Opini

Dilema Moral dalam Perjuangan

Oleh : luska - Selasa, 20/07/2021 12:05 WIB

Oleh : Noryamin Aini, Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Jakarta, INDONEWS.ID - Sahabat! Masing-masing orang/kelompok memiliki kepentingan yang diperjuangkan untuk bertahan hidup. Namun, kepentingan individu/kelompok sering berseberangan secara diametrikal, atau versus, vis-a-vis dengan kepentingan kelompok lain, seperti pada ilustrasi perjuangan macan tutul memburu anak rusa untuk menu makannya. 

Secara moral, obsesi eksistensial perjuangan masing-masing kepentingan selalu saja ada pembenarannya. Nalar logis, terutama logika apologis (akal-akalan), selalu saja bisa mendapatkan pembenaran pilihannya. Dalam ilustrasi ini, macan tutul berjuang untuk menangkap mangsa (anak rusa) untuk makana demi misi bertahan hidup, walaupun harus mengorbankan anak rusa. Sebaliknya, anak rusa berjuang keras (berjihad) untuk terbebas dari kejaran macan tutul, demi menyelamatkan hidupnya. Keduanya masing-masing berjihad untuk mewujudkan harapan-doanya.

Pada hari ini, hari Raya Kurban, kita, umat Islam, juga dihadapkan pada dilema pilihan di antara dua kepentingan. Keinginan manusia saleh untuk berkurban atas nama agama, dan keinginan hewan kurban terbebas dari pengorbanan. Kalau saja hewan kurban bisa menjerit, mereka akan berteriak keras sebagai protes terhadap "keberingasan" manusia menjadikan mereka sebagai "tumbal" mediatoris (instrumental) "taqarrub" manusia pada Allah. Tetapi, inilah jalan hidup masing-masing, dialektis, kontradiktoris. Hidup sejatinya adalah ikhtiar (bhs arab), yaitu pilihan walaupun terhimpit dua kepentingan.

Kalau kedua kepentingan dalam dua ilustrasi di atas mengadukan nasib-kepentingannya pada juru pengadilan (hakim), maka akan muncul dilema moral dalam pembuatan pilih keputusan. Menurut anda, apa dasar esensial yang sangat tepat untuk dijadikan dasar juru pengadilan dalam membuat keputusannya? Dalam kasus ini, apakah sang pengadilan akan mengabulkan permohonan (doa) macan tutul, atau sebaliknya, mengabulkan obsesi anak rusa? Pelik! Bravo keadilan!

Refleksi dalam renungan terhadap ilustrasi di atas pasti mengajarkan nalar pilihan yang hakiki untuk pembuatan suatu keputusan yang dilematis. Selamat merenungi filsafat moral-etis-religi saat kita membuat keputusan terhadap problem yang sangat pelik, seperti satu metafora dilema “buah Simalaka”, yaitu *"jika buah dibuang, dilepas, ayah akan mati; sebaliknya, jika buah dimakan, ibu akan mati"*. Mungkin, ada orang yang menjawab, "bagaimana jika kita sedekahkan saja buah tersebut?" Namun sayangnya, sedekah adalah satu bentuk melepas buah simalakama.

Nampaknya, prinsip imparsialitas, obyektif, atau keputusan yang terbebas dari kepentingan juru pengadilan akan menjadi logika substantif untuk membenarkan pilihan keputusan yang dibuat. Dalam pelik putusan itu, pasti saja ada pihak yang merasa telah dikorbankan untuk kepentingan pihak lain, seperti pelik PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19, dan usaha mengais rizki kaum "papa" untuk bertahan hidup dalam kesulitan ekonomi.

Di sinilah, argumen-nalar imparsial, obyektif akan memperlihatkan kedalaman renungan moral-etis-religi. Pada akhirnya, dalam pilihan di antara dua kepentingan yang diametral, satu keputusan, pasti, tidak akan dapat memuaskan keingingan semua pihak. Tetapi *“keputusan imparsial yang elegan, sesungguhnya, bukan tentang siapa pihak yang diuntungkan dalam keputusan tersebut”*. Substansi yang sesungguhnya adalah justru pada pembebasan diri sang juru pengadilan dari kepentingannya dalam membuat putusan, yaitu *“keputusanku bukanlah wujud keinginnanku, tetapi ia adalah keharusan moral yang diwajib diperjuangkan”*.

Sahabat! Akhirnya, pilihan yang terbebas dari kepentingan individual/komunal/sektarian akan lebih elegan untuk dijadikan opsi bijak dalam pembuatan diskresi dan putusan. Apapun kritik, keberatan, atau komentar orang/kelompok yang merasa dirugikan dalam satu keputusan, *“rasa keadilan yang sesungguhnya bukan tentang siapa yang diuntungkan dan dirugikan; bukan tentang siapa yang dimenangkan dan dikalahkan. Tetapi, ia tentang kerelaan hati berkorban untuk kepentingan yang luas-abadi”*.

Nilai moral yang terdalam dalam penyelesaian dilema yang pelik di atas adalah kelapangan hati untuk berkorban demi kepentingan yang lebih luas. Perjuangan dalam hidup ini lebih dari sekedar memburu opsi obsesi menang dan kalah. Nilai moral yang sesungguhnya adalah kerelaan, keikhlasan berkorban untuk orang/kelompok lain, sejauh kita tidak memilih satu keputusan yang menggambarkan jiwa keputus-asaan. 

*“Jiwa ikhlas dalam berkorban adalah ekspresi hati yang terbebas dari egoisme, dan keserakahan”*. Jiwa yang ikhlas akan selalu berbisik “apakah keuntunganku akan merugikan kepentingan orang lain (?)”; apakah dalam bahagiaku, masih ada orang lain yang menjadi tumbal kebahagiaan itu? Ikhlas "berbagi-berkorban" untuk kepentingan yang lebih luas jauh lebih mulia dibandingkan obsesi "mendapatkan" keuntungan sektarian, kelompok tertentu. 

Ritual berkurban hari ini mengajarkan keikhlasan hewan-hewan yang dijadikan "tumbal", media taqarrub manusia pada Tuhannya. Jangan sia-siakan pengorbanan hewan kurban untuk kita, umat Islam untuk belajar berkorban demi misi mulia yang diusung oleh keluhuran nilai adiluhung moral-religi tentang spirit berbagi. 

Dalam tawa, canda-riamu; aku temukan bahagiaanku. Aku tidak peduli seberat-besar pengorbananku, tetapi rasa bahagia melihat senyum ceriamu telah menjadi kuatan jiwaku untuk menjalani hidup yang tidak mudah ini. Selamat berkorban untuk kepentingan yang lebih luhur. *“Berkorban adalah panggilan hati yang melampaui batasan keakuan”*.

Pamulang, Hari Id al-Adha, 10 Dzul Hijjah 1442 H.
#Aku belajar bahagia.

Artikel Terkait