Opini

Tantangan Penanggulangan HIV/AIDS di Mabar

Oleh : indonews - Kamis, 16/09/2021 14:44 WIB

Warga Labuan Bajo, Manggarai Barat, Sil Joni.(Foto:Istimewa)

Oleh: Sil Joni*

INDONEWS.ID - Hampir tidak ada daerah di Indonesia ini yang `bebas` dari kasus HIV/AIDS. Kabupaten Manggarai Barat tentu saja masuk dalam kategori `tidak bebas` itu. Alih-alih bebas, justru kasus HIV/AIDS mengalami tren peningkatan seiring dengan pesatnya perkembangan aktivitas industri kepariwisataan di daerah ini.

Mengingat problem HIV/AIDS ini sudah `menyebar` di semua daerah, maka tentu tidak salah jika HIV/AIDS menjadi salah satu isu nasional yang menuntut `respons kebijakan politik` yang efektif. Penyebaran kasus HIV/AIDS itu mesti `dikurangi` melalui langkah-langkah pengendalian yang terstruktur, sistematis dan massif.

Sebetulnya, desain program atau kebijakan penanggulangan HIV/AIDS sudah tersedia. Tetapi, dalam tahap implementasinya masih menemui sejumlah kendala. Selalu ada diskrepansi antara yang teoretis-normatif dengan kenyataan konkret di lapangan.

Realitas disparitas itu, dalam arti tertentu `terjadi juga` di Kabupaten Mabar. Saya coba menguraikan secara global tantangan pengimplementasian kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Mabar.

Tetapi, sebelumnya mungkin baik kalau kita `mengetahui` semacam karakteristik dari HIV/AIDS ini. Secara klinis, HIV-AIDS ini merupakan jenis penyakit infeksi, termasuk penyakit jangka panjang, dan penyakit menular. Selain itu, penyakit ini mempunyai dimensi sosial yang sangat kuat karena menyangkut marginalized population.

Ada semacam `keengganan` untuk membongkar pelbagai stigma dan stereotip tentang orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Siapakah petugas/orang yang mau berbicara tentang masalah seks, pekerja seks, waria, saat ini secara terbuka di ruang publik? Membicarakan hal itu masih sering dianggap tabu dan bukan merupakan topik yang enak dibahas dan didengar dalam pembicaraan sehari-hari.

Saya kira, anggapan semacam ini `masih dianut` oleh sebagian masyarakat. Akibatnya adalah kita `kurang bergairah` untuk membahas isu HIV/AIDS dan tertarik untuk menjadi `aktor` penting dalam memutus mata rantai penularan HIV/AIDS. Mereka yang `berkorban` dalam mengadvokasi kasus HIV/AIDS masih dihitung dengan jari. Keterlibatan mereka pun menurut saya bukan sepenuhnya sebagai `panggilan`, tetapi lebih karena tuntutan pekerjaan. Lembaga seperti Komisi Penanggulangan HIV AIDS (KPA) dan NGO yang peduli isu ini boleh dimasukkan dalam kategori pekerja profesional tersebut.

Pertanyaannya adalah apakah ketakutan tersebut berkaitan dengan problem ketidaktahuan? Ataukah karena ada pertimbangan moral konvensional lain yang sudah melekat dalam alam bawah sadar dan sulit untuk diubah? Saya berpikir, untuk isu `ketidaktahuan` umumnya berlaku untuk masyarakat kecil. Tetapi, bagi kelas menegah ke atas, termasuk elit pemerintahan, hal itu tidak berlaku. Boleh jadi `penghayatan doktrin moral yang bersifat tradisional` masih `menyandera pola pikir para elit.

Terlalu besar ongkosnya jika isu ketidaktahuan dan penghayatan moral yang kaku, masih `menghinggapi` pikiran kita. Implikasi yang bisa muncul adalah vakum kepemimpinan dan inisiatif. Padahal, untuk menangani epidemi ini dibutuhkan kepemimpinan sektor yang kuat, perencanaan strategik yang baik, dan investasi yang adekuat.

Benar bahwa KPA sudah terbentuk dan bekerja di Mabar. Tetapi, lembaga ini sangat bergantung pada kebijakan negara. Rancangan dan metode kerjanya mesti disesuaikan dengan agenda pemerintah. Harus diakui bahwa KPA relatif lemah dalam peran sektoralnya dan belum ada strategi penanggulangan menanggapi kronisitas dan kedaruratan isu HIV/AIDS di wilayah ini.

Peran koordinasi dan kemitraannya dengan lembaga lain seperti Dinas Kesehatan belum optimal. Sementara itu, sampai detik ini, saya belum mendapatkan informasi soal kiprah lembaga swasta seperti LSM yang punya concern yang serius terhadap isu HIV/AIDS di Mabar. Praktisnya, KPA masih menjadi `single fighter` dalam memerangi HIV/AIDS di kabupaten Pariwisata Super Premium ini.

Tantangan menjadi lebih kompleks ketika badai pandemi Covid-19 belum berlalu. Selama masa pandemi ini, beberapa agenda dalam rangka `mengendalikan` laju penyebaran HIV/AIDS seperti pendataan kelompok berisiko, kegiatan edukasi publik, dan tes medis untuk populasi kunci, terpaksa tak berjalan sesuai rencana.

Tetapi, sepertinya badai pandemi ini mulai `reda`. Pihak KPA mulai `mengencangkan` ikat pinggang untuk berjibaku menghentikan laju perkembangan kasus HIV/AIDS. Kegiatan pendataan, monitoring di komunitas rentan, dan edukasi kepada populasi kunci sudah dijalankan pada tanggal 13-14 September kemarin.

Sebetulnya, dengan bertolak dari tiga ciri utama HIV/AIDS di atas, cara menyelesaikan masalah menjadi lebih mudah. Pertama, perhatikan elemen penting dari kebijakan yaitu menyatukan persepsi bahwa HIV/ADIS merupakan penyakit infeksi. Dengan demikian, maka dasar pengambilan kebijakan adalah bukti nyata. Misalnya, siapa yang harus mendapat konseling pada program kondom? Apakah populasi umum atau ada populasi yang lebih spesifik?

Jawabannya adalah setiap orang yang menggunakan kondom, khususnya kelompok yang `bertransaksi" dengan Pekerja Seks Komersial (PSK) itulah yang perlu ditangani dengan segera. Namun, kesulitannya adalah `kita malu atau kurang jujur` sehingga kampanye penggunaan kondom kadang kurang berhasil.

Untuk itu, diharapkan agar kelompok yang rentan dengan HIV/AIDS mesti diedukasi agar `setiap orang` yang hendak berhubungan seksual dengan mereka, wajib menggunakan kondom. Poinnya adalah `nyawa` tidak bisa dibeli dengan uang. Utamakan keselamatan tubuh ketimbang `keuntungan`.

Pada sisi yan lain, saya kira, dibutuhkan cara pandang baru terhadap populasi kunci. Kita mesti memandang mereka dengan respek dan penghargaan pada partisipasi mereka. Mereka bukan obyek, tetapi subyek yang tentu saja sadar akan bahaya HIV/AIDS dan berkomitmen untuk menjauhi perilaku yang mempercepat HIV/AIDS menyerang tubuh.

Kedua, menganggap HIV/AIDS sebagai penyakit kronis berjangka panjang. Kenyataan semacam itu, tentu membutuhkan cara hidup sehat dan cara pencegahan/pengobatan yang baik, kesiapsiagaan pemberian dukungan termasuk mental health, integrasi dengan berbagai pelayanan yang relevan dan sejenis.

Ketiga, anggapan bahwa HIV/AIDS itu `penyakit menular` bisa mempengaruhi `cara pandang` terhadap ODHA. Karena itu, kita perlu memperkuat dimensi sosial politik. Sampai sekarang, masih saja ada stigma dan diskriminasi pada populasi ini. Bergaul dengan populasi kunci itu bukan sebuah `kesalahan` dan sama sekali tidak mendatangkan bencana jika kita mengikuti pola hidup sehat.

Di samping itu, kerangka hukum masih menghambat penanganan HIV/AIDS. Mungkin ada semacam "peraturan khusus` sebagai payung dalam mengimplementasikan pelbagai kebijkan penanggulangan HIV/AIDS.

Yang tidak kalah penting adalah leadership yang kuat. Pemerintahan Edi-Weng di Mabar hemat saya mempunyai komitmen yang kuat dalam `mengendalikan` kasus HIV/AIDS ini. Apalagi, kita tahu bahwa wakil bupati adalah seorang dokter. Beliau pasti mempunyai referensi pengetahuan yang adekuat tentang HIV/AIDS dan strategi memerangi penyakit tersebut.

Ledearship perlu untuk memastikan bahwa kebijakan yang dibutuhkan sudah ada dan berani menjalankan kebijakan, memenuhi semua komponen yang dibutuhkan. Leadership dibutuhkan untuk memastikan bahwa komunikasi dan koordinasi atar sektor, terutama sektor pemerintah dan non-pemerintah benar-benar berjalan. Selain itu leadership juga dibutuhkan untuk mengambil tindakan tidak popular karena berhubungan dengan isu-isu populasi yang terpinggirkan.

Akhirnya, jangan lupa untuk berkolaborasi dengan dunia pendidikan. Sektor pendidikan harus lebih terbuka dan bekerja sama dalam hal menyebarkan secara lebih luas pengetahuan umum tentang HIV/AIDS, pencegahan dan pengobatannya, dengan cara yang berterima tetapi lugas dan jelas. Mungkin perlu materi tentang HIV/AIDS diakomodasi dalam kurikulum formal mulai dari SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi.

Rasanya, tidak cukup jika materi tentang `bahaya HIV/AIDS` hanya disosialisasikan secara temporal dan sporadis oleh pihak KPA dan petugas kesehatan di sekolah. Materi semacam itu, kalau dapat diintegrasikan dalam beberapa mata pelajaran yang bersinggungan dengan isu kesehatan masyarakat.

HIV/AIDS sudah menjadi `musuh bersama` kita. Namun, kesadaran untuk berperang melawan musuh itu, masih minim. Pun aktor yang berada pada garda depan dalam menumpas `sang musuh` tidak terlalu banyak. Inilah tantangan konkret kita dalam mengimplementasikan kebijakan penanggulanan HIV/AIDS di Mabar.

*Penulis adalah warga Labuan Bajo.

Artikel Terkait