Opini

Mencium Konspirasi Jahat di Balik Polemik Garuda Indonesia

Oleh : Rikard Djegadut - Rabu, 24/11/2021 21:19 WIB

Pengamat Kebijakan Publik, Bachrul Hakim (Foto: Ist)

Oleh Bachrul Hakim*)

Opini, INDONEWS.ID - Ada sebuah pepatah Melajoe lawas yang berbunyi “Kalau tidak berada-ada, masakan tempua (burung manyar) bersarang rendah?”. Pepatah ini saya pakai sebagai judul artikel ini, dengan “burung” Garuda (PT Garuda Indonesia) sebagai subyeknya.

Adapun pokok bahasannya adalah perilaku Garuda yang tidak biasa, yang berkali-kali ia lakukan, sebagai tanda bahwa ada rencana-rencana rahasia yang sedang disiapkan secara sembunyi-sembunyi.

Dari catatan yang ada pada penulis, pertama kali Garuda bersarang rendah dan berperilaku tidak biasa adalah pada tahun 1994.

Pertama ketika Garuda mohon ijin untuk beli 6 pesawat jarak-jauh Airbus A340. Alih-alih disetujui atau ditolak, Garuda malah “diarahkan” untuk membeli 9 pesawat jarak-menengah Airbus A330-300.

Kedua, ketika mesin pesawat juga diatur untuk tidak memakai mesin lain, selain Rolls Royce Trent-700.

Ketiga, ketika harga pesawat ditetapkan USD 241 juta per pesawat, padahal harga pasar diluaran, konon hanya USD 135 juta/unit. Pada 1997 Garuda merugi sebesar USD 1.6 miliar, setara Rp 23.2 triliun.

Di sini terlihat jelas, bagaimana tidak berdayanya Manajemen Garuda menghadapi intervensi pihak luar yang berlindung di balik “tangan-tangan” Penguasa.

Mereka bisa menyingkirkan pihak-pihak yang menghalang-halangi konspirasi jahat ini. Contohnya, pencopotan 2 Dirut pada 1992 dan 1995, dan 1 Dirtek pada 2007.

Dengan rapih, mereka melibatkan “perwakilan” Airbus Industrie dan Rolls Royce untuk menyusun “menu” produk yang akan disodorkan ke Garuda, melalui “tangan-tangan” Penguasa. Dalang dan pelaku konspirasi jahat ini tidak terungkap.

Pada tahun 2009, Garuda mengulangi perilaku tidak biasanya. Yakni ketika membeli 60 unit pesawat untuk rute internasional yaitu, 50 Airbus A330 dan 10 Boeing B777-300ER.

Untuk rute domestik, membeli 81 buah pesawat kecil yaitu, 50 Airbus A320 (buat Citilink), 18 Bombardier CRJ1000 dan 13 ATR 72-600. Mesin pesawat merek Rolls Royce Trent-700 dibeli (tanpa pesawatnya) sebanyak 120 buah.

Kedua, ketika harga di mark-up sedemikian rupa, sehingga Garuda merugi berkepanjangan sejak 2017.
Pada tahun 2020 kerugian Garuda sudah mencapai Rp 70 triliun, dan sampai dengan Semester 1/2021 bertambah lagi sebanyak Rp 13.5 triliun.

Fakta di balik kejadian ini adalah, bahwa pihak luar sudah berhasil berkolaborasi langsung dengan pihak Manajemen.

Mitra koalisi konspirasi jahat ini sudah ditambah dengan 2 “perwakilan” mitra baru dari Bombardier dan ATR.

Kasus suap yang melibatkan 2 mitra baru ini sudah diungkap oleh Serious Fraud Office (SFO), London, tapi belum ditindaklanjuti di Indonesia, seperti kasus Airbus dan Rolls Royce.

Modus operandi penjarahan akbar ini tetap sama, tapi magnitude nya bertambah menjadi lebih dari tiga kali lipat.

Perilaku tidak biasa jilid 3, dilakukan bersama-sama sejak 2017 yang lalu, baik oleh Manajemen Garuda maupun melalui “tangan-tangan” Penguasa.

Ada indikasi kuat, tujuannya adalah untuk mengamankan keberadaan pesawat-pesawat ex pengadaan 2009, yang seharusnya masuk dalam kategori kelebihan kapasitas, untuk kepentingan pihak luar.

Perilaku tidak biasa tersebut adalah pertama mendramatisasi penyebab utama permasalahan Garuda adalah pandemi Covid-19. Padahal dampak Covid 19 ini baru terasa sejak triwulan 2 tahun 2020, sementara kerugian sudah terjadi sejak 2017.

Kedua adalah melebih-lebihkan sikap seperti orang bijak dengan cara mengulang-ulang pernyataan untuk lebih baik fokus melihat ke masa depan, dan tak perlu mengutik-utik masa lalu. Padahal, di balik sikap ini ada agenda tersembunyi untuk menutup-nutupi konspirasi jahat yang pernah terjadi.

Ketiga adalah masalah kelebihan kapasitas, terutama pada pesawat jarak-jauh/berbadan-lebar membawa dampak pada pemborosan biaya operasi. Tingkat utilisasi rata-rata pesawat rendah, kurang dari 5 jam per hari.

Pengoperasian pesawat jarak-jauh/berbadan-lebar seperti A330-200/B777-300ER pada sektor Jakarta-Surabaya atau Jakarta-Denpasar akan berdampak pada pemborosan biaya handling, biaya bahan-bakar dan biaya perawatan pesawat.

Pesawat berbadan-lebar/jarak-jauh tidak boleh menerbangi rute jarak-dekat karena bukan “muhrim”nya. Mendongkrak tingkat utilisasi pesawat secara salah, berarti menerapkan prinsip the wrong aircraft on the wrong route.

Keempat, sejak 2017, jabatan Dirut Garuda diganti setiap tahun. Rumor yang beredar adalah bahwa pejabat Dirut tersebut diganti karena berani mengutik-utik masalah kelebihan kapasitas ini.

Selanjutnya, arahan Menteri BUMN Eric Thohir untuk fokus berbisnis di kawasan domestik, dijawab oleh Manajemen Garuda dengan mengurangi jumlah pesawat Boeing B737-800 sebanyak 17 buah. Padahal, kita tahu bahwa jenis pesawat ini adalah tulang punggung dari operasi penerbangan Garuda di sektor domestik.

Terakhir adalah mengenai program restrukturisasi hutang Garuda tidak meyakinkan, karena tidak dibarengi dengan program restrukturisasi operasional bisnis yang jelas. Dengan kinerja-usaha yang terus negatif sejak 2017, bagaimana dengan kemampuan Garuda untuk mencicil hutang-hutangnya nanti?

Perilaku tidak biasa yang dilakukan Garuda pada 1994 telah berujung pada kerugian sebesar USD 1.6 miliar. Kasus yang sama, yang terjadi pada tahun 2009 sudah merugikan Garuda lebih dari Rp100 triliun.

Lalu berapa kira-kira besar kerugian yang akan diderita Garuda akibat dari perilaku tidak biasa pada tahun 2017 ini? Sulit untuk menerka-nerka.

Apalagi kita tidak melihat adanya strategi dan kebijakan Manajemen sekarang yang memberi rasa optimis bagi masa depan Garuda.

Bayangkan, kalau besar kerugiannya nanti adalah seharga keberadaan dari flag carrier kita yang tercinta ini, bagaimana?

Jakarta, 24 November 2021

Bachrul Hakim, Penulis adalah pengamat kebijakan publik.

Opini ini sudah tayang di Independesi.com di bawah judul "Kalau Tidak Berada-ada, Masakan Garuda Bersarang Rendah?".

Artikel Terkait