Opini

ODHA Juga Manusia, Stop Stigma Negatif Terhadap ODHA

Oleh : indonews - Sabtu, 18/09/2021 17:25 WIB

Warga Labuan Bajo, Manggarai Barat, Sil Joni.(Foto:Istimewa)

Oleh: Sil Joni*

INDONEWS.ID - Status ontologi kemanusiaan seseorang tidak lenyap hanya karena terinfeksi HIV/AIDS. Mereka tetap `manusia utuh` dengan segala hak dan kewajibannya. Karena itu, stigma negatif yang berkembang di masyarakat yang menyebabkan munculnya perilaku diskriminatif terhadap ODHA bisa dianggap sebagai `penodaan` terhadap martabat kemanusiaan itu sendiri.

Mantan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pernah menegaskan bahwa stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sebagai bentuk `pelanggaran hak asasi manusia (HAM)`. "Karena stigma dan diskriminasi terhadap ODHA itu sama saja melanggar ODHA dan juga termasuk pelanggaran HAM sebenarnya," kata Nafsiah dalam acara "HIV/AIDS Stigma & Discrimination in the Workplace:Time to Stop!" yang diadakan di Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI) Universitas Indonesia, Jakarta, Senin (2/12/2019).

Pendapat ibu Nafsiah ini, hemat saya tidak berlebihan. Betapa tidak, pikiran negatif (stigma) terhadap seseorang atau kelompok tertentu merupakan `bentuk negativitas` terhadap eksistensi mereka sebagai manusia utuh. Ketika sejumlah persepsi negatif diberikan kepada para penderita HIV/AIDS, maka sebenarnya kita sedang `menyingkirkan mereka` dari lingkungan komunitas manusia yang normal.

Stigma diciptakan oleh masyarakat saat melihat sesuatu yang dianggap telah menyimpang ataupun aneh karena ada hal yang tidak seperti sewajarnya. Stigma biasanya diciptakan oleh masyarakat untuk menilai sesuatu hal yang memalukan ataupun tidak sesuai dengan nilai-nilai yang telah dianut, sehingga hal tersebut nantinya akan dapat menyebabkan penurunan rasa percaya diri, motivasi, penarikan diri dari lingkungan sosial, menghindar pekerjaan, serta kehilangan arah masa depan.

Dengan demikian stigma ODHA dalam tulisan ini adalah cara pandang negatif terhadap ODHA. Pola pikir negatif itu berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang apabila berhadapan dengan ODHA.Saya coba mengidentifikasi bentuk stigma yang berkembang di tengah masyarakat terhadap ODHA dan menganalisis hubungan faktor determinan yang berkontribusi terhadap stigma masyarakat pada ODHA yang masih banyak terjadi di masyarakat.

Akar dari stigma terhadap ODHA, hemat saya adalah masyarakat kurang tahu tentang informasi HIV yang benar dan lengkap, khususnya soal mekanisme penularan HIV, kelompok orang berisiko tertular HIV dan cara pencegahannya termasuk penggunaan kondom. Stigma merupakan penghalang terbesar dalam pencegahan penularan dan pengobatan HIV. Kurangnya pasokan pengetahuan yang akurat perihal HIV/AIDS membuat kita terjebak dalam pola pikir stereotip dan bias.

Stigma terhadap ODHA, bukan tidak mungkin menyebabkan orang yang memiliki gejala atau diduga menderita HIV enggan melakukan tes untuk mengetahui status HIV. Mengapa? Boleh jadi, apabila hasilnya positif, mereka takut akan ditolak oleh keluarga dan khususnya oleh pasangan.

Oleh sebab itu, stigma merupakan salah satu kendala yang dihadapi dalam penanggulangan HIV/AIDS. Kita tahu dalam hidup bermasyarakat, stigma juga menghalangi ODHA untuk melakukan aktivitas sosial. ODHA menutup diri dan cenderung tidak bersedia melakukan interaksi dengan keluarga, teman, dan tetangga. Saya kira, gejala semacam ini akan dengan mudah kita temukan dalam lingkungan sosial di mana ada anggota yang masuk kategori ODHA itu.

Apa bentuk konkret dari asumsi yang bersifat sitgma itu? Saya berpikir, masih ada sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa orang dengan HIV positif adalah orang berperilaku tidak baik seperti perempuan pekerja seksual, pengguna narkoba, dan homoseksual. Mereka mengasosiasikan kelompok tertentu sebagai `orang yang berperilaku deviatif`. Kelompok ini oleh sebagian masyarakat dianggap memengaruhi epidemi HIV/AIDS dan membuat masyarakat menjadi menolak dan membenci kelompok tersebut.

Pelbagai studi sosiologis menunjukkan bahwa umumnya masyarakat memiliki pengetahuan yang kurang tentang HIV/AIDS. Juga masih ada beberapa pemahaman yang masih salah, seperti HIV dapat ditularkan melalui pakaian atau benda-benda yang dipakai oleh ODHA dan orang yang menderita HIV dapat menunjukkan gejala penyakitnya.

Tetapi menariknya adalah mayoritas masyarakat kita memahami dengan baik bahwa HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksual dan transfusi darah. Rupanya, pengetahuan seperti itu tak cukup untuk menghindari `pikiran negatif` (stigma) terhadap ODHA.

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pengetahuan tentang HIV/AIDS sangat memengaruhi sikap seseorang terhadap penderita HIV/AIDS. Stigma terhadap ODHA muncul berkaitan dengan minimnya pengetahuan seseorang tentang mekanisme penularan HIV/AIDS itu.

Mispersepsi masyarakat tentang HIV/AIDS sering kali berdampak pada ketakutan masyarakat terhadap ODHA, sehingga memunculkan penolakan terhadap ODHA. Saya kira, ini informasi penting bagi para aktivis yang peduli terhadap isu HIV/AIDS. Pemberian informasi lengkap, baik melalui penyuluhan, konseling maupun sosialisasi tentang HIV/AIDS kepada masyarakat berperan penting untuk mengurangi stigma.

Pemberian pengetahuan atau informasi terkait HIV adalah salah satu cara yang efektif untuk menjelaskan tentang pencegahan dan penularan HIV. Seseorang dengan pengetahuan yang baik dan benar terkait HIV diharapkan dapat menurunkan bahkan menghilangkan stigma pada ODHA.

Pihak Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Dinas Kesehatan, dan lembaga pendidikan diharapkan bisa merancang dan mengeksekusi program sosialisasi dan edukasi yang massif kepada masyarakat tentang HIV/AIDS ini.

Jadi, persepsi masyarakat terhadap ODHA memiliki pengaruh terhadap sikap dan perilaku memberikan stigma. Hasil riset menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian stigma HIV/AIDS dengan pengalaman seseorang dalam berinteraksi dengan ODHA. Juga berhubungan dengan pengalaman tentang adanya rasa malu dan menyalahkan yang berkaitan dengan penyakit AIDS.

Demikian juga persepsi terhadap penderita AIDS akan sangat memengaruhi cara orang tersebut bersikap dan berperilaku terhadap ODHA. Terkait dengan akses media informasi tentang HIV/AIDS, saya kira mayoritas masyarakat pernah mendapatkan informasi terkait HIV/AIDS. Media televisi, umumnya merupakan akses informasi yang dipilih untuk mendapatkan informasi tentang HIV/AIDS.

Selain media televisi, kita juga memperoleh informasi terkait HIV/AIDS melalui koran, radio, majalah, dan internet. Media telah lama digunakan untuk memberikan informasi terkait HIV/AIDS dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS.

Selain itu, informasi tentang HIV/AIDS melalui media juga memberikan dampak dalam penurunan stigma masyarakat terhadap ODHA, meskipun hal tersebut belum terjadi di semua negara dan semua kalangan masyarakat. Tetapi, setidaknya kita mempunyai harapan bahwa `stigma` terhadap ODHA ini perlahan-lahan akan terkikis melalui penyebaran informasi yang berkualitas dari media.

Tidak terlalu mengejutkan jika ada penilaian bahwa masyarakat di daerah perkotaan cenderung lebih banyak memanfaatkan media dibandingkan dengan masyarakat pedesaan. Mendapatkan informasi, menjadi salah satu kebutuhan masyarakat di kota.

Ternyata, kelompok masyarakat dengan akses media lebih sering memiliki stigma yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok masyarakat dengan akses media yang kurang. Tentu, tesis ini perlu studi yang lebih mendalam dan komprehensif lagi.

Orang yang paling dekat dengan ODHA adalah tetangga. Sikap seorang tetangga sangat penting terkait dengan pemberian stigma terhadap ODHA, karena dapat memengaruhi sikap orang lain terhadap ODHA. Stigma tersebut muncul karena tetangga beranggapan bahwa orang dengan HIV/AIDS membawa penyakit infeksi yang dapat menularkan ke orang lain dan penyakit tersebut tidak dapat disembuhkan.

Selain itu, keluarga juga merupakan lingkungan terdekat yang berinteraksi dengan ODHA. Tetapi, umumnya keluarga memiliki sikap yang positif terhadap ODHA dibandingkan dengan yang memberikan sikap negatif terhadap ODHA. Kendati demikian, tetap diakui bahwa adanya perilaku keluarga yang memberikan stigma ODHA dapat memperkuat diskriminasi dan penolakan dari masyarakat.

Stigma terhadap ODHA disebabkan karena keluarga merasa malu apabila mengetahui salah satu anggota keluarga adalah seorang penderita HIV sehingga ODHA juga dikucilkan dari keluarga. Ketakutan akan diperlakukan secara berbeda membuat ODHA sulit menjembatani diri dengan orang lain dan takut untuk berbagi pengalamannya, bahkan untuk menyatakan dirinya sakit.

Sebaliknya, dukungan atau penghapusan stigma dari orang-orang di sekitar ODHA juga akan berdampak pada peningkatan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Dukungan sosial membuat penderita HIV tidak merasa sendiri, merasa disayangi dan mereka lebih berpeluang untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan.

Pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh ODHA memungkinkan peningkatan pengetahuan, saling berbagi informasi terkait HIV/AIDS serta meningkatkan kepatuhan terapi antiretroviral (ARV). Keterbukaan dan rasa nyaman yang dirasakan ODHA membuat mereka lebih mudah untuk menerima informasi.

Selain keluarga, tokoh masyarakat merupakan salah satu faktor lingkungan sosial memiliki peranan penting terjadinya stigma terhadap ODHA. Apabila seorang tokoh masyarakat memberikan stigma terhadap ODHA, masyarakat di sekitarnya memiliki kemungkinan juga akan terpengaruh untuk melakukan hal yang sama.

Reaksi masyarakat terhadap ODHA memiliki efek besar pada ODHA. Apabila reaksi masyarakat bermusuhan, seorang penderita HIV dapat merasakan adanya diskriminasi dan kemungkinan dapat meninggalkan rumah atau menghindari aktivitas sehari–hari seperti berbelanja, bersekolah, dan bersosialisasi dengan masyarakat.

Pada dasarnya, tokoh masyarakat berperan penting dalam menurunkan terjadinya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA karena tokoh-tokoh lokal merupakan model atau contoh yang biasanya menjadi panutan masyarakat, terutama pada masyarakat di daerah pedesaan.

Tindakan dan sikap mereka dijadikan referensi oleh masyarakat dalam mengubah perilaku sehat, termasuk yang terkait dengan penularan HIV, dan menurunkan stigma terhadap ODHA. Oleh karena itu, pemberian informasi yang komprehensif tentang HIV/AIDS kepada tokoh masyarakat menjadi sangat penting dilakukan oleh petugas kesehatan, agar tokoh masyarakat dapat menularkan dan menyebarkan informasi yang benar kepada masyarakat, termasuk tentang menghilangkan stigma terhadap ODHA.

Upaya mengatasi persoalan stigma terhadap ODHA ini melibatkan semua pemangku kepentingan. KPA, Dinas Kesehatan, LSM peduli HIV/AIDS dan lembaga pendidikan mesti berada pada garda terdepan untuk memberikan informasi dan pengetahuan yang akurat dan obyektif soal HIV/AIDS agar tidak terjadi mispersepsi yang berujung pada `cara pandang serba negatif` terhadap ODHA.

KPA Mabar sedang berada pada jalur yang benar. Lembaga ini tengah mengoptimalkan kemampuannya untuk `memberantas virus stigma ODHA dan HIV/AIDS sekaligus. Dengan kata lain, fokus perhatian KPA tidak hanya pada program `pencegahan penularan HIV/AIDS, tetapi juga berjibaku untuk `menghentikan` laju penyebaran stigma ODHA yang jauh lebih mematikan ketimbang HIV in se.

HIV/AIDS memang menjadi `musuh bersama` kita. Tetapi, ODHA adalah sahabat, anggota keluarga kita yang perlu dilindungi dan diselamatkan. Mereka juga manusia sama seperti kita. Tentu mereka tidak pernah menghendaki statusnya berubah sebagai ODHA. Karena itu, mari bersama dengan ODHA kita `angkat senjata` untuk berperang melawan HIV/AIDS. Kita tidak pernah didorong untuk bertempur dengan ODHA agar mereka `tersingkir` dari panggung sejarah melalui pelbagai stigma yang kita lekatkan dalam tubuh mereka.

*Penulis adalah warga Labuan Bajo.

Artikel Terkait