Opini

Papua Tidak Butuh 300-M, Papua Bersama Haris Azhar

Oleh : Mancik - Kamis, 23/09/2021 19:03 WIB

Aktivis kemanusiaan, Marthen Goo

Oleh: Marthen Goo

INDONEWS.ID - Orang Papua itu bangsa yang bermartabat. Bangsa yang sudah hidup berabad-abad dengan kekayaan alam yang berlimpah dan dengan kebudayaan yang bermartabat, bahkan hidup dengan penuh kebahagiaan sebelum Indonesia menguasai Papua.

Kerukunan antara satu suku dan suku yang lain terjaga dan terlindungi, hal itu bisa dilihat dengan penghormatan pada batas-batas wilayah adat, batas-batas wilayah suku, batas-batas wilayah marga.

Dalam perjalanan kehidupan tersebut, orang Papua tidak pernah mengenal kemiskinan sebelum Indonesia masuk, sebelum adanya Kolonialisme dan Kapitalisme di Papua. Sejarah peradaban Papua membuktikan itu dan tidak bisa dibantah oleh siapapun.

Bahkan di jaman Belanda, karena perabadaban yang sudah ber-adab tersebut, Belanda hanya mengenalkan dunia modern dengan pendekatan kebudayaan dan kemanusiaan tanpa menghancurkan peradaban Papua. karenanya, pada jaman Belanda, orang Papua maju dengan begitu pesat.

Kemiskinan di Papua adalah Kemiskinan Yang Didesign

Orang Papua saat ini mulai dibuat hancur dan miskin oleh keberadaan negara. Hal itu bisa dilihat dengan cara (1) mobilisasi penduduk tanpa kontrol, tanpa ada batasan regulasi soal perbandingan, asumsinya ini negara kesatuan; (2) SDA diklaim milik negara, alasannya untuk kepentingan umum, tujuan nasional, agar dengan mudah dikuras, sementara penduduk setempat hancur-hancuran; (3) Hutan adat dibuat punah dan diganti oleh kelapa sawit dan pembalakan liar lainnya serta praktek-praktek illegal maining; (4) masuknya investor yang merusak tatanan adat di Papua, seakan Papua tanah kosong.

Tentu, semua itu dibingkai oleh negara dengan pendekatan militer melalui berbagai operasi dari tahun 1962 sampai saat ini, yang buat orang Papua banyak yang korban. Berbagai operasi digerakan hanya untuk membuat orang Papua terima tanpa melawan.

Jika melawan, dimakarkan dan dilakukan operasi yang membuat rakyat lari ke hutan-hutan dan mengungsi. Rasisme pun sangat tinggi terhadap Papua.

Cara mau bangun orang Papua sederhana, misalnya dalam Otsus diberikan hak olah kekayaan didasarkan hukum positif, misalnya (1) setiap investor yang masuk di Papua, masyarakat adat jadi pemilik saham sebagai pemilik tanah adat dengan memperhatikan keberadaan dan kepastian adat-istiadat; (2) semua tanah di Papua adalah tanah adat karena dari sananya seperti itu, dan harus dihormati, (3) prinsip dalam nilai-nilai yang hidup di tanah Papua sebum adanya Indonesia menjadi nilai-nilai luhur dalam pelaksanaan pemerintahan di Papua. Faktanya itu susah dilakukan, dan argumennya negara kesatuan, sementara aspek republik dan kebhinekaan dihilangkan.

Hal lain, negara mengklaim tanah milik negara. Pertanyaannya, Papua dimasukan ke Indonesia apakah untuk kepentingan mengklaim tanah dan kekayaan milik negara dan meniadakan hak sulung masyarakat adat Papua? Jika itu jawabannya, logikannya, negara seakan mempraktekan cara kolonial terhadap Papua dengan meniadakan hak masyarakat adat yang sudah hidup ribuan tahun.

Bernegara itu prinsip utamanya adalah menghargai keanekaragaman perbedaan, tidak hanya fisik tapi sampai pada kepemilikin tanah dan warisan leluhur. Jika logikanya adalah Jawa sebagai referensi, jangan menyamakan Jawa sama dengan di daerah lain, lantas hukum positif yang dibuat untuk mengorbankan masyarakat adat di daerah lain.

Karena logika itu hanya akan melahirkan Tirani dan Rasisme. Kebhinekaan itu bicara soal menghargai dan menghormati perdaban bangsa lain yang menjadi satu kesatuan antara manusia dan alamnya. Atas logika itu, Indonesia tentunya layak jadi negara Federal, bukan Kesatuan. Patut diduga, motif awal adalah adanya tirani.

Ini masalah serius. Karena mestinya, ketika hendak memaksa orang lain hidup bersama, harus dengan tujuan membuat orang itu bisa hidup tenang, damai dan sejahtera. Harus bisa membuat orang itu jauh lebih baik dan maju serta bermartabat. Bukan memaksakan dengan membantai, membunuh dan memaksa hanya karena ingin menguasai kekayaan milik orang itu. Dalam logika itu, tentu namanya penjahat.

Dari fakta-fakta yang terjadi di depan mata, sementara demokrasi dibuat mati di Papua agar tidak ada suara kebenaran, Haris Azhar adalah salahsatu orang yang menyuarakan kebenaran tentang Papua di Jakarta. Haris berusaha membantu orang Papua di Jakarta dengan menyuarakan suara penderitaan dan ratapan. Haris mendalami hati orang Papua dengan menyuarakan suara penderitaan orang Papua.

Papua Tidak Butuh 300 Miliar, Papua Bersama Haris Azhar

Orang Papua tidak butuh uang. Bahkan orang Papua terlalu banyak sumbang untuk negara ini. Kalau hitung-hitung sudah ribuan triliun sumbangan Papua untuk negara. Balasan negara ke orang Papua hanya pelanggaran HAM sejak Papua dipaksakan bergabung ke Indonesia sejak 1962, dengan kekuatan militer sampai saat ini. Cara damai seperti perundingan saja, negara mengelak.

Negara berusaha menghindar. Jokowi seakan peduli negara luar yang bertikai dan menawarkan dialog, tapi dalam negeri, Jokowi masa bodoh dan tidak pernah mau berdialog/berunding untuk wujudkan Papua tanah damai. Berkali-kali Jokowi ke Papua tapi tidak ada dampak untuk Papua tanah damai. Berbeda dengan Gus Dur. Sekali ke Papua, bisa membuat Papua damai. Gus Dur mengedepankan pendekatan kemanusiaan dan kultur.

Orang Papua saat ini hanya butuh damai. Orang Papua butuh gelar Perundingan antara Negara dan ULMWP, untuk menciptakan Papua tanah damai. Biar dengan kedamaian, orang Papua bisa berjuang menata dirinya, menata bangsanya, dan menata masa depan dalam bernegara. Hakikat bernegara biar bisa terwujud di Papua dalam situasi kedamaian.

Haris Hazar bagi orang Papua adalah tokoh ham, pejuang kemanusiaan bagi Papua. Karenanya, orang Papua selalu ada untuk Haris Azhar. Orang Papua selalu mendoakan Haris Azhar karena Haris ada di hati orang Papua. Haris adalah orang yang selalu menyalakan lilin kecil bagi Papua ketika kebenaran dimatikan. Perjuangan Haris Azhar adalah perjuangan bagi Papua.

Sehingga, dengan pernyataan pak Luhut yang memakai nama Papua dengan menyebut akan memberikan 300 Miliar bagi Papua, diduga itu hanya pernyataan politik untuk menarik simpatik dan dukungan publik semata. Nama Papua diduga hanya jadi alat politik semata, tapi juga alat perlawanan pada aktivis Ham-Haris. Papua tidak butuh 300-M itu. Papua butuh banyak Haris Azhar yang bicara Ham dan kebenaran untuk selamatkan Papua.

Papua mengucapkan terimakasih banyak pada Pak Haris Azhar yang selalu ada bagi kaum tertindas dan selalu bersuara bagi korban. Karena setiap aktivis HAM, bagi Papua adalah pahlawan di tengah deruhnya linangan air mata darah. Dan untuk Pak Luhut, desaklah Pak Jokowi untuk Gelar Perundingan Negara dan ULMWP untuk wujudkan Papua Tanah Damai. Papua butuh Gelar Perundingan untuk wujudkan Papua tanah damai.

*Penulis adalah aktivis kemanusiaan

Artikel Terkait