Nasional

Kasus Penyiksaan di NTT Libatkan Oknum TNI, PBHI: Selesaikan Lewat Peradilan Umum

Oleh : Mancik - Rabu, 25/08/2021 23:44 WIB

Ilustrasi penyiksaan.(Foto:Kompas.com)

Jakarta, INDONEWS.ID - Kasus penyiksaan yang melibatkan oknum anggota TNI di Provinsi Nusa Tenggara Timur, mendapat sorotan dari Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia.(PBHI).

Kasus penyiksaan ini dilakukan oleh oleh 2 Anggota TNI a/n Serma MSB dan Serka AODK terhadap anak berusia 13 tahun (PS/Korban).

Penyiksaan bermula ketika MSB dan AODK menuduh PS mencuri HP. Kemudian MSB dan AODK diduga kuat menyulut tangan PS/Korban dengan rokok yang masih menyala.

Setelah itu, memukul PS/Korban dengan benda tumpul seperti bambu, sapu, dan kepalan tangan hingga menyebabkan PS/Korban mengalami luka seperti bibir pecah, wajah memar, punggung lecet, dan trauma psikologis yang mendalam.

Terhadap peristiwa tersebut, PBHI menilai, tindakan tersebut penyiksaan karena dilakukan oleh aparat negara yang justru tidak berwenang, untuk mendapatkan pengakuan dari PS/Korban atas dugaan mencuri HP.

Untuk diketahui, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui UU No. 5 tahun 1998.

Namun, masih ada kendala yang fundamental, yakni tidak adanya kebijakan yang mengatur secara spesifik tentang Penyiksaan, selain itu Pemerintah Indonesia juga belum meratifikasi protocol opsional konvensi antipenyiksaan (OPCAT).

“Pengusutan kasus-kasus Penyiksaan mengalami jalan buntu, makanya terjadi repetisi tindakan bahkan sampai impunitas. Ini disebabkan oleh ketiadaan kebijakan selevel Undang-undang tentang penyiksaan, dan belum diratifikasinya protokol opsional konvensi penyiksaan. Akibatnya, pelaku dan instansinya sering berdalih “penyelesaian secara damai” dan tidak diusut secara transparan melalui peradilan umum pidana,” jelas Totok Yuliyanto selaku Ketua PBH

Sementara itu, Sekjend PBHI, Julius Ibrani mengatakan, kasus penyiksaan yang dilakukan oleh anggota TNI menghadapi hambatan yang berlipat. Selain tidak adanya kebijakan (undang-undang) anti penyiksaan dan OPCAT, peradilan militer juga belum mengalami reformasi.

"Jadi bertambah PR-nya khusus untuk militer, harus ada reformasi peradilan militer yang masih berbasi UU No. 37 Tahun 1997 yang sudah usang.” kata Sekjend PBHI, Julius Ibrani.

Terhadap penyiksaan tersebut, PBHI meminta beberapa point sebagai berikut:

Pertama: Panglima TNI untuk mengevaluasi Komandan Koramil 1627/03 Batatua dan Komandan Kodim 1627 Rote Ndao, dan memastikan mempidanakan serta menonaktifkan pelaku;

Kedua: Kapolri dan Kapolda NTT untuk memastikan proses pemeriksaan secara pidana di peradilan umum yang transparan dan akuntabel.

Ketiga: LPSK dan KPAI serta Kementerian PPA untuk memberikan perlindungan dan pemulihan fisik serta psikologis Korban dan menjamin keselamatannya selama proses pemeriksaan terhadap Pelaku.

Keempat: Presiden Joko Widodo dan DPR RI untuk membentuk kebijakan selevel undang-undang tentang anti-penyiksaan dan meratifikasi OPCAT, serta melakukan revisi UU Peradilan Militer No. 31 Tahun 1997 sebagai bagian dari reformasi militer.*

Artikel Terkait