Oleh Sr. Herdiana Randut, SSpS
(Member of Woke Asia Feminist dan Komunitas Puandemik Indonesia)
Jakarta, INDONEWS.ID - Menyaksikan Labuan Bajo hari-hari ini seperti kita menyaksikan gemerlapnya lampu warna warni kemajuan modern, sebuah perkembangan dahysat yang patut disyukuri. Mudah untuk kita membuktikannya. Tapi apakah kegemeralapan itu berdampak pada kegemerlapan manusia-manusianya?
Ke sanalah arah tulisan ini. Mudah sekali untuk membuktikan kesenjangan itu tanpa perlu berteori banyak. Namun untuk keperluan tulisan ini, saya hanya membatasi diri pada isu gendernya yaitu perempuan, yang semakin ke sini semakin diabaikan, bahkan dimarginalisasikan.
Lalu pertanyaannya, gemerlapnya wisata di kota super prioritas Labuan Bajo untuk siapa sebenarnya? Ke mana sebenarnya pembangunan gegap gempita wisata super prioritas ini? Ke Jakarta? Ke investor besar? Ke korporasi-korporasi besar? Bukankah setiap pembangunan, apa pun itu, sejatinya untuk membangun manusia pembangun?
Labuan Bajo Hari Ini seperti umumya diketahui, pariwisata adalah industri yang berfokus pada layanan, promosi, dan pengembangan yang berkaitan dengan perjalanan wisata. Industri pariwisata merupakan bisnis sekaligus fenomena sosial yang cukup diperhitungkan dunia. Bahkan pariwisata disebut-sebut sebagai pelaku ekonomi dalam perdagangan internasional (Soesono Bong, Manajemen Risiko, Krisis, dan Bencana Untuk Industri Pariwisata yang Berkelanjutan, 2019).
Seiring berkembangnya zaman, industri pariwisata mengalami peningkatan kualitas maupun kuantitas. Untuk menciptakan pariwisata yang berkualitas dan berkuantitas tentunya membutuhkan kerja keras dalam pembangunan. Mulai dari pembangunan infrastruktur, transportasi serta pembangunan jenis-jenis industri pariwisata itu sendiri seperti hotel, restoran, atraksi wisata, sampai pembangunan sumber daya manusia.
Itulah yang terjadi di Labuan Bajo hari ini. Sejak pemerintah menetapkan Labuan Bajo sebagai destinasi wisata super prioritas, jadilah kota kecil di ujung Barat pulau Flores Nusa Tenggara Timur ini berubah drastis.
Pulau Komodo yang adalah bagian integral destinasi ini menjadi salah satu primadona yang banyak dikunjungi dan binatang ini telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai New Seven Wonders. Setelah ditetapkan sebagai New Seven Wonders, semua ini turut andil menjadikan Labuan Bajo seperti yang kita lihat hari ini.
Namun dalam pengamatan saya, semua yang gemerlap dan hebat-hebat ini hanya sebatas pada apa yang tampak mata, yaitu fisik kota ini dan sekitarnya. Pemerintah pusat sampai pemerintah daerah lebih berfokus pada pembangunan sektor pariwisata agar mendapatkan banyak keuntungan bagi negara seperti devisa yang besar dan keuntungan-keuntungan lainnya.
Kemajuan-kemajuan ini memang tak perlu dipersalahkan. Perlu diakui dan diapresiasi bahwa proses pembangunan fisik ini dapat dilihat secara langsung. Jalan raya yang licin dan lebar, pertokoan dan pusat perbelanjaan yang lengkap, restaurant dan hotel-hotel mewah, travel agent yang banyak menawarkan usaha perjalanan wisata, akses transportasi yang mudah didapat dan kapal-kapal yang menawarkan perjalanan wisata oversea. Bahkan event-event nasional sampai internasional pernah diselenggarakan di kota ini.
Apakah proses pembangunan pariwisata Labuan Bajo sudah terwujud dengan baik dari ruang-ruang perempuan? Pertanyaan ini sekaligus keprihatinan saya akan fakta bahwa telah terjadi kesenjangan besar antara kemajuan fisik dan pemberdayaan perempuan. Bahkan cenderung perempuan diabaikan dalam seluruh skema pengembangan pariwisata di kota ini.
Perempuan Yang Terabaikan
Membangun pariwisata sejatinya harus menyeluruh, tidak semata-mata pada pembangunan infrastruktur fisik. Oleh karena itu, dewasa ini sering didengungkan ranah-ranah pariwisata yang diperluas, artinya tidak hanya berbicara tentang perkembangan destinasi, melainkan juga termasuk melestarikan budaya, dan pembangunan industri-industri wisata.
Dari sinilah timbul sebuah urgensi pembangunan kesetaraan gender dalam industri pariwisata. Masalah gender seperti juga terjadi di mana-mana merupakan masalah yang fundamental sekaligus rentan di setiap industri dan kehidupan bermasyarakat.
Masalah ini akan berkaitan dengan implementasi kemanusiaan yang berpengaruh terhadap setiap kegiatan yang dilakukan individu dan perlakuan terhadapnya dalam lingkungan termasuk sektor pariwisata. Termasuk pembangunan Labuan Bajo kota super prioritas dan itulah yang saya saksikan selama ini.
Pembangunan sektor pariwisata Labuan Bajo memang telah mendapat perhatian banyak pihak. Namun masih ada ketidakadilan dalam pekerjaan, di mana peran laki-laki lebih dominan dibandingkan perempuan. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari persoalan gender.
Pada segala bidang, kehidupan laki-laki masih mendominasi seperti politik, otoritas moral, penguasaan, properti, pembangunan dan hak sosial (Bdk:Journal Menyoroti Budaya Patriaki di Indonesia, Sakina dan Siti, 2017).
Untuk Labuan Bajo, data berikut ini dapat berbicara banyak. Dalam jurnal Dampak Kegiatan Pariwisata Bagi Masyarakat Dalam Kawasan Pulau Komodo tahun 2015 oleh Mutia, mata pencaharian masyarakat desa Komodo mulai berubah dari nelayan menjadi pekerja di bidang pariwisata.
Keterlibatan perempuan masih sangat terbatas hanya pada pekerjaan-pekerjaan yang diidentikan dengan perempuan seperti menjaga kios atau warung. Sementara laki-laki menjadi tour guide, naturalist guide, pengrajin patung komodo, penjual souvenir. Naturalist guide berada di bawah Balai Taman Nasional Komodo (BTNK). Jelaslah di sini, perempuan memang terabaikan.
Dominasi laki-laki terlihat di mana-mana. Tidak saja di pulau Komodo melainkan pemandu-pemandu wisata di Labuan Bajo didominasi oleh mereka. Apakah harus laki-laki? Menurut hemat saya, tour guide dan naturalist guide bisa juga dilakukan oleh perempuan jika pemerintah dapat mengatur waktu kerja dan model tour yang cocok dilakukan oleh perempuan.
Tentu ini sangat tergantung pada political will pemerintah. Selain dari perempuan sendiri dilatih dan dituntut untuk mempunyai kompetensi dari aspek skill, knowledge, dan profesionalitas kerja. Faktanya selama ini, perempuan lebih sering ditempatkan pada bagian administrasi atau food and beverage yang dianggap selaras dengan pekerjaan domestik.
Sedangkan pekerjaan untuk laki-laki lebih bervariasi dan mendominasi seperti pengambil keputusan, pekerjaan berkompetensi teknis, dan menjadi pemimpin di tours and travel agent, hotel-hotel berbintang. Sopir taksi atau kendaraan-kendaraan umum di Labuan Bajo lebih banyak dilakukan oleh laki-laki.
Pemerintah Ambil Action
Hal ini bisa dipahami karena masyarakat di sini masih kental dipengaruhi oleh budaya setempat yang memandang laki-laki lebih kuat dari perempuan sehingga di mana-mana dapat kita saksikan pengrajin patung komodo pun masih banyak dilakukan oleh laki-laki. Bukan tidak mungkin perempuan bisa bekerja di bidang ini, namun selama ini belum ada pemberdayaan atau pengarahan dari pemerintah setempat untuk melibatkan perempuan di dalamnya.
Selain itu, minimnya pelatihan-pelatihan kerja bagi perempuan seperti pelatihan teknik komputer dan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya, tentu memperparah kesuraman masa depan perempuan di kota ini. Sejauh yang saya amati, sudah terdapat kelompok pemberdayaan perempuan yang mengalami kendala kekurangan modal produksi dan promosi pengrajin tenun di Desa Poco Rutang Kecamatan Lembor.
Atas dasar semua ini, urgensi pemberdayaan perempuan menjadi sesuatu yang tak terelak. Hal ini penting agar akselerasi pengembangan wisata super prioritas Labuan Bajo tidak berjalan timpang. Fisiknya gemerlap siang malam, sementara perempuan-perempuan yang menjadi mayoritas warga di pulau ini, tersingkirkan dan melejit tenggelam dalam kesuraman.
Pemerintah segera ambil action jika tak ingin ketimpangan ini akan terus melebar dan menganga. Buatlah program pemberdayaan perempuan dalam bentuk pelatihan kerja, keterampilan bahasa Inggris atau ilmu komputer, dan pengetahuan yang sama seperti laki-laki. Hanya dengan ini, kegemerlapan Labuan Bajo tidak hanya aduhai bagi mata dunia tapi indah untuk manusia-manusia dan seluruh penghuninya.