Sosok

Jejak Alumni FISIP UI, Sastrawan Akmal Nasery: FISIP UI Menempa dan Mengembangkan Wawasan Saya

Oleh : Rikard Djegadut - Kamis, 26/08/2021 11:47 WIB

sastrawan Akmal Nasery Basral (Sosiologi 1986) penerima Penghargaan Penulis Nasional 2021 kategori fiksi dari Perkumpulan Penulis Satupena (National Writer’s Award Indonesian Writers Guild Satupena) pada 15 Agustus 2021.

Jakarta, INDONEWS.ID - Semarak kemerdekaan tahun ini mempunyai arti khusus bagi keluarga besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Salah seorang alumni FISIP UI, sastrawan Akmal Nasery Basral (Sosiologi 1986) menerima Penghargaan Penulis Nasional 2021 kategori fiksi dari Perkumpulan Penulis Satupena (National Writer’s Award Indonesian Writers Guild Satupena) pada 15 Agustus 2021.

“Karya-karya Akmal menunjukkan kedalaman riset dan aspek sejarah yang kuat. Itu yang membuat dewan juri sepakat memberikan penghargaan kategori fiksi kepadanya,” ujar Dr. Nasir Tamara saat mengumumkan keputusan tersebut.

Akmal bukan nama baru dalam dunia penulis Indonesia. Mantan jurnalis majalah berita Gatra dan Tempo ini adalah penulis novel sejarah Sang Pencerah--kisah KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah--yang dinobatkan sebagai Fiksi Utama Islamic Book Fair 2011.

Tahun lalu dia dinobatkan Republika Penerbit menjadi Penulis Terproduktif 2020 dengan tiga karya yakni Setangkai Pena di Taman Pujangga (kisah Buya HAMKA), Gitasmara Semesta (sekuel Dilarang Bercanda dengan Kenangan) dan kumpulan cerpen Putik Safron di Sayap Izrail.

Selain itu, dia menerbitkan novel fiksi ilmiah Disorder (Bentang Pustaka) dan ikut berkontribusi pada buku Kemanusiaan Pada Masa Corona oleh 110 penulis Satupena (Balai Pustaka).

Kepada Pemimpin Redaksi Indonews.id, Asri Hadi, dia berkisah tentang proses kreatifnya. Berikut petikannya.

Selamat atas penghargaan National Writer’s Award 2021 yang baru diperoleh. Apakah pengalaman sebagai mahasiswa dan alumni FISIP UI ada pengaruhnya bagi karier Anda?

Tentu saja. Menjadi mahasiswa FISIP UI menjadi salah satu fase kehidupan terpenting bagi saya. Itu periode formative years yang menempa pengalaman dan wawasan.

Bisa diceritakan lebih rinci?

Saya menjadi mahasiswa FISIP UI jurusan Sosiologi ’86. Waktu itu kampus masih di Rawamangun. Angkatan 1986 adalah angkatan terakhir di sana sebelum pindah ke Depok. Dekan pada waktu itu Prof. Dr. Manasse Malo. Ketua jurusan Dr. Paulus Wirutomo. Sebagai mahasiswa tahun pertama fokus saya baru kuliah saja.

Ini proses adaptasi yang menantang karena jurusan saya waktu SMA (SMAN 8 Jakarta) adalah IPA, bukan IPS. Baru setelah masuk tahun kedua dan seluruh kegiatan pindah ke Depok saya ikut aktif di Senat Mahasiswa pada periode kepemimpinan Mayuzar Adamy (HI ’86). Saya ditunjuk sebagai Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat. Sampai sekarang saya masih kontak dengan Mayuzar yang kini menjadi diplomat Indonesia di Fiji.

Apa saja program Anda saat itu?

Kami membangun perpustakaan masyarakat di Beji dengan Karang Taruna setempat. Mereka menyediakan tempat, kita pasok buku-buku yang merupakan sumbangan para mahasiswa FISIP UI. Lalu ada program Kakak Asuh dengan mahasiswa FISIP sebagai donatur bulanan.

Hasil sumbangan kolektif itu lalu kami kelola untuk membantu anak-anak putus sekolah di kawasan kumuh ‘rumah kardus’ di dekat kampus UI Rawamangun. Anak-anak ini pengamen dan kadang-kadang melakukan kriminalitas kecil sehingga harus dibina.

Untuk program ini, penanggungjawabnya adalah Wiwin Aryati (Adm ’86). Pada Minggu pertama setiap bulan, saya dan Wiwin ke Rawamangun untuk menyalurkan donasi dari mahasiswa FISIP Ada juga lomba karya tulis ilmiah yang dimenangkan oleh Fira Basuki.

Saya lupa jurusannya karena Fira tak menyelesaikan kuliah di FISIP karena lanjut ke AS. Sekarang dia menjadi salah seorang penulis dan jurnalis besar. Dan ada beberapa program lainnya.

Kelihatannya Anda tipe mahasiswa serius dan kutu buku, ya? Ada pengalaman seru yang tidak berkaitan dengan buku?

Ada. Di FISIP UI berlangsung pentas musik reguler Saturday Off dari jam 2 siang sampai malam di halaman kampus. Pada satu kegiatan, hadir dekan baru Prof. Juwono Sudarsono. Oleh panitia, Prof. Juwono langsung didaulat naik panggung dan pada bilang, “joget, Pak.” Lalu ada teriakan dari senior lainnya, “Akmal main gitar!”

Sebetulnya banyak yang lebih ahli main gitar dari mahasiswa lain, tetapi mungkin saat itu cuma saya yang punya ide jail agar suasana cair karena Prof Juwono meski fans para mahasiswi karena ganteng, tapi pendiam sekali. Maka saya ke panggung, nyalakan gitar listrik yang ada, lalu mainkan intro lagu dangdut “Sakit Gigi” dari Meggy Z yang saat itu ngetop sekali.

Benar saja, suasana langsung heboh. Beberapa mahasiswi senior naik panggung dan mengajak Pak Juwono joget sambil nyanyi bareng. Untungnya, Pak Juwono berusaha keras untuk joget dan bernyanyi. Meriah sekali. Sayang saat itu belum ada medsos. Kalau tidak, pasti viral sekali.

Wah, bisa dibayangkan hebohnya kalau Prof. Juwono sampai joget di panggung. Anda jago main gitar juga?

Jago sih nggak, sekadar bisa. Kemampuan main gitar ini jadi ice breaker efektif dengan para yunior. Pengalaman itu saya alami sebagai asisten dosen Metode Penelitian Masyarakat (MPM). Waktu itu lokasinya di Purwokerto. Saya tandem dengan almarhum Mbak Shanty Novriaty (Sosio ’83, belakangan jadi istri Mas Awang Ruswandi, Kom ’80).

Saat itu lagu “More Than Words” (Extreme) sangat populer. Pada malam hari saat mahasiswa makan malam dan sharing session pengalaman penelitian siang harinya, pertemuan saya buka dengan main gitar akustik dan nyanyi lagu ini. Mereka surprise karena MPM ini mata kuliah wajib yang serius.

Bertahun-tahun kemudian, rupanya kejadian ini masih diingat anggota kelompok itu. Salah seorang diantaranya La Rane Hafid (Kom ’89) yang sekarang jadi jurnalis top mancanegara. Dia pernah posting di FB. Salah satu pengalaman berkesan saat kuliah adalah ketika turun lapangan MPM, eh, malah belajar kord gitar sama Mas Akmal, hehehe...

Lalu bagaimana ceritanya sampai tertarik pada sastra dan jadi penulis fiksi? Kenapa nggak jadi sosiolog, dosen atau politisi?

Pada saat kuliah, saya pernah jadi ketua diskusi tentang kebebasan berekspresi dalam sastra karena saat itu terjadi kontroversi novel Satanic Verses karya Salman Rushdie yang membuat dia difatwa hukuman mati oleh Ayatollah Khomeini.

Nah, sebagai ketua diskusi saya undang dua sastrawan senior sebagai pembicara, yaitu Leon Agusta (sudah almarhum) dan Sutardji Calzoum Bachri. Saya jemput mereka di TIM Cikini. Acara berlangsung sukses. Itu salah satu yang menyemaikan kesukaan saya pada sastra.

Setelah lulus kuliah, saya masuk Tempo. Baru tiga bulan kerja, majalah dibredel Orde Baru. Saya pindah ke Gatra sampai akhir 90-an, setelah itu pada tahun 2004 saya balik ke Tempo lagi.

Saya juga pemimpin redaksi pertama majalah musik MTV Trax (2002) yang didirikan oleh Meutia Kasim (Kom ’87) yang pernah berkibar sebagai penyiar Prambors dan Direktur MRA Media, serta Yoris Sebastian (GM Hard Rock Cafe).

Itu sebelum saya balik ke Tempo. Pengalaman di media massa itu yang membuat saya lebih tertarik pada dunia penulisan. Tahun 2010 saya mundur dari Tempo dan menjadi penulis penuh waktu.

Sudah berapa karya yang Anda hasilkan?

Kalau buku sendiri 21 judul. Kalau bekerja sama dengan penulis lain dalam antologi fiksi dan non-fiksi, ada lumayan juga. Saya nggak tahu pastinya.

Pernah menjadikan FISIP UI sebagai setting lokasi novel Anda?

Novel perdana saya Imperia (2005) dan kemudian trilogi Imperia (Ilusi Imperia, Rahasia Imperia, dan Coda Imperia, 2014-2018) itu protagonisnya seorang cewek alumni FISIP bernama Wikan Larasati. Dia fresh graduate yang jadi jurnalis di majalah berita Dimensi.

Sosok Wikan ini akan muncul dalam novel-novel saya selanjutnya dalam serial Wikan Larasati. Akan tetapi kalau lokasi kampus FISIP UI secara fisik belum pernah saya tampilkan sebagai bagian kisah novel.

Pertanyaan terakhir, bagaimana Anda melihat kualitas alumni FISIP UI sekarang?

Saya kira seiring perkembangan zaman, alumni FISIP terus membaik dari waktu ke waktu karena infrastruktur perkuliahan juga semakin baik dibandingkan zaman saya di era 80-an/awal 90-an, atau di era Mas Asri Hadi di tahun 70-an saat di Rawamangun. Tetapi dengan tingkat kompetisi global yang juga semakin ketat dari alumni kampus lain, alumni FISIP saat ini juga menghadapi tantangan tersendiri yang tak pernah dialami para senior pada dekade-dekade sebelumnya.

Untuk itu salah satu cara mengatasinya adalah dengan membentuk Ikatan Alumni (ILUNI) FISIP UI yang solid, efisien, dan adaptif. Harus ada database lengkap para alumni FISIP yang bisa menjadi sumber kekuatan jaringan sebagai alumnus dari salah satu fakultas terbaik di Indonesia. Kalau ini berjalan baik, maka yang akan terjadi bukan hanya kualitas individual alumni FISIP yang hebat, tetapi juga para alumni yang bersatu sebagai komunitas yang kuat.

***

 

 

Artikel Terkait