Bisnis

Gede Sandra: Inefisiensi Utang Rp 4.923 Triliun Terjadi Selama 7 Tahun Jokowi

Oleh : very - Selasa, 12/04/2022 17:06 WIB

Utang Negara. (Foto: Kumparan.com)

Jakarta, INDONEWS.ID --- Berdasarkan Statistik Utang Sektor Publik Indonesia tahun 2014, posisi utang pemerintah pusat (bruto) pada akhir tahun 2014 mencapai US$ 209 miliar atau dengan kurs saat itu menjadi sebesar Rp 2.599 triliun.

Kini, setelah lebih dari tujuh tahun, posisi utang sektor publik Indonesia hingga akhir Februari tahun 2022 berada pada posisi Rp 7.014 triliun. Atau meningkat 170 persen bila dibandingkan akhir 2014.

Analis Ekonomi Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR) Gede Sandra mengatakan, selama menjabat Presiden Joko Widodo telah menambah utang sektor publik sebanyak Rp 4.415 triliun. “Pertambahan di era ini jauh lebih besar daripada akumulasi utang seluruh Presiden Republik Indonesia sebelum Jokowi,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (12/4).

Namun jumlah ini, katanya, belum ditambah dengan utang BUMN. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2012, BUMN secara legal tidak dikategorikan sebagai sektor publik. Logika hukum seperti ini boleh saja diterima, tapi faktanya bila BUMN merugi selalu ditalangi oleh Pemerintah, dan utangnya tetap dibayari publik.

Ekonom dari Universitas Bung Karno ini mengatakan, pertambahan utang BUMN selama pemerintahan Jokowi juga terjadi secara cukup dramatis. Pada akhir tahun 2014,  posisi utang BUMN (non Lembaga keuangan) adalah sebesar US$ 40 miliar atau Rp 504 triliun.

Setelah delapan tahun, posisi utang BUMN pada awal tahun 2022 adalah Rp 1.012 triliun. Artinya terjadi peningkatan utang BUMN sebesar 100 persen bila dibandingkan posisi awal Jokowi menjabat.

“Bila dijumlahkan, pertambahan utang sektor publik dan BUMN selama Jokowi memerintah adalah sebesar Rp 4.923 triliun,” katanya.

Pertanyaannya, apakah dengan tambahan utang sebesar Rp 4.923 triliun ini apa yang sudah didapatkan oleh Bangsa dan Rakyat Indonesia?

Gede mengatakan, PDB perkapita Rakyat Indonesia hanya bertambah dari US$ 3.491 (Rp 41,8 juta) di tahun 2014 menjadi  US$ (Rp 62,2 juta), atau meningkat 41 persen. Yang artinya setiap tahunnya, PDB perkapita hanya tumbuh rata-rata 5,8 persen. Coba bandingkan dengan persentase peningkatan utang sektor publik yang mencapai 170 persen dalam tujuh tahun atau 25 persen pertahun, jelas tidak sebanding.

Terus bagaimana dengan angka kemiskinan? Gede mengatakan, pada akhir tahun 2014, angka kemiskinan adalah sebesar 27,7 juta jiwa (10,96 persen penduduk). Pada tahun 2021, angka kemiskinan mencapai sebesar 26,6 juta (9,7 persen penduduk).

“Selama tujuh tahun pemerintahannya, Jokowi hanya berhasil menurunkan kemiskinan sebanyak 1,1 juta orang. Sangat kecil, tidak ada artinya dengan banyaknya utang yang dibuat Jokowi,” ujarnya.

Terkait dengan angka pengangguran, katanya, pada akhir tahun 2014, angka pengangguran adalah sebesar 7,2 juta jiwa. Sementara pada akhir tahun 2021, angka pengangguran adalah sebesar 9,1 juta jiwa. Selama tujuh tahun pemerintahan Jokowi, pengangguran malah meningkat 1,9 juta jiwa!

“Artinya utang yang dibuat Pemerintahan Jokowi sama sekali tidak berdaya untuk menghadapi penambahan pengangguran yang terjadi selama pemerintahannya,” ujarnya. 

Gede menyimpulkan bahwa penambahan utang sebesar Rp 4.923 triliun selama pemerintahan Jokowi tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia.

“Pendapatan perkapita hanya naik 5,8 persen setahun, sementara utang bertumbuh 25 persen setahun. Kemiskinan hanya turun 1,1 juta jiwa, sementara pengangguran malah bertambah banyak 1,9 juta jiwa! Ini membuktikan terjadi inefisiensi yang sangat massif dalam pengelolaan utang pemerintah,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait