Opini

Rakyat Dogiyai Tolak Polres, Kapolri Evaluasi Polisi di Papua

Oleh : Mancik - Minggu, 29/05/2022 21:16 WIB

Aktivis dan Peminat HTN serta Koordinator Komunitas Papua Peduli Tatanegara Indonesia, Marthen Goo.(Foto:Ist)

Oleh : Marthen Goo

INDONEWS.ID - Rakyat di Kabupaten Dogiyai sudah mulai melakukan penolakan terhadap pembentukan Polres di Kabupaten Dogiyai dengan aksi ribuan orang sebanyak 8 Kali. Tentu penolakan punya alasan, baik soal rasa aman, tidak ada tanah kosong, bahkan dari dasar legalitas yang tidak terpenuhi. Jika Kepolisian di Papua hadir memberikan rasa nyaman, aman dan perlindungan, pasti rakyat senang ketika melihat Polisi, dan memiliki penilaian yang berbeda. Mestinya cara-cara itu yang dilakukan.

Publik mengetahui bahwa semangat Kapolri sekarang adalah mendorong polisi yang taat pada hak asasi manusia, walau faktanya begitu bias, apalagi di Papua. Biasanya penerapan semangat Kapolri tersebut bisa diakibatkan oleh kamampuan intelektual yang tidak seimbang dan tidak berkesesuaian atau dapat diduga bahwa ada inttruksi lain di luar dari semangat Kapolri. Tentu itu pertontonan yang buruk di publik.

Peristiwa ini membuat rakyat makin kian waktu tidak percaya dengan institusi. Mestinya kehadiran Institusi menarik hati rakyat, melindungi dan mengayomi. Tentu ini hanya soal bagimana kemampuan baik intelektual dan pemahaman terhadap tugas dan fungsi dalam mewujudnyatakan semangat konstitusi dalam tugas dan kewenangan dalam melaksanakan fungsi perlindungan dan pengayoman. Hari ini, pemahaman rakyat jauh lebih maju, sehingga jika cara lama masih dipakai, kritikan dan penolakan akan selalu dilakukan apalagi ketika institusi dengan terang menerang tidak melaksanakan semangat berkebangsaan dalam semangat hak asasi manusia.

Konteks Rasa Aman

Dalam perspektif hak asasi manusia, aktor dari pelaku kejahatan kemanusiaan selalu ‘State Actor’ atau aktor negara. Sehingga, dalam perjalanan Papua di dalam negara Indonesia, pelaku pelanggaran terhadap hak asasi manusia selalu memberikan traumatik yang panjang tanpa akhir, sehingga membuat rakyat Papua belum percaya dengan TNI dan Polri. Tentu hal itu juga yang dialami oleh rakyat di Dogiyai. Berbenah diri penting.

Negara yang mestinya memberikan rasa aman bagi warga negara, apalagi tujuan negara yaitu: (1) melindungi seluruh rakyat; (2) mensejahterakan rakyat, terhadap situasi di Papua tidak mencerminkan semangat tujuan nasional tersebut. Kekerasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia cukup tinggi, dan dimulai sejak pertama kali Tri-kora dikumandangkan oleh Soekarno, dan diikuti dengan pelanggaran HAM.

Mestinya kehadiran negara memberikan rasa aman. Bagi Papua, justru menjadi masalah tersendiri, karenanya LIPI menyebutkan dari empat akar masalah, salahsatunya adalah pelanggaran hak asasi manusia. Konstitusi yang dirumuskan begitu mulia, sayangnya tidak berlaku bagi Papua. Barang kali aspek rasisme harus dihapuskan agar semua orang sama di muka hukum dan hak asasi manusia.

Atas semangat tersebut dan semangat rasa aman, mestinya di Kabupaten Dogiyai, kehadiran Polisi memberikan rasa aman. Sayangnya, ketika beberapa kasus terbakar di Dogiyai, Polisi tidak pernah mengungkap penyebab. Bahkan pada tanggal 22 Mei 2022, ketika terjadi kasus terbakar di Dogiyai, mestinya Polisi mengedepankan proses penyelidikan untuk mencari penyebab. Tindakan penembakan di luar prosedur hukum ke-arah rumah warga dapat dilihat sebagai upaya memperkeruh persoalan baru, di luar dari semangat pengungkapan kebenaran. Sekali lagi, itu pertontonan yang buruk, tidak mencerminkan penegak hukum dan pengayoman, apalagi niat memberikan traomatik.

Tidak Ada Tanah Kosong di Dogiyai

Di Dogiyai tidak ada tanah kosong karena di Dogiyai dikenal dengan tanah adat. Dalam teori ketatanegaraan, ada konstitusi yang bersifat tertulis dan ada juga yang bersifat tidak tertulis. Hal itu juga yang selalu dijelaskan oleh berbagai pakar hukum di Indonesia, misalnya oleh Prof Jimmly maupun oleh Prof John Pieres. Artinya bahwa tanah adat harus dilihat sebagai tanah sakral dan tanah warisan yang dimiliki turun temurun sebelum lahirnya negara.

Apalagi, jika pembedahannya diikuti dengan aspek (1) Kemanusiaan (2) Kedaulatan rakyat; (3) Kebhinekaan; dan (4) Kebudayaan . Tentu hal ini yang bias dalam pengaturan di aturan turunan, sementara, semangat tersebut mestinya harus dilihat dalam semangat perekat dan trust. Dalam semangat dan pandangan tersebut, di Dogiyai tidak ada tanah kosong. Apalagi, di Dogiyai masuk tanah adat.

Pengertian tanah adat juga harus didalami secara seksama, dimana, tanah di Dogiyai dimiliki oleh marga-marga yang ada di Dogiyai, sehingga, tidak ada satu ruang sedikit pun. Dan Jika tanah itu dipaksakan dengan alasan yang tidak logis, maka, dapat disimpulkan adanya Menstrea (1) Memarjinalkan masyarakat adat; (2) Menghancurkan kebudayaan sebagai semangat kebhinekaan.

Kapolri Harus Evaluasi Polda Papua

Polisi itu mestinya mengajari bagimana berhukum yang baik, bagimana saling mengayomi dan melindungi, bagimana ketaatan pada hukum, bagimana menghormati hak asasi manusia, bagimana menghormati adat-istiadat sebagai kekayaan dalam kebhinekaan. Hal-hal yang bertentangan dengan sila-kedua harus dihindari. Polisi juga harus profesional dalam menjalankan tugas. Aspek ini hilang dan menjadi persoalan.

Bahkan ketika Kapolri memiliki semangat pendekatan kemanusiaan, mestinya setiap kepolisian di daerah menjalankan hal yang sama. Tentu, itu bukan soal semangat Kapolri misalnya sebatas Peraturan Kapolri tapi harus dilihat sebagai pijakan dasar dari Pancasila; Mukadimah UUD’45; dan Batang tubuh konstitusi. Aspek kamanusiaan harus juga dilihat sebagai hak dasar masyarakat adat untuk menjaga dan memelihara keanekaragaman kebudayaan sebagai kekayaan.

Terhadap peristiwa Dogiyai, terjadi banyak sekali kejanggalan, baik dari (1) tidak terungkapnya pelaku di beberapa persitiwa; (2) pada peristiwa terbakar pada 22 Mei 2022 tidak dilakukan penyelidikan namun terjadi beberapa peristiwa bias hukum, dan bahkan terjadi pembakaran di tempat yang lain lagi; (3) penggerakan pasukan dilakukan sementara ini dugaan kasus kriminal biasa yang diikuti dengan skenario pembakaran yang harus dilakukan penyelidikan untuk mengungkap motif.

Hal lain adalah adanya upaya mengekang DPR-D untuk tidak berpolitik praktis sementara DPR itu lembaga politik. Lembaga DPR selain fungsi legislasi, juga memiliki fungsi angket dan fungsi pengawasan. Sehingga, ketika rakyat menyampaikan aspirasi, DPR berwenang menyalurkan aspirasi rakyat sesuai kewenangan yang dimiliki oleh mereka. DPR juga diberikan imun dalam melaksanakan tugas mereka.

Dalam UU-MD3, Dalam pasal 373 soal kewajiban anggota DPRD Kabupaten/Kota, kewenangannya dijelaskan dalam uruf J adalah “menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat”. Sehingga, ketika DPRD melanjutkan aspirasi rakyat, itu sesuai dengan perintah UU yang harus diketahui oleh pihak-pihak yang mengekang. Tentu tindakan mengekang tersebut merupakan tindakan melanggar UU.

Atas dasar semua itu, Kapolri harus melakukan evalusai menyeluruh terhadap kepolisian di Papua, dan jika ada anggota yang melakukan pelanggaran hukum, harus diberikan sanksi tegas. Dan jika hal tersebut bêrtentangan dengan aturan perundang-undangan dan merusak citra kepolisian, harus diberikan sanksi berat hingga pemecatan. Dan jika Kapolda Papua melanggar hukum, harus diberikan teguran, sanksi bahkan pencopotan dari jabatan Kapolda untuk menjaga marwah kepolisian. Kapolres-Dogiyai harus dibekuhkan karena bertentangan dengan Perkap.

Kedepan, Kapolda dan turunannya di Papua harus mereka yang memiliki kamampuan dalam memahami hukum, memahami hak asasi manusia, dan memahami karakteristik kebudayaan setiap suku dari daerah-daerah masing-masing di Papua, sehingga, dapat mengayomi rakyat. Harus diberikan pendidikan khusus agar prinsip konstitusional menjadi praktek dalam penegakan hukum dan pengyoman.

*)Penulis adalah Aktivis dan Peminat HTN serta Koordinator Komunitas Papua Peduli Tatanegara Indonesia.

Artikel Terkait