Nasional

ICJR: Hukuman Mati dalam Kekerasan Seksual Bukan Solusi Bagi Korban

Oleh : very - Senin, 04/04/2022 20:05 WIB

Perkosaan anak. (Ilustrasi)

Jakarta, INDONEWS.ID --- Pengadilan Tinggi (PT) Bandung menerima banding yang diajukan Jaksa dalam kasus HW, pelaku perkosaan terhadap 13 santri, dan menjatuhkan pidana mati sebagaimana dituntut oleh Penuntut Umum di tingkat pertama.

PT Bandung juga mengubah tanggung jawab kewajiban pembayaran restitusi terhadap korban kepada pelaku, setelah sebelumnya PN Bandung memberikan kewajiban tersebut kepada Pemerintah. Meskipun ICJR mengapresiasi putusan PT Bandung terkait dengan restitusi bagi korban, namun ICJR menyayangkan dijatuhkannya hukuman mati kepada pelaku.

“Putusan ini akan menjadi preseden buruk bagi proses pencarian keadilan korban kekerasan seksual, karena fokus Negara justru diberikan kepada pembalasan kepada pelaku, alih-alih korban yang seharusnya dibantu pemulihannya,” ujar Peneliti ICJR, Genoveva Alicia dalam siaran pers di Jakarta, Senin 4/4).

Hukuman mati terhadap pelaku kekerasan seksual, justru akan menggeser fokus negara kepada hal yang tidak lebih penting dari korban.

UN High Commissioner for Human Rights, Michelle Bachelet, menurut Genoveva juga mengamini hal ini. Bachelet menyampaikan bahwa meskipun pelaku perkosaan dan kekerasan seksual lain harus dimintai tanggung jawab, namun hukuman mati dan penyiksaan bukanlah solusinya.

“Tidak ada satupun bukti ilmiah yang menyebutkan bahwa pidana mati dapat menyebabkan efek jera, termasuk di dalam kasus perkosaan,” katanya.

Masalah dari kasus-kasus perkosaan yang terjadi di seluruh belahan dunia, menurut Bachelet, disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap keadilan korban, dan menerapkan pidana mati kepada pelaku, tidak akan menyelesaikan masalah ini.

“Pidana mati, diterapkan justru ketika negara gagal hadir untuk korban. Ini adalah bentuk ‘gimmick’ yang diberikan sebagai kompensasi karena negara gagal hadir dan melindungi korban, sebagaimana seharusnya dilakukan. Sebagai konsekuensi dari hal ini, negara kemudian mencoba ‘membuktikan diri’ untuk terlihat berpihak kepada korban, dengan menjatuhkan pidana-pidana yang ‘draconian’ seperti pidana mati,” ujarnya.

Hal ini, tentu saja bukan yang diharapkan terjadi di Indonesia. Negara, harusnya dapat hadir setiap waktu, bukan hanya pada waktu-waktu tertentu hanya untuk “mengambil hati” korban dan warga negaranya.

Genoveva mengatakan, pidana mati terhadap pelaku perkosaan telah ditentang oleh banyak kelompok perempuan di dunia, dan disebut sebagai solusi yang sekadar populis terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan. Penerapan pidana mati terhadap pelaku perkosaan ini juga dapat berdampak pada semakin menurunnya angka pelaporan, karena selama ini, korban kekerasan seksual didominasi oleh orang-orang terdekat korban.

Dengan adanya ancaman pidana mati terhadap pelaku, maka keengganan korban untuk melapor akan semakin tinggi, karena takut orang terdekatnya meskipun telah melukainya akan dihukum mati (Bansari Kamdar, 2021 dan Jahnavi Sen, 2021).

Tidak hanya itu, Kamdar dan Sen juga menyampaikan bahwa penerapan pidana mati dalam kasus perkosaan dapat meningkatkan angka pembunuhan terhadap korban juga dapat meningkat, karena untuk  untuk membungkam korban, pembunuhan justru akan menjadi opsi logis yang akan diambil pelaku.

Argumen-argumen ini, banyak digunakan oleh aktivis perempuan di India, the Maldives, Pakistan, Bangladesh, dan Nepal, merespon penggunaan pidana mati untuk kasus perkosaan.

Lebih lanjut, kata Genoveva, di dalam putusan ini, Hakim menyatakan bahwa restitusi dijatuhkan sebagai upaya memberikan efek jera kepada pelaku.

“Logika berfikir Hakim ini, serupa dengan bagaimana restitusi dikonstruksikan di dalam perundang-undangan di Indonesia, dibuktikan dengan masih dijatuhkannya pidana pengganti jika restitusi tidak dapat dibayarkan oleh pelaku. Padahal, restitusi seharusnya diposisikan di dalam diskursis hak korban, bukan penghukuman terhadap pelaku,” katanya.

Jika mengikuti logika berfikir ini, maka Hakim akan menghadapi pembatasan di dalam Pasal 67 KUHP, yang melarang penjatuhan pidana tambahan lain kepada Terdakwa yang dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup. Hal inilah yang di dalam putusan lalu menjadi masalah bagi Hakim di tingkat pertama, bahwa ketika hukuman yang maksimal sudah diberikan kepada pelaku, maka hukuman lain tidak dapat dijatuhkan.

Maka dari itu, untuk mengatasi kekacauan ini, seharusnya hukuman mati tidak boleh dijatuhkan di dalam kasus apapun, khususnya kekerasan seksual dimana korban membutuhkan restitusi untuk mendukung proses pemulihannya.

Genoveva mengatakan, ICJR memahami bahwa kasus ini menyulut kemarahan yang besar bagi publik. Namun demikian, kemarahan publik bukanlah hal yang seharusnya menjadi fokus utama di dalam proses pemberian keadilan bagi korban.

Fokus utama kita, tambah Genoveva, seharusnya diberikan kepada korban, dan bukan kepada pelaku, dan hal ini yang seharusnya menjadi perhatian aparat penegak hukum dan juga Hakim di dalam kasus-kasus kekerasan seksual.

“Pengadilan yang saat ini sudah memiliki pedoman mengadili perkara perempuan, juga harus mulai berpikir progresif dengan memikirkan kebutuhan korban dan tidak hanya terjebak pada kemarahan pribadi yang tidak akan menolong korban sama sekali,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait