Opini

Komitmen Pemerintah untuk Mengakhiri Penggunaan PLTU Batubara Merupakan Berita Gembira

Oleh : indonews - Senin, 08/11/2021 12:20 WIB

Prof. Atmonobudi Soebagio MSEE, Ph.D. adalah Guru Besar Teknik Daya Listrik pada Universitas Kristen Indonesia. (Foto: Ist)

Atmonobudi Soebagio*)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Kompas, Senin 8 Nopember 2021, memberitakan tentang komitmen Pemerintah untuk mengakhiri penggunaan PLTU batubara, sebagai bagian dari komitmen negara-negara dunia yang bertekad membatasi kenaikan suhu atmosfir sebesar 2 derajat Celsius atau lebih rendah, di atas suhu atmosfir era pra-industri (tahun 1850 –1900).

Tentunya ada sebagian anggota masyarakat yang bertanya, mengapa berita ini merupakan berita gembira. Bagi kalangan yang mengetahui tentang risiko kenaikan jumlah karbon dioksida di atmosfir sebagai penyebab pemanasan global, mereka akan sangat gembira. Sebaliknya, bagi mereka yang belum mengetahuinya, mungkin tidak peduli; bahkan tetap melakukan berbagai aktivitas yang bertentangan dengan komitmen tersebut sebagai business as usual. Penggunaan batubara, diikuti oleh minyak bumi dan gas alam sebagai bahan bakar, merupakan penyebab utama pemanasan global. Suhu atmosfir bumi akan meningkat dan menyebabkan perubahan iklim; yang mana penulis lebih suka menyebutnya sebagai ketidakteraturan iklim.

Mengapa PLTU batubara perlu diakhiri penggunaannya? Hampir semua PLTU di Indonesia menggunakan bahan bakar batubara, sementara sektor transportasi masih mengandalkan BBM dan BBG yang juga tergolong bahan bakar fosil. Artikel ini hanya menyoroti batubara sebagai bahan bakar bagi PLTU.  Pembentukan batubara terjadi 360 juta hingga 290 juta tahun yang lalu, selama periode karbon. Namun jumlah yang lebih kecil terus terbentuk di beberapa bagian bumi sepanjang periode-periode  berikutnya; khususnya di era Permian (290 juta hingga 250 juta tahun yang lalu) dan sepanjang era Mesozoikum (250 juta hingga 65 juta tahun yang lalu).

“Pembangunan Berkelanjutan” telah didefinisikan dalam banyak cara, tetapi definisi yang paling sering dikutip adalah dari Our Common Future, yang juga dikenal sebagai Laporan Brundtland - Sebutan Brundtland diambil dari nama Mrs. Gro Harlem Brundtland, mantan PM Norwegia, yang memimpin komisi tersebut - yaitu: "Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka".  Ini mengisyaratkan, bahwa batubara dan bahan bakar fosil lainnya tidak boleh dihabiskan oleh generasi manusia sekarang saja, karena juga menjadi hak dari generasi-generasi berikutnya.

Pada tahun 2018, total produksi pembangkit listrik mencapai 283,8 Tera-Watt-hour (TWh) dan 56,4% (atau 160,1 TWh) dihasilkan oleh PLTU batubara. Emisi karbon dioksida yang keluar dari PLTU batubara untuk menghasilkan energi listrik sebesar 1 MWh adalah 960 – 1000 kg.  Jadi total gas karbon dioksida yang diemisikan oleh PLTU batubara sepanjang tahun 2018 adalah sebanyak 153 juta ton. Suatu jumlah yang tidak sedikit dalam menyebabkan pemanasan global.

Target Pemerintah untuk menggantikan PLTU batubara perlu didukung, bahkan  diakselerasi proses konversinya ke Energi Baru dan Terbarukan (EBT); sesuai kesepakatan Perjanjian Paris (2015) yaitu mengurangi emisi gas rumah kaca global secara substansial untuk membatasi kenaikan suhu global di abad ini hingga 2 derajat Celsius, sambil mengupayakan cara untuk membatasi peningkatan lebih jauh hingga 1,5 derajat Celsius. Serentak dengan pencapaian target tersebut, BBM dan BBG fosil juga perlu segera diganti dengan BBM nabati dan BBG hidrogen.  

Proses akselerasi penggunaan EBT dan efisiensi energi merupakan pilar utama untuk mencapai Net Zero Emission 2050.  Langkah kerja untuk mencapai sasaran Energi dan Teknologi menuju 2050 memerlukan tahap transisi yang terkoordinasi secara baik, dan tidak bisa hanya dengan mengandalkan pada satu atau beberapa kementerian dan BUMN saja.  Dalam menyatukan langkah gerak, semua proses transisi energi tadi memerlukan kerja keras dari sejumlah kementerian dan BUMN/swasta, serta mengelompok dalam 4 klaster/gugus tugas yang mencakup teknologi, ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan.  Kiranya Tuhan menyertai Presiden Joko Widodo dan bangsa Indonesia dalam mencapai target tersebut. ***

*) Prof. Atmonobudi Soebagio MSEE, Ph.D. adalah Guru Besar Teknik Daya Listrik pada Universitas Kristen Indonesia.

 

 

Artikel Terkait