Pojok Istana

Ini Alasannya! Apresiasi Adat Masyarakat Sub-Sunda, KSP: Presiden Jokowi Tepis Stigma Negatif Suku Badui

Oleh : Rikard Djegadut - Senin, 16/08/2021 13:14 WIB

Presiden Jokowi mengenakkan pakain adat suku Badui dalam pidato di sidang MPR RI bersama DPD-DPR RI Senin (16/8/21)

Jakarta, INDIONEWS.ID - Mengenakan pakaian adat Suku Badui dalam menghadiri sidang tahunan MPR 2021, Presiden Joko Widodo tidak hanya mengapresiasi keluhuran nilai-nilai adat dan budaya suku Badui, namun juga menangkal stigma negatif terhadap Suku tersebut.

“Presiden mengangkat ke tingkat paling tinggi di salah satu acara kenegaraan. Hal ini dapat dimaknai sebagai cara presiden untuk menghentikan stigma dan makna negatif dari penyebutan suku Badui,” kata Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Pembangunan Manusia, Abetnego Tarigan.

Pihak KSP pun menganggap bahwa langka Presiden untuk menggunakan pakaian adat dan mengangkat kebudayaan suku Badui dalam acara kenegaraan ini merupakan suatu inisiatif yang baik dalam menekankan kebhinekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Presiden Jokowi dalam menyampaikan pidato kepresidenan saat sidang tahunan MPR 2021 pada Senin (16/8) tampak mengenakan pakaian adat Suku Badui berwarna hitam dengan lencana merah putih. Ia juga mengenakan udeng kepala berwarna biru, alas kaki sandal berwarna hitam lengkap dengan tas rajut berwarna coklat.

Pakaian adat ini disiapkan secara pribadi oleh Tetua Adat Masyarakat Badui sekaligus Kepala Desa Kanekes, Jaro Saija. Presiden Jokowi pun mengatakan bahwa desain pakaian adat Badui sangat sederhana dan sangat nyaman untuk dikenakan.

Sebutan "Badui" sendiri merupakan sebutan yang disematkan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat adat sub-Sunda yang tinggal di wilayah Lebak, Banten.

Namun penyebutan Suku Badui cenderung mengarah pada makna peyorasi karena kaitan sejarahnya sebagai produk era kolonial Belanda. Para kolonial secara gegabah mengidentifikasi suku Badui layaknya suku Badawi di tanah Arab yang hidup secara nomaden dan dianggap liar.

Walaupun kelompok masyarakat ini menyebut dirinya sebagai Urang Kanekes, namun dalam perkembangannya, istilah Badui kini tidak lagi bersifat peyoratif karena penyebutannya oleh banyak orang tanpa ada niatan untuk merendahkan.

“Istilah Badui dilekatkan pada mereka oleh orang luar dan terus berlanjut sampai sekarang. Tapi saya pun kadang pakai istilah `Badui` karena sangat sering digunakan dan tidak dengan maksud merendahkan,” Ungkap Hilman Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).*

Artikel Terkait