Opini

Epidemi HIV/AIDS di Manggarai Barat

Oleh : indonews - Rabu, 15/09/2021 11:56 WIB

Warga Labuan Bajo, Sil Joni.(Foto:Istimewa)

Oleh: Sil Joni*

INDONEWS.ID - Kabar tentang meningkatnya Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di Manggarai Barat (Mabar), bukan isapan jempol semata. Data yang dirilis oleh pihak Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Mabar per Juli 2021 menunjukkan trend peningkatan. Total kasus HIV/AIDS adalah 204 dengan rincian HIV 165 kasus dan AIDS sebanyak 39 kasus.

Sayang, epidemi HIV/AIDS di Mabar tenggelam oleh isu pandemi Covid-19. Energi atensi para pengambil kebijakan dan publik lebih banyak tersedot untuk meminimalisasi laju penyebaran Covid-19 tersebut. Efeknya adalah perhatian terhadap isu HIV/AIDS relatif termarjinalisasi. HIV/AIDS belum menjadi semacam ‘common enemy’ untuk diberantas. Padahal, problem HIV/AIDS tidak kalah menakutkan dengan Covid-19.

Fenomena Gunung Es

Saya berpikir, data yang dikeluarkan pihak KPA itu belum sepenuhnya `menyingkap tabir` soal kepastian jumlah kasus itu. Pasalnya, pihak KPA hanya mengambil sampel yang dianggap sebagai populasi kunci. Kelompok yang dianggap rentan dengan kasus HIV/AIDS adalah para Pekerja Seks Komersial (PSK), Pekerja di Panti Pijat Plus, pekerja Pub, dan waria.

Tetapi, sebetulnya semua kita `punya potensi` untuk terpapar virus yang menyerang sistem imunitas tubuh itu. Karena itu, boleh jadi masih ada kelompok `populasi umum` yang terinfeksi HIV, hanya saja belum diuji secara klinis. Kasus yang terdeteksi oleh KPA hanya `sebagian kecil` yang tampak di permukaan. Kasus yang tidak terdeteksi itu ibarat bongkahan gunung es di bawah permukaan laut.

Masalahnya adalah sebagian masyarakat kita masih terjebak pola pikir mitos. HIV/AIDS dianggap sebagai penyakit bule, penyakit homoseksual, dan para pelanggar norma sosial (zina, selingkuh, seks bebas, seks pra-nikah dan lain-lain). Faktanya, secara medis penularan HIV/AIDS itu bukan karena sifat hubungan seksual, tetapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual di mana salah satunya `mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.

Apalagi, kita tahu bahwa modus transaksi seksual di era digital itu sudah bergeser. Lokasi dan lokalisasi PSK sekarang sudah pindah ke media sosial yang melibatkan PSK tidak langsung. Pola semacam ini memungkinkan transaksi seks terjadi di sembarang waktu dan tempat. PSK tidak langsung adalah PSK yang menyamar sebagai nona pemijat, pelayan cafe, pelayan pub, nona disko, anak sekolah, ayam kampus, nona gratifikasi seks, PSK online, PSK High class, dll.

Pariwisata Super Prioritas

Aktivitas industri turisme di Mabar berkembang pesat dalam satu dekade terakhir. Membaca tren kemajuan seperti ini dan melihat besarnya potensi wisata di daerah ini, Pemerintah Pusat (Pempus) sudah menetapkan Labuan Bajo sebagai salah satu destinasi super prioritas di Indonesia. Tidak hanya itu, Labuan Bajo juga masuk dalam kategori pariwisata super premium.

Pelbagai studi menunjukkan bahwa ada korelasi antara semaraknya aktivitas kepariwisataan dengan perkembangan kasus HIV/AIDS. Dengan perkataan lain, pariwisata bisa menjadi salah satu kondisi yang memungkinkan penyebaran HIV/AIDS. Untuk itu, sebagai salah satu destinasi wisata unggulan, Mabar mesti sejak dini mengambil langkah tegas agar HIV/AIDS tidak menjadi momok yang menakutkan di daerah ini.

Kegiatan kepariwisataan merupakan ruang perjumpaan dan interaksi lintas batas. Peluang untuk berhubungan dengan mereka yang sudah `tertular HIV/AIDS` semakin terbuka. Tidak berlebihan jika semua yang terlibat dalam ruang itu punya potensi untuk menjadi `penyebar virus`.

Rasanya, sebuah kemustahilan jika kita `menutup diri` terhadap dunia yang penuh kenikmatan dan glamour itu. Kendati demikian, kita mesti mengenakan semacam `perisai diri` agar tidak mudah terpapar virus.

Kita mengapresiasi sikap KPA yang terus memberikan edukasi dan sosialisasi soal HIV/AIDS kepada populasi kunci dan kepada khalayak umum. Bagaimana pun juga, virus itu bukan hanya menyerang `kelompok tertentu`. Orang di luar populasi kunci pun tetap punya potensi tertular virus ketika kurang hati-hati dalam berhubungan seksual dengan pasangan yang sudah terinfeksi HIV/AIDS itu.

Penanggulangan

Pemerintah Indonesia sudah menabuh genderang perang terhadap HIV/AIDS. Targetnya, tahun 2030 Indonesia bebas dari HIV/AIDS. Saya berpikir, pernyataan ini bukan hanya slogan atau retorika politik semata. Komitmen pemerintah untuk memberantas HIV/AIDS itu terbaca dari dibentuknya KPA mulai dari level nasional hingga Kabupaten/Kota.

Perlu disadari bahwa untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS diperlukan langkah-langkah yang konkret. Sejauh ini sudah ada langkah konkret yang dijalankan pemerintah, meski belum optimal. Pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan pemerintah di daerah mulai dari provinsi, kabupaten dan kota, telah `mengerahkan pasukan khusus` untuk menekan laju penyebaran virus ini.

Penanggulangan epidemi HIV/AIDS di Indonesia tidak hanya mengandalkan peraturan daerah (Perda), tetapi juga mengakomodasi kerja-kerja inisiatif dan kreatif dari kelompok swasta untuk bersama-sama melawan HIV/AIDS. Sudah 143 Perda AIDS yang diterbitkan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia termasuk Mabar. Dengan itu, kita mempunyai basis regulasi yang jelas untuk masuk ke wilayah normatif dan menukik ke akar persoalan dalam tahap operasionalnya.

Salah satu langkah yang ditempuh oleh KPA Mabar adalah kampanye gunakan kondom dalam berhubungan seks dengan pasangan berisiko. Tanpa langkah konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK, maka penyebaran HIV/AIDS di Indonesia terus terjadi sebagai ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan’ AIDS.

Masker adalah salah satu `alat pelindung diri` dari amukan Covid-19. Senada dengan itu, `kondom` merupakan alat pelindung diri paling ampuh guna melawan terjangan HIV/AIDS. Kita tidak sedang membahas penggunaan kondom dari aspek moral di sini. Kampanye penggunaan kondom semata-mata dilihat dari sudut kegunaan (manfaat praktis) dalam menghentikan penyebaran HIV/AIDS.

Saya sangat optimis, jika masyarakat sudah sadar akan bahaya HIV/AIDS dan mengetahui strategi untuk `menghindar` dari virus itu, maka destinasi wisata super premium ini tidak akan ternoda. HIV/AIDS tidak lagi menjadi salah satu kisah miris sebagai ongkos keberadaan Labuan Bajo sebagai destinasi super prioritas.

*Penulis adalah warga Labuan Bajo.

Artikel Terkait