Opini

Urgensi Etika Jabatan

Oleh : luska - Minggu, 25/07/2021 16:25 WIB

Oleh. Dr Muhadam Labolo (Dosen senior IPDN)

Dialektika ruang publik akhirnya redam pasca kemunduran tokoh sentral dalam soal rangkap jabatan. Gejala semacam itu tentu bukan baru sekali, bahkan bukan hanya disitu. Diberbagai tempat pun jamak terjadi, walau baru _ambyar_ jika diperkarakan ditengah ironi publik menahan sakit & meregang lapar akibat pandemi.

Dalam optik etika, sejauh rangkap jabatan itu menciptakan kenyamanan bagi subjeknya tentu bukan sesuatu yang perlu dipersoalkan. Pandangan _hedonistik_ itu tentu berlawanan dengan kaca mata kaum _utilaristik,_ bahwa kesenangan individu tidaklah etis jika bukan bersentuhan dengan kebahagiaan kolektif. Apalagi jabatan yang diemban berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, yaitu generasi didikan dan simpanan rakyat di bank perdesaan.

Pada setiap kita, diberi Tuhan akal budi yang tumbuh dan berkembang sejak kanak. Apalagi jika di tempa dan di _guide_ lewat institusi domestik (keluarga). Sadar atau tidak kemampuan kita menceraikan sesuatu yang baik & buruk terbentuk dengan sendirinya. Inilah etika yang dikatakan Immanuel Kant dan Al Ghazali sebagai _nalar praktis_ yang bersifat _fitri,_ dan karenanya menjadi kewajiban. Bedanya, Kant berpijak menurut perspektif _antroposentrik_ (akal pikir), sementara Ghazali berangkat dari _teosentrik_ (wahyu-doktrin Islam).

Nalar praktis itu menciptakan semacam kewajiban _(deontologis)_ untuk cenderung melakukan apa saja yang menyenangkan sekaligus menggapai kepentingan orang banyak. Pada ranah praksis, ketiga nilai filsafat tadi seringkali menimbulkan komplikasi etik yang menciptakan polemik pro & kontra. Sejauh sesuatu itu nyaman, berkaitan dengan urusan publik, dan didorong oleh kewajiban etik, dapat ditoleransi pada batasan tertentu.

Perbuatan seorang pencuri sekelas Robin Hood atau Si Pitung dapat berbeda dalam pandangan etik-moral. Bergantung motif apa yang mendorong terciptanya perbuatan melawan etika. Mencuri dalam konteks itu jelas dinilai melanggar etika (sekaligus hukum), namun tanpa menutup mata bisa dipandang _sunnah_ dan bahkan _wajib_ bagi beberapa pemikir agama. 

Ibnu Hazm ash Zhahiri dalam bukunya _Al Muhalla_ (Abdullah,2020:13) mengatakan, seorang pencuri yang mengambil harta dari seorang kaya yang haknya tak diberikan, bila tertangkap dan terbunuh termasuk mati syahid. Dalam kasus tertentu seorang anak miskin yang mencuri sepotong roti karena lapar dapat dimaafkan. Sebaliknya menjadi beban etik bagi orang disekelilingnya, termasuk para pemimpin yang alpa atas kewajibannya.

Dalam peristiwa demikianlah urgensi etika sebagai ilmu untuk menemu-kenali nilai baik-buruk yang bersifat relatif, rasional, dan bahkan hanya dapat ditangkap lewat suara hati, kita pelajari (Suseno, 2021). Relativitas berkenaan dengan konteks pelanggaran etik itu disangkakan, agar sedapat mungkin dipelajari dan ditarik membentuk nilai universal. Suara hati setidaknya respon paling jujur atas dialektika antara akal dan nurani tanpa mesti dibawa ke meja hijau. Itulah yang dilakukan bangsa-bangsa yang menjunjung tinggi etika, mundur dari jabatan.

Rasionalitas etika oleh Bertrand Russel pun patut dikritik agar persoalan rangkap jabatan tak terperangkap melulu pada soal perhitungan untung-rugi. Lebih lagi jika eskalasinya diperluas bukan saja pada soal nilai ekonomi pada dua jabatan yang melebihi upah seorang presiden, tetapi nilai politis yang dicurigai mengancam prakarsa masa depan demokrasi. Disinilah urgensi etika jabatan diperlukan.

Artikel Terkait