Nasional

`Pandora Paper` Sebuah Skandal, Presiden Jokowi Harus Beraksi

Oleh : very - Kamis, 07/10/2021 09:37 WIB

Forum Ekonomi Politik Didik J Rachbini dengan tema “Oligarki dan Pandora Papers” melalui Diskusi Publik Twitter Spaces, di Jakarta, Rabu (6/10). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Kasus “Pandora Paper” yang sedang menghangat karena menyeret pejabat publik setingkat Kementerian Koordinator saat ini bukan sebuah skandal biasa. Karena itu, kasus ini harus ditanggapi secara serius baik oleh mereka yang tersangkut kasus tersebut, maupun oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Setidaknya, ada dua hal mengapa kasus ini harus ditanggapi secara serius. Pertama, Pandora Papers merupakan sebuah skandal.

“Ada segolongan orang kaya dan mempunyai kekuasaan yang menyimpan dananya di tempat lain agar tidak terkena pajak. Sebuah dokumen rahasia yang tidak akan terkuak bila tidak ada investigasi dari jurnalis dan aktivis yang menginginkan adanya keadilan hukum dalam kasus perpajakan. Hal itu jika tidak disikapi dengan serius, akan tetap tertutupi,” ujar Rektor Universitas Paramadina, Prof Didik J Rachbini dalam Forum Ekonomi Politik Didik J Rachbini dengan tema “Oligarki dan Pandora Papers” melalui Diskusi Publik Twitter Spaces, di Jakarta, Rabu (6/10).

Diskusi ini menghadirkan dua narasumber yaitu Dr Wijayanto, Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES, dan Dzulfian Syafrian, Ph.D Candidate, INDEF.

Kedua, kata Didik, skandal tersebut tidak bisa hanya diklarifikasi saja dan terus dianggap selesai. Disebut skandal karena terdapat dana milik orang kaya yang dimasukkan ke perusahaan cangkang dengan maksud menghindari pajak negara. Dengan cara itu si pemilik perusahaan berusaha mendapatkan keuntungan dengan menghindari pajak.

“Presiden tidak boleh bersikap pasif karena jika benar, maka ada orang-orang di sekeliling presiden yang telah bertindak melanggar hukum dengan penggelapan pajak. Hal itu tidak bisa hanya diklarifikasi biasa dan harus diinvestigasi serius agar ada keadilan hukum dalam perpajakan. Karena sementara orang miskin dikejar-kejar pajak tapi di lain pihak ada orang-orang kaya yang diuntungkan karena telah menggelapkan pajak di negara tax heaven,” ujarnya.

 

Pengusaha Sekaligus Penguasa

Dzulfian Syafrian mengatakan bahwa kapitalisme tidak bisa hidup tanpa adanya akumulasi kapital dari rich people atau “Top One Percent”. Nature dari kapitalisme berikut perilakunya memang terus menerus ingin menumpuk kekayaan. Hal tersebut dari tinjauan sejarah bukanlah barang baru.

Dari sejarah kenabian sejak Ibrahim dan Musa, katanya, ada sosok Qorun, kapitalis masa itu yang gemar sekali menumpuk kekayaan. “Para oligarki pelaku Pandora Papers itu adalah representasi dari Qorun,” katanya.

Karena itu, katanya, terdapat akumulasi kapital yang bukan dalam konteks ekonomi tetapi adalah political capital power, politik penumpukan modal kekuasaan seperti perilaku Firaun.

“Pandora Papers adalah perilaku Firaun pada Abad 21. Ada orang kaya yang menjadi penguasa, menguasai dua capital: economy capital dan juga sumber daya politik kekuasaan. Jika dua hal itu bersatu dan berkomplot menjadi oligarki, maka akan sulit sekali dikalahkan. Ada fenomena orang kaya yang ingin jadi politisi dan politisi yang juga ingin menjadi orang kaya. Keduanya bermetamorfose menjadi oligarki yang menyembunyikan harta kekayaannya di negara tax heaven,” katanya.

Perilaku oligarki tersebut berkonsekuensi akan menghindari pajak, jika dalam konsep tatanegara (state) modern. Redistribusi kekayaan dari orang kaya seharusnya mengalir ke si miskin lewat mekanisme pajak, dan kaum miskin seharusnya bebas pajak dan dapat menerima benefit dari pajak.

“Tetapi dengan praktik pengemplang pajak orang kaya, redistribusi kekayaan melalui pajak tidak terjadi,” katanya.

Dia mengatakan, dalam kasus Pandora Papers orang kaya yang sekaligus penguasa itu malah tidak membayar pajak. Mereka justru mendapat benefit pajak dari adanya Tax Amnesty dan insentif-insentif pajak lain. Akibatnya, jika dilihat by data, semakin ke sini, negara-negara di dunia yang mengalami defisit neraca pembayaran semakin besar, yang berkonsekuensi pula pada utang negara dan utang publik yang pada akhirnya ditanggung orang miskin semakin besar.

Hal itu, katanya, dialami juga oleh Indonesia. Pada kurun waktu terakhir tax ratio haya berkisar 10 % saja dibanding negara-negara lain yang mencapai 20-30 %. Padahal pendapatan negara mayoritas berasal dari pungutan pajak. Untuk menambal defisit yang terjadi maka PPN dinaikkan dan otomatis berdampak pada masyarakat banyak. Terlebih saat ini ada indikasi uang haram dari pencucian uang masuk ke SBN dan menjadi “dana halal”.  

 

Seret ke Ranah Hukum

Sementara itu, Wijayanto mengatakan skandal “Pandora Papers” sebenarnya sudah banyak dibicarakan para ilmuwan politik tentang sepak terjang oligarki. Oligarki berusaha mempertahankan kekayaan dari para “top one percent” yang menguasai mayoritas kekayaan nasional yang telah menguasai sistem politik.

Dia mengatakan, adanya nama dua orang pejabat Indonesia level menteri Kabinet yang memiliki kekuasaan politik dan akumulasi kapital memungkinkan mereka melakukan apapun.

“Kasus 2016 ‘Panama Papers’ telah membuktikan bahwa keterlibatan nama-nama para pejabat di Indonesia tidak pernah ada follow up secara hukum. Diprediksi, oligarki dengan segala kekuasaan politik dan akumulasi kapital yang dimiliki akan dapat mencegah skandal ‘Pandora Papers’ dibawa ke ranah hukum,” ujarnya.

Indonesia, menurut Wijayanto, saat ini sangat membutuhkan modal untuk menyelamatkan warganya yang terkena pandemic covid 19. Salah satu cara untuk mendapatkan modal kerja kesehatan adalah dengan pendapatan pajak.

Wijayanto mengatakan, Indonesia saat ini diketahui memiliki tax ratio yang mengecil. Pengumpulan pajak lewat tax amnesty juga tidak efektif. Ada potensi besar pajak yang tidak menjadi pendapatan pajak negara.

Karena itu, katanya, sangat penting membawa skanda “Pandora Papers” ke ranah hukum untuk menimbulkan efek jera. “PPATK dan parlemen harus diminta agar membuka kasus tersebut agar tidak bernasib sama dengan Panama Papers yang tidak ditindaklanjuti. Menjadi untuk dibuka karena jangan-jangan dua nama pejabat Indonesia yang disebut Pandora Papers hanyalah gunung es dari banyaknya keterlibatan para pihak. Panama Papers dulu telah menyebut 800 nama yang terlibat skandal tersebut,” ujarnya.

“Jika pemerintah Indonesia serius menginginkan agar tax ratio menjadi maksimal, maka inilah saatnya pemerintah beraksi untuk mengoptimalisai pendapatan pajak,” pungkasnya. ***

 

Artikel Terkait