Opini

Sengketa Tanah, Isu SARA, dan Kontroversi Penetapan Tersangka

Oleh : indonews - Sabtu, 11/09/2021 14:43 WIB

Warga Labuan Bajo, Sil Joni.(Foto:Istimewa)

Oleh: Sil Joni*

INDONEWS.ID - Jauh sebelum Labuan Bajo ditetapkan sebagai destinasi wisata super prioritas oleh Pemerintah Pusat (Pempus), benih konflik agraria sudah tumbuh. Sengketa tanah itu, bisa terjadi antara satu komunitas suku (ulayat) dengan komunitas suku lainnya. Tetapi, peristiwa perebutan sebidang tanah juga sering terjadi di dalam komunitas adat sendiri bahkan dalam keluarga. Masing-masing pihak mengklaim bahwa kelompok atau dirinyalah yang paling berhak memiliki lahan tersebut.

Mirisnya, konflik agraria itu, beberapa di antaranya berujung pada tindak pidana (pembunuhan). Baku bunuh di lahan sengketa menjadi cerita kelam penyelesaian sengketa lahan di wilayah ini. Banyak nyawa melayang sia-sia hanya untuk mempertahankan tanah sejengkal. Selain itu, ada juga `tenaga bayaran` yang rela mati demi mendapat untung di lahan sengketa. Kasus perebutan tanah dilihat sebagai `peluang` mengais rezeki bagi mereka yang terbiasa pamer otot dalam mendulang rupiah.

Boleh jadi maksud utama sekelompok orang didatangkan oleh pihak yang mengklaim kepemilikan atas lahan tertentu adalah memberikan tekanan secara psikis dan fisik kepada sang lawan bahwa dirinya mempunyai `pasukan mematikan` dalam menguasai lahan itu. Tetapi, intensi itu dibungkus dengan cerita bahwa mereka adalah `pekerja harian`. Mereka diberi tugas untuk menjaga dan membersihkan lahan itu. Argumen sebagai `buruh harian` hanya semacam modus untuk menyembunyikan `motivasi pokok` tadi.

Karena itu, kehadiran para `tenaga bayaran` di lahan yang masih dalam status sengketa, perlu `dicurigai`. Apalagi jika keberadaan mereka di lokasi itu dilengkapi dengan `senjata tajam`. Kondisi semacam itu, selain meresahkan warga di daerah itu, juga berpotensi terjadinya `bentrok fisik`.

Respons aparat keamanan menjadi sebuah keharusan. Pihak kepolisian mesti hadir untuk mencegah dan mengantisipasi terjadinya `pertumpahan darah` di lahan sengketa itu. Sesuai dengan perintah konstitusi, pihak kepolisian berkewajiban untuk menjaga dan menciptakan rasa aman di tengah masyarakat. Sangat diharapkan bahwa pihak kepolisian `peka` dengan situasi semacam itu dan mengambil langkah solutif agar tidak terjadi `kejahatan kemanusiaan` di lokasi itu.

Dari alur pikir ini, maka sebetulnya, penangkapan dan pengamanan 21 orang di Desa Golo Mori oleh kepolisian resort (Polres) Mabar, (2/7/2021) yang diduga sedang berusaha menguasai secara fisik lahan yang belum jelas status kepemilikannya, patut diapresiasi. Setidaknya, pihak Polres Mabar sudah menjalankan tugasnya dalam menciptakan rasa aman bagi masyarakat Golo Mori. Mereka berhasil mematikan peluang terjadinya bentrok fisik di lokasi itu.

Namun, saya berpikir, rasanya kurang terlalu tepat dan relevan jika isu potensi konflik bernuansa Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA) dipakai sebagai dasar pijak dari pengamanan 21 orang itu. Pihak kepolisian hadir di tempat sengketa itu, semata-mata `mencegah` terjadinya pertikaian fisik. Perlindungan atas martabat manusia menjadi alasan yang paling mendasar. Tidak penting soal latar atribut identitas dari kelompok yang kemungkinan akan bertikai itu. Polisi berada di sana semata-mata untuk menyelamatkan sisi kemanusiaan. Manusia tidak punya hak untuk `bertindak brutal` apalagi mencabut nyawa manusia hanya karena berseteru memperebutkan tanah sejengkal.

Selanjutnya, ketika para pelaku yang diduga sedang memperlihatkan tindakan yang `meresahkan warga` itu, ditangkap dan diamankan, secara logis, hemat saya pihak Kepolisian memberikan edukasi, pencerahan, advis, dan peringatan agar tidak lagi berada di lokasi dan tidak melakukan aksi yang sama. Namun, dalam kasus Golo Mori itu, kita tahu bahwa 21 orang itu telah ditangkap, ditahan, dan ditetapkan sebagai `tersangka`. Pihak Polres Mabar menggunakan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dalam menjerat para tersangka tersebut.

Tanpa bermaksud membantah `tindakan Polres Mabar itu`, beberapa pertanyaan berikut rasanya pantas diajukan. Apakah 21 tersangka itu sudah `melakukan tindakan pidana pembunuhan`? Apakah sesuatu yang masih berada pada taraf dugaan, asumsi, dan potensial bisa dijadikan `alat bukti` bahwa mereka melakukan tindakan pidana? Apakah hanya berdasarkan `perasaan keresahan` yang menghinggapi tubuh warga, bisa dijadikan alasan untuk menangkap dan menahan ke-21 orang itu sampai pada batas waktu yang tidak ditentukan? Apakah 21 orang itu sudah melakukan semacam `percobaan` untuk mengancam, mengintimidasi, dan bahkan membunuh warga yang ada di sekitar tanah sengketa itu?

Pertanyaan-pertanyaan ini muncul dari `keterbatasan` publik dalam mencerna konstruksi logika hukum yang dipakai oleh para penegak. Boleh jadi, Polres Mabar mempunyai argumentasi hukum yang kuat dan ditopang dengan alat bukti yang meyakinkan sehingga 21 orang itu harus ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka. Kita menghormati tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh pihak Kepolisian dalam `memproses` secara hukum tindakan dari para tersangka itu.

Kendati demikian, sebagai orang yang awam hukum, tidak salah juga jika kita `menggali lebih` jauh soal alasan substansial 21 orang itu ditetapkan sebagai `tersangka`. Polres menggunakan UU darurat Nomor 12 tahun 1951. Pertanyaannya adalah apakah situasi yang terjadi pada saat penangkapan 21 orang itu benar-benar darurat? Apa indikator sebuah peristiwa atau kejadian masuk dalam kategori darurat sehingga harus dijerat dengan UU Darurat itu?

Atas dasar itu, kita juga perlu menghormati langkah hukum yang ditempuh oleh 21 pelaku tersebut. Penetapan mereka sebagai tersangka tentu tidak menghilangkan `hak hukum` yang melekat secara intrinsik dalam diri mereka dan yang difasilitasi oleh konstitusi. Dalam dan melalui ranah pengujian hukum itu, kebenaran otentik bakan tersingkap.

*Penulis adalah warga Labuan Bajo.

Artikel Terkait