Nasional

APDESI Dukung Jokowi 3 Periode, Prof Azymurnardi: Ini Manuver Politik, Jelas Langgar Undang-undang

Oleh : Rikard Djegadut - Sabtu, 09/04/2022 12:54 WIB

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Azymurnardi Azra, M,A (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Masyarakat Ilmu Pemerintahaan Indonesia (MIPI) turut merespon fenomena dukungan para kepala desa yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Desa (APDESI) mendukung perpanjangan masa jabatan presiden menjadi 3 periode.

Respon MIPI dituangkan dalam bentuk gelaran seminar bertajuk "Politisasi Desa dalam Perspektif Etika Pemerintahan" yang digelar secara online pada Sabtu (9/4/22). Kegiatan tersebut menghadir dua pakar yakni Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Azymurnardy Azra, M,A. dan Guru Besar Universitas Terbuka Prof. Dr. Hanif Nurcholis.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Azymurnardi Azra, M,A menegaskan dukungan yang disampaikan para kepala desa tersebut jelas merupakan upaya politisasi. Menurutnya, dukungan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi jelas melanggar undang-undang dasar 1945.

"Saya tegas mengatakan dukungan para Kades itu jelas politisasi. Politisasi dalam upaya perpanjangan masa jabatan presiden Jokowi apakah dua tahun, tiga tahun ataukah dengan amandemen UU konstitusi 1 periode lagi atau periode ketiga," kata Azyumardi.

Menurut Azyumardi, merujuk pada undang-undang yang ada yakni undang-undang mengenai desa No. 6 Tahun 2016 dengan tegas mengatakan tindakan para kepala desa itu jelas melanggar.

Dalam pasal 29 huruf c dan d dan j, jelas mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyebutkan bahwa para kepala desa dilarang ikut dalam kampanye pemilu dan pilkada.

"Apa yang dilakukan para APDESI ini, apakah abal-abal atau tidak, itu jelas kampanye dalam rangka tiga kali masa jabatan presiden ataupun perpanjangan masa jabatan presiden Jokowi," tegasnya.

Selain itu, undang-undang No.7 tahun 2017 mengenai pemilu juga menyebutkan bahwa baik pejabat pusat maupun pejabat desa, baik yang struktural maupun fungsional itu dilarang untuk terlibat dalam kegiatan kampanye atau keputusan-keputusan serta langkah-langkah yang berpihak pada kelompok, figur atau partai tertentu.

"Kebulatan tekad menyatakan Jokowi sebagai bapak pembangunan desa. Saya jelas mengatakan itu jelas melanggar ketentuan undang-undang seperti undang-undang No.7 tahun 2017 mengenai pemilu," urainya.

Selain itu, Prof Azymurnardi mengatakan dukungan para kepala desa yang tergabung dalam APDESI tersebut jelas melanggar vaksin politik, sekaligus etika politik.

Figur atau tokoh politik yang ada di balik manuver para kepala desa tersebut, kata Prof Azymurnardi, telah mencuri start dalam berkampanye.

Kendati ia mengakui sejumlah tokoh juga telah memasang baliho dengan alasan sosialisasi. Namun dia menilai, cara-cara seperti itu adalah bagian dari kampanye.

"Kedua, melanggar vaksin poltik termasuk juga etika politik. Bahwa itu sudah kampanye. Sudah mencuri start. Yang lain belum ada yang mencuri start. Memang ada yang sudah masang-masang baliho. Mereka boleh saja bilang itu bagian dari sosialisasi, tapi tetap saja itu merupakan bagian dari kampanye," tegasnya.

Prof Azymurnardi menjelaskan, apa yang dilakukan APDESI merupakan bentuk kampanye. Sehingga, hal itu tidak bisa dilihat sebagai aspirasi untuk menghargai jasa Jokowi dalam membangun desa.

"Jadi apa yang dilakukan oleh para kepala desa itu adalah bagian dari kampanye. Itu kegiatan politik, tidak bisa dikatakan hanya aspirasi menghargai jasa pak Jokowi dalam membangun desa," pungkasnya.

Prof Azymurnardi menegaskan bahwa dukungan APDESI merupakan rekayasa politik. Menurutnya, rekayasa politik ini akan terus berlanjut selama presiden Jokowi tidak secara tegas menolak untuk melakukan amandemen undang-undang dasar 1945.

"Ini jelas bagian dari rekaya politik. Menurut saya ini akan terus terjadi, walaupun presiden melarang menteri-menteri membicarakan perpanjangan masa jabatan presidien atau menunda pemilu," imbuhnya.

Sejauh ini, lanjutnya, presiden Jokowi tidak memerintahkan untuk menghentikan manuver politik. Apalagi Jokowi tidak dengan tegas mengatakan tidak bersedia menjabat tiga periode karena tidak sesuai dengan konstitusi.

"Jokowi juga tidak tegas menolak amandemen undang-undang dasar 1945 hanya untuk memperpanjang masa jabatannya yang kegita kali, kan tidak pernah. Jadi bagi saya ini adalah politisasi. Apalagi kalau melihat prosesnya ya. Bagaimana mereka dihubungi, bagaimana mereka datang ke Jakarta dan lain sebagainya," tegasnya.

lebih lanjut, Prof Azymurnardi juga menyoroti masa jabatan para kepala daerah yang akan segera berakhir. Menurutnya, hingga sejauh ini, pemerintah belum memberikan kejelasan terkait persyaratan siapa saja yang layak menjabat.

"Diharapkan janganlah tentara atau polisi. Kita juga menghimbau Gubernur, Bupati atau Walikota yang menjabat sekarang diperpanjang masa jabatannya sampai Pilkada 2024. Karena mereka itu dipilih oleh rakyat," tegasnya.

Prof Azymurnardi menjelaskan, jabatan Gubernur, Bupati atau Walikota yang dipegang merupakan daulat rakyat. Andaikata para kepala daerah itu diangkat oleh Presiden atau Mendagri, maka itu menjadi daulat rezim.

"Jadi itu mereka menjadi gubernur, wali kota atau bupati adalah daulat rakyat. Kalau diganti oleh presiden atau mendagri, itu menjadi daulat rezim yang sekarang ini: daulatnya Presiden dan Mendagri,"ungkapnya.

Dampaknya, kata Prof Azymurnardi, rakyat kehilangan kedaulatan, terutama di tingkat otonomi. Menurutnya, ini merupakan gejala resentralisasi. Padahal desentralisasi ini dulunya diperjuangkan dengan susah payah.

"Jadi dault rakyat hilang pada tingkat otonomi juga hilang. Ini gejala resentralisasi. Padahal dulu kita memperjuangkannya susah payah," bebernya.

Sehingga, tambahnya, siapapun nanti para kepala daerah yang diangkat baik oleh Presiden maupun Mendagri, akan menunjukkan bahwa rakyat kehilangan kedaulatan di tingkat otonomi.

"Siapapun nanti yang diangkat presiden jadi Gubernur atau Walikota, itu menandakan hilangnya daulat rakyat pada tingkat otonomi daerah. Siapapun yang diangkat, apalagi jika ia pro Jokowi, bisa kita bayangkan apa yang terjadi. Bahwa Akan terjadi politisasi Kada (kepala daerah," tutupnya.*(Rikard Djegadut).

Artikel Terkait