Nasional

Mengenal Lebih Dekat Urang Badui, Suku Penjaga Alam

Oleh : Rikard Djegadut - Jum'at, 29/10/2021 10:30 WIB

Foto: Dok. pribadi Risno Pakur)

Oleh Risno Pakur

Lifestyle, INDONEWS.ID - Hi sobat sekalian, sudah lama tidak bersua kembali. Sebelum kita membahas lebih jauh tema di atas, saya ingin ucapkan doa agar kita selalu senantiasa dilindungi oleh semesta di manapun kita berada.

Oh ya sobat, apa kabar? Semoga kabar baik ya! Tetap semangat dan sehat selalu. Kali ini, kita akan membahas lebih dekat soal `urang Badui’.

Nah,mungkin di antara teman-teman semua yang sedang membaca tulisan ini, sudah ada yang pernah berkunjung ke pemukiman atau kampung ‘urang badui’.

Tentunya kita sepakat bahwa eksistensi masyarakat adatnya masih ada hingga sekarang. Coba teman-teman bayangkan, di tengah gempuran budaya barat, arus globalisasi dan berbagai macam gempuran budaya asing, suku ataupun urang ini tetap utuh menjalankan warisan leluhurnya.

Yang lebih mencengankan lagi, lokasi pemukiman adat urang badui ini tidak jauh dari hiruk pikuk ibu kota Jakarta. Bagi saya pribadi, ini suatu yang mengagumkan. Bagaiman mungkin ada sekelompok orang yang menutup diri di saat era yang terbuka, tanpa sekat seperti sekarang ini?

Kita boleh saja bertanya, tapi mereka sudah menjawab dengan eksistensi meraka yang hingga kini masih terjaga dan gaya hidup meraka dapat kita lihat secara langsung, yang memang kebanyakan berbanding terbalik dengan orang modern kebanyakan.

Sebelum saya membahas lebih jauh soal urang badui ini, saya berikan sedikit info terlebih dahulu soal lokasi dan budaya serta asal-usul urang badui.

Asal-usul

Nah teman-teman bagi yang belum pernah ke tempat urang badui ini, teman-teman harus mengetahui terlebih dahulu lokasi  dan asal-usul urang badui ini.

Suku Badui atau kadang sering disebut Baduy merupakan masyarakat adat dan sub-etnis dari suku Sunda di wilayah pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Mereka merupakan salah satu kelompok masyarakat yang menutup diri mereka dari dunia luar. Selain itu, mereka juga memiliki keyakinan,  khususnya penduduk wilayah `Badui Dalam` bahwa hukumnya tabu untuk didokumentasikan.

Secara etnis, Badui termasuk dalam suku Sunda. mereka dianggap sebagai suku Sunda yang belum terpengaruh modernisasi atau kelompok yang hampir sepenuhnya terasing dari dunia luar.

Dengan sedikit info ini, tentunya membuat kita semakin penasaran ya akan eksistensi urang badui ini. Rasa  penasaran itu muncul ketika melihat secara langsung ‘life style’masyarakat ini yang masih memegang teguh adat istiadat di tengah gempuran budaya barat ataupun modernisasi pada umumnya.

Berjalan Sejauh 15-20 Kilo Meter

Hari itu cuacanya sangat panas sekali. Sinar matahari yang menerangi bumi kayaknya enggan berdamai dengan dinginnya hujan (lebay dikit tulisannya its OK ya,hehehe).

Saya dan rombongan berangkat dari Jakarta pada jam 5 pagi dan tiba di kabupaten Lebak sekitar jam 12 an. Sebelum kami menempuh perjalanan yang 15 kilo meter jauhnya menuju ke pemukiman suku `Badui Anak Dalam`, kami terlebih dahulu menikmati makan siang yang sudah disiapkan oleh penuntun jalan local.

Sembari makan siang bersama, kami melihat beberapa masyarakat suku Badui yang siap menuntun kami ke tempat mereka. Terlihat dari tata cara pakaian mereka yang serba putih dan sebagiannya lagi serba hitam dipadu dengan ikat kepala putih yang menghiasi penampilan mereka.

Ternyata dari tata cara berpakaian sesperti itu menandakan identitas, antara identitas suku badui anak dalam dan identitas suku badui anak luar.

Setelah semua rombongan sudah menyelesaikan santap siang,kini tiba saatnya untuk bertualang menelusuri lembah,bukit dan sungai sejauh 15 kilo meter dari check point awal gaess.

Tentunya ini pengalaman yang sangat menyenangkan bagi saya pribadi. Bagaimana tidak sobat, saya disuguhkan dengan pemandangan yang indah, hijaunya daun, jauh dari hiruk pikuknya kota, jauh dari polusi dan tentunya jauh dari drama orang-orang kota wkwkk jadi curhat ya).

Ada pemandangan  unik yang dapat kita lihat selama menelusuri perjalanan jauh tersebut, kita dapat melihat suatu pemandangan sungai yang begitu bersih, tanpa ada kotoran atau pun sampah plastik di sekitaran sungai tersebut.

Oh ya sobat, menurut kepercayaan tradisional masyarakat setempat bahwa menjaga alam sama halnya dengan menjaga tradisi luhur masyarakat adatnya. Di sini terlihat sekali gaya hidup masyarakatnya yang sangat bersinggungan langsung dengan alam.

Gaya Hidup Orang Badui Dalam

Orang Kanekes memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya.

Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional.

Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu Tangtu, Panamping dan Dangka. Kelompok Tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Badui Dalam).

Kelompok ini yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua (warna tarum) serta memakai ikat kepala putih.

Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing. Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.

Sebagian peraturan yang dianut oleh Orang Kanekes Dalam antara lain: tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi; tidak diperkenankan menggunakan alas kaki; pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu`un atau ketua adat); larangan menggunakan alat elektronik (teknologi); menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.

Kelompok masyarakat kedua yang disebut Panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Badui Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya.

Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna biru gelap (warna tarum). Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam.

Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar: mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam; berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam; menikah dengan anggota Kanekes Luar

Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar antara lain; mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik; Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam

Mereka juga menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans; Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.

Sebagian di antara mereka telah terpengaruh dan berpindah agama menjadi seorang muslim dalam jumlah cukup signifikan. Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes.

Pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).  Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.*

 

 

 

Artikel Terkait