Nasional

ORI Soal Maladministrasi TWK, Prof Nur Hasan: Ombudsman Telah Berkontestasi Kewenangan dengan MA

Oleh : very - Senin, 26/07/2021 22:58 WIB

Guru Besar Ilmu Hukum UGM, Prof Nur Hasan. (Foto: Ist)

Yogyakarta, INDONEWS.ID --  Ombudsman Republik Indonesia atau ORI telah melakukan pemeriksaan terhadap laporan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinyatakan tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dan dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) untuk diangkat menjadi Pegawai Aparat Sipil Negara (ASN).

Pemeriksaan ORI ditujukan pada 3 aspek yaitu proses penyusunan kebijakan, pelaksanaan asesmen TWK, dan penetapan hasil asesmen TWK.

Dari hasil pemeriksaan tersebut, ORI berpendapat telah terjadi Maladministrasi dalam pelaksanaan asesmen TWK pegawai KPK untuk menjadi pegawai ASN. Karena terjadi Maladministrasi, ORI mengajukan tindakan korektif yang di antaranya tidak memecat 75 Pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus TWK atau yang dinyatakan TMS alih status menjadi pegawai ASN dan sebaliknya mengangkat mereka menjadi pegawai ASN.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM, Prof Nur Hasan mengatakan ada beberapa hal menarik untuk dianalisis berkaitan dengan hasil pemeriksaan dan pengajuan tindakan korektif ORI tersebut.

Pertama, katanya, penilaian terjadinya maladministrasi yang dikemukakan ORI lebih banyak terkait dengan prosedur (aspek formal) penyusunan peraturan perundang-undangan yaitu Peraturan KPK No.1/2021 yaitu : penyimpangan prosedur rapat harmonisasi, penandatanganan berita acara rapat harmonisasi, dan tidak menyebarluaskan Peraturan KPK tersebut serta penilaian BKN tidak kompeten melaksanakan TWK.

“Jika bentuk maladministrasi sebagaimana dikemukakan di atas diukur dari bentuk maladministrasi yang ditentukan dalam UU No.37/2008 yang menjadi kewenangan ORI, maka terdapat ketidakcocokan atau ada pertentangan antara norma dengan praktik yang dilakukan ORI dalam kasus tersebut,” ujarnya melalui siaran pers diterima redaksi di Jakarta, Senin (26/7).

Artinya pertama, katanya, ORI telah menjalankan kewenangannya secara tidak tepat karena secara normatif maladministrasi yang menjadi kewenangan ORI terkait dengan pelayanan publik yang dalam pelaksanaannya terdapat perbuatan melawan hukum, melampaui kewenangan, menggunakan wewenang untuk tujuan lain, atau kelalaian/pengabaian kewajiban hukum yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterril.

Berdasarkan norma ini, ORI seharusnya menilai adanya Maladministrasi berkaitan dengan penyimpangan prosedur dan persyaratan dalam pelaksanaan TWK serta penetapan peserta TWK tidak lulus padahal nilainya memenuhi syarat untuk dinyatakan lulus. “Realitanya, ORI bukan menilai hal-hal tersebut sebagai bentuk maladministrasi dalam kasus tersebut,” ujarnya.

Kedua, bentuk maladministrasi yang dinilai oleh ORI lebih pada prosedur (syarat formal) penyusunan peraturan perundang-undangan yang bukan menjadi kewenangannya dan justeru menjadi kewenangan Mahkamah Agung untuk mengujinya.

Ketiga, BKN berdasarkan peraturan perundang-undangan mempunyai kompetensi untuk menyelenggarakan tes kepegawaian dalam rangka penerimaan pegawai ASN. Bahwa pelaksanaannya menggandeng lembaga-lembaga lain yang lebih menguasai tes wawasan kebangsaan harus ditempatkan sebagai bagian dari sikap hati-hati dan profesional sebagaimana dituntut oleh asas pemerintahan yang baik sebagaimana diatur dalam UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Hal menarik kedua, katanya, ada logika hukum yang tidak konsisten antara sebab - akibat - tindakan korektif yang diajukan ORI. Perbuatan yang ditempatkan sebagai sebab adalah penyimpangan prosedur penyusunan Peraturan KPK No.1/2021. Sebab ini kemudian dinilai telah menimbulkan akibat berupa kerugian yaitu ketidaklulusan 75 pegawai KPK dalam TWK.

“Antara sebab dengan akibatnya tidak mempunyai hubungan langsung. Dari sebab - akibat yang tidak terkoneksi kemudian berujung pada pengajuan tindakan korektif yang tidak terkoneksi dengan sebab akibat yaitu agar 75 orang yang tidak lulus TWK diangkat sebagai pegawai ASN,” katanya.

Ketiga, dari hasil pemeriksaan ORI terhadap kasus tersebut dapat diajukan suatu penilaian bahwa ORI sedang berkontestasi kewenangan dengan lembaga peradilan yaitu dengan Mahkamah Agung yang sedang melaksanakan uji terhadap Peraturan KPK No.1/2021  baik aspek formalnya yaitu prosedur pembentukannya maupun aspek materiilnya yaitu konsistensi substansi normanya dengan peraturan yang lebih tinggi.  "Dengan hasil pemeriksaannya yang sudah disampaikan ke publik, ORI telah mendahului Mahkamah Agung menilai adanya penyimpangan prosedur," ujarnya.

Kedua, berkontestasi dengan PTUN yang sedang memeriksa gugatan terhadap pelaksanaan TWK dan SK pemecatan pegawai KPK yang dinyatakan TMS diangkat menjadi pegawai ASN. “Dengan penilaian bahwa BKN tidak mempunyai kompetensi melaksanakan TWK, ORI telah mendahului menilai tidak kompetennya BKN,” katanya.

Keempat, bahwa KPK sampai dengan sekarang belum pernah memberhentikan pegawai KPK yang TMS untuk menjadi ASN. “Saat ini sebanyak 18 orang sedang mengikuti diklat Bela Negara dan wawasan kebangsaan, 6 orang pegawai tidak bersedia mengikuti diklat bela negara dan wawasan kebangsaan (walau sudah diberitahu dan dikomunikasikan untuk meminta kesediaan mengikuti diklat) dan 51 pegawai yang TMS untuk menjadi ASN. Kesemua pegawai yang TMS untuk menjadi, belum ada yang diberhentikan,” pungkasnya. (*)

Artikel Terkait