Nasional

Perpindahan Ibu Kota Negara, Kepentingan Rakyat atau Sekadar Ambisi Pribadi

Oleh : very - Jum'at, 04/02/2022 22:11 WIB

Para pakar NU Khittah membuat kajian tentang rencana perpindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID --- Para pakar NU Khittah membuat kajian tentang rencana perpindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur.

Para pakar tersebut di antaranya KH Suyuti Thoha, KH Abdullah Munif, KH Aam Wahib Wahab, KH Gus Ishak Masuri (Lasem), KH Dimyati (Tulung Agung), KH Banyuwangi.

Ekonom senior Dr Rizal Ramli mengatakan sangat tergugah dengan sikap para pakar NU Khittah tersebut. Menurutnya, ternyata NU Khittah betul-betul memiliki kepekaan terhadap rakyat yang kecil dan sengsara.

“Saya sangat tergugah bahwa ternyata NU Khittah betul-betul dapat merasakan keresahan rakyat terhadap rencana pindah ibu kota ke Penajam, Kaltim,” ujar mantan Menko Perekonomian tersebut di Jakarta, Jumat (4/2).

Sebelumnya, Bang RR - sapaannya - melakukan presentasi tentang Ibu Kota Negara atas permintaan para kyai.

Dalam pertemuan pada tanggal 4 Februari 2022 yang mulai jam 7.30 dan baru selesai pukul 10 malam lebih tersebut hadir para Kyai, mantan perwira dari laut, udara dan pakar. Ada 23 kyai yang berbicara, masing-masing mendapat jatah bagian 10 menit.

Hasil pembicaraan mereka antara lain: pertama, Ibu Kota Jakarta adalah sebuah proses perjalanan sejarah panjang. Ini diawali oleh Fatahilah sebagai salah seorang dari Walisongo. 

Kedua, dalam presentasi juga dibahas tentang waktu penyusunan UU yang sangat cepat (hanya 42 hari), tanpa partisipasi publik yang memadai. Mereka mengeritik Bappenas terkait pembahasan UU tersebut.

Kemudian mereka juga menelaah setiap aspek mulai dari aspek sosial, kesejarahan, ekonomi, lingkungan, hingga politik.

Mantan Menko Kemaritiman itu mengatakan, perpindahan ibu kota berarti bisa menghilangkan hubungan sejarah dengan Jakarta, Kota Batavia yang dahulu direbut oleh Sunan Gunung Jati.

“Upaya pindah itu artinya menghilangkan hubungan sejarah dengan Jakarta, kota Batavia yang dulu direbut Sunan Gunung Jati. Pindah Ibu Kota itu memutuskan hubungan sejarah dan sosiologis dengan Wali Songo, dengan sejarah Jawa secara umum. Ibu kota pindah, ngolah -ngalih, wong bikin bingung tercabut dari sejarah bangsanya,” katanya.

Karena itu, mantan Kepala Bulog itu mempertanyakan maksud perpindahan Ibu Kota Negara tersebut benar-benar untuk rakyat atau hanya untuk memenangkan ambisi semata.

“Ibu kota baru untuk rakyat dan bangsa, atau hanya ambisi pribadi Jokowi? Akankan bermanfaat, fungsional atau hanya jadi monumen kagagalan? Bagaimana pembiayaannya? Jangan-jangan hanya bakal jadi Ibu Kota Baru ‘Vasal State’ ? Kok tega amat sih?,” ujarnya.

Aktivis Pergerakan ini mengatakan bahwa Kota Jakarta merupakan aset bangsa Indonesia yang sangat bernilai sangat tinggi bagi dan sudah jadi ‘Melting Pot’ , Kota Kesatuan dan Kebersamaan seluruh bangsa Indonesia.

Pemerintah RI Hutangnya sudah mencapai sekitar Rp.6.500 triliun dan pendapatan negara jauh lebih rendah dari belanja negara yg bisa berujung pada kesulitas likwiditas. Apalagi ditambah dengan perkiraan biaya tahap 1 ibu kota baru mendekati Rp 500 trilliun. Total bisa mencapai Rp 1500 trilliun.

“Karena tidak punya uang dan ‘koppig’ tetap ingin bangun Ibu Kota Baru, maka hal yang akan terjadi adalah bagaikan orang diberikan mandat mengelola rumah warisan dari hasil perjuangan tapi memilih  menjual rumah hasil perjuangan tersebut dan memilih mengontrak di rumah yang baru demi mewujudkan keinginan pribadi yang spekulatif. Anggaran tak cukup, proyek  Ibu Kota Baru sekedar cuma jadi beban negara,” pungkasnya. ***

 

Artikel Terkait