang rangkap jabatan juga berlaku. Misalnya dalam UU nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang melarang pelaksana pelayanan publik merangkap jabatan sebagai komisaris atau pengurus organisasi badan usaha.

Dalam implementasinya kemudian argumentasi yang sering digunakan adalah perbedaan istilah jabatan yang melekat pada penyelenggara sebagai alasan rangkap jabatan, bukan pada etika atau kepatutannya.  
 
Dengan demikian, publik menilai bahwa pembiaran benturan regulasi tersebut telah menghasilkan ketidakpastian dalam proses rekrutmen, pengabaian etika, konflik kepentingan, diskriminasi, dan akuntabilitas yang buruk.
 
Apabila persoalan ini tidak disikapi secara baik oleh Menteri BUMN Eric Tohir, maka dalam tatanan operasional, terdapat beberapa hal krusial yang berpotensi maladministrasi dalam rekrutmen Komisaris BUMN.
 
Jauh dari itu, beberapa hal tersebut akan berdampak pada konflik kepentingan, penghasilan ganda, masalah kompetensi, jual beli pengaruh, proses yang diskriminatif, transparansi penilaian, akuntabilitas kinerja komisaris.Pada gilirannya hal ini jelas dapat memperburuk tatakelola, menurunkan kepercayaan publik dan mengganggu pelayanan publik yang diselenggarakan oleh BUMN.
 
Maka dari itu, tentu publik memandang perlu dalam setiap proses rekrutmen Komisaris BUMN ini akan terus mengundang polemik kecuali pemerintah melakukan perbaikan secara fundamental.
 
Terkait perbaikan hal-hal yang bersifat fundamental di tubuh BUMN maka publik akan menyampaikan desakan kepada Presiden RI, dan sejumlah masukan di tataran operasional kepada Menteri BUMN.*

*)Penulis adalah Wakil Sekretaris Jendral Bidang Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia PB PMII dan Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta.

Artikel Terkait