Opini

Menyambut Diplomasi Jokowi ke G7, Ukraina dan Rusia

Oleh : luska - Sabtu, 25/06/2022 19:45 WIB

Penulis : PLE Priatna (Direktur Eksekutif Indonesia's Institute of Advances International Studies - Inadis)

Melewati hari ke-122, empat bulan lebih perang Rusia-Ukraina, di tengah kisruh dampak naiknya harga komoditi pangan dan terganggunya rantai pasok energi  ini --  langkah Presiden Jokowi memberi perhatian serius  pada upaya penyelesaian krisis Rusia-Ukraine -- dalam lawatan ke KTT G7 di Elmau, Jerman ini,  patut mendapat apresiasi dan acungan dua jempol.

RI bukan anggota G7, tapi justru Indonesia bisa turut berkontribusi melalui side event, KTT G7 Partner Countries, tidak hanya untuk urusan  rantai pasok pangan dan energi, tapi lebih dari itu, momen mengurai root causes (akar penyebab) krisis pangan, yaitu perang yang terus berlangsung, tanpa ada inisiatif konkrit untuk mendamaikan. Perdamaian adalah obat mujarab menghentikan dampak ekonomi yang buruk.

Dan untuk itu, Indonesia bisa mendesak Ukraina dan Rusia untuk segera mencari jalan tengah,  jalan diplomasi menuju perdamaian. Itu penting karena satu-satunya jalan menghentikan perang berikut ekses global yang tidak diharapkan ini.

Indonesia sebagai pihak ketiga, yang netral, memiliki modalitas untuk mengakurkan dan menemukan cara damai melalui jalur diplomasi. Mencari satu resep mujarab menahan dampak buruk, membangun stabilitas keamanan global ini, melalui pintu diplomasi dan mediasi.

Tidak mengejutkan dengan diterimanya pencalonan, status Ukraina sebagai kandidat anggota Uni Eropa, peta jalan perdamaian dengan Rusia akan semakin rumit. Ukraina akan semakin percaya diri menjadi kekuatan Eropa, yang tidak mudah menyerah dan bersedia berkonsesi sekalipun di meja perundingan.

Oleh sebab itu, di KTT G7 di Elmau ini, kementerian terkait harus jeli melihat peluang bahwa tuan rumah mengundang 4 negara Partner Countries, Afrika Selatan, Argentina, India, dan Senegal. 

Presiden RI Jokowi memiliki momentum besar untuk  menggalang pembicaraan tidak hanya dengan leaders negara G7, tapi juga kepala negara dari Afrika Selatan, Argentina, India dan Senegal itu.

Mengapa kehadiran trio Afrika Selatan, India dan Senegal menarik saat ini, dalam kaitan konflik Rusia-Ukraina ?

Tiga negara yang hadir di sela KTT G7 itu, Afrika Selatan, India dan Senegal adalah anggota gerakan non-blok, yang bersikap abstein di voting majelis umum PBB soal Ukraina. 

India bahkan anggota pakta pertahanan Quad ( AS, Australia, Jepang dan India). Senegal, ketua Uni Afrika (African Union).

Ada cerita menarik bahwa Presiden Zelensky mencoba 2 kali menghubungi Presiden Senegal, Mecky Sall, ia menolak untuk berbicara melalui panggilan telepon. Kemudian Senegal kembali tidak membolehkan Zelensky berpidato sebagai tamu di forum Uni Afrika.

Dalam konteks Ukraina, Afrika Selatan, India dan Senegal memiliki keyakinan sekaligus sikap yang mirip bahwa mereka selain menegaskan sikap netral, non blok, mereka ingin konflik Rusia-Ukraine ini segera diselesaikan melalui jalur diplomasi.  

Dari kuartet mini GNB ini, Indonesia bisa menjadi promotor perdamaian, menguliran pintu perundingan, jalan diplomasi dan dialog, baik melalui forum PBB ataupu modalitas yg lain.

Kuartet Indonesia, Afrika Selatan, India dan Senegal (mini non-blok) ini pun, bisa menjadi poros opsi peredam disrupsi rantai pasok energi sekaligus penggagas perdamaian ala gerakan non blok, untuk menyudahi konflik bersenjata Ukraina-Rusia ini. 

Dalam momentum pertemuan tingkat tinggi itu, kementerian terkait sudah sepatutnya memberikan saran yang matang dan kredibel bahwa pertemuan Presiden Jokowi dengan ke-3 negara itu, tentunya akan lebih mendesak, penting dan bermanfaat dibandingkan menghelat kunjungan ke Ukraina untuk menjumpai Zelensky.  

Pertama, kuartet mini GNB perlu secara bersama menyusun konsep peta jalan perdamaian, road map to peace, Rusia-Ukraina, dari perjanjian Mink 1 dan 2 hingga terobosan baru yang bisa dijalankan. Jangan biarkan konflik bersenjata Rusia-Ukraine berlangsung tanpa ada pihak yang mampu menghentikannya.

Kedua, situasi perang di tengah pertempuran di medan laga Ukraina tentunya sangat berbahaya bagi keamanan Presiden RI. 

Tidak ada pihak yang dapat menjamin keselamatan diri sepenuhnya, apalagi Rusia baru-baru ini, menegaskan akan membombardir pasokan senjata berat termasuk HIMARS dari AS masuk ke Ukraina.

Zelensky seharusnya menawarkan bertemu Presiden Jokowi di ibukota Jerman, atau di kota terdekat di Ukraina berbatasan dengan Polandia atau Jerman, kalau pun ia takut menemuinya di luar negeri. 

Presiden RI Jokowi saat ini terlalu sangat berharga untuk menginjakkan kaki di Kiev hanya bertemu Zelensky (yang akan berbaju kaos oblong), di tengah risiko keamanan yang sangat tinggi. Apalagi hanya sekedar memberi keprihatian kemanusiaan. Undangan untuk G20 sudah terkirimkan dan bahkan Zelensky menjawab tidak akan menghadiri KTT G20 Bali.

Dr Conny Rahakundini mengutip Dubes Ukraina di Jakarta, Vasyl Hamianin, mengatakan bahwa  Ukraina sesungguhnya hanya membutuhkan bantuan berupa pasokan senjata dari Indonesia. 

Artinya, apakah Ukraina tidak melihat kehadiran dan jasa baik (good offices) Presiden RI sebagai mediator baru yang terpercaya  untuk memfasilitasi dialog langsung Zelensky dengan Putin ?

Lembaga Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah gagal mencegah, tak berdaya di tingkat gagasan maupun operasional untuk menghentikan dan menawarkan peta perdamaian Rusia-Ukraina. 

Lalu apa yang terjadi. Hanya ada satu teori AS dan Barat yang dipaksakan saat ini. Perdamaian bagi Ukraina saat ini harus berarti kekalahan pihak Rusia. 

Diktum teori kemenangan berdasar instrumen bantuan uang, pasokan senjata yang tidak terputus, isolasi, blokade, dan menjatuhkan sanksi seluasnya pada Rusia, termasuk memburu harta oligarki Rusia dalam situasi perang, akan membuat Putin dan Rusia lemah dan ujungnya menyerah terkalahkan. 

Tujuan akhir adalah membuat Rusia kalah, Ukraina memenangkan peperangan. Dan kemenangan itu  dimaknai sebagai wujud "perdamaian" sejati yang diharapkan. 

Lingkaran setan konflik bersenjata terus dipelihara bahkan melibatkan hampir semua negara anggota NATO memasok senjata.

Ukraina naik daun dengan status kandidat anggota Uni Eropa, walau jalan masih panjang dan akan ada penolakan dari anggota lama UE. Pencalonan ini menjadikan pintu perdamaian akan semakin rumit. Lebih dari 4 bulan ini Putin dan Zelensky tidak berkomunikasi, hanya melalui juru runding masing-masing, dialog terlihat macet dan jalan di tempat.

Presiden RI terlalu berharga untuk mengunjungi Ukraine tanpa diikuti acara utama dialog segitiga perdamaian Zelensky dengan Putin. Dialog yang bisa menghadirkan pertemuan segitiga Jokowi, Zelensky dan Putin. 

Saya mengkhawatir bila kunjungan ke Ukraine, tanpa sebuah rancangan perdamaian yang matang dari kementerian terkait, Indonesia tidak memiliki leverage peran sebagai penengah atau juru damai. Bila dipaksakan pun, tidak ada pertemuan perdamaian segitiga itu di Ukraine. Selain hanya perjumpaan secara bilateral Jokowi - Zelensky.

Lalu, apakah selanjutnya hasil dari pertemuan itu dibawa ke Moscow dan disampaikan ke Putin ? Dalam konteks diplomasi RI, tentunya hal ini akan menyulitkan posisi kita selanjutnya. Indonesia bukan sekadar pembawa pesan, messenger tapi aktor honest broker yang benar bisa memfasilitasi pertemuan segitiga Jokowi-Putin dan Zelensky.

Oleh seban itu, sesungguhnya, tidak ada hal yang amat mendesak,  Presiden RI untuk mengunjungi medan perang kota di Ukraine, dengan resiko keamanan yang sangat berbahaya.

Kunjungan ke Ukraine. Lawatan pemimpin Asia pertama ini, menurut Menlu RI adalah untuk menunjukkan kepedulian terhadap isu kemanusiaan serta upaya lain menghadapi dampak ekonomi akibat perang. 

Dalam kaitan isu kemanusiaan yang terjadi di Ukraina, dapat kah kunjungan khusus ke Ukraine, tidak menyebabkan Indonesia, sebagai pendiri gerakan non blok (GNB) masuk dalam jebakan sikap standar ganda barat. Sikap berstandar ganda ala Barat ini bisa menjadi ancaman nyata bagi pelaksanaan politik luar negeri yang bebas aktif.

Coba lihat, situasi Gaza di Palestina, itu juga penderitaan kemanusiaan yang memilukan. Puluhan tahun digempur Israel, puluhan ribuan anak Palestina, menderita gangguan jiwa, gizi dan nutrisi buruk, kehilangan orang tua, dan putus sekolah. 

Tidak kah itu menjadi lebih utama dari apa yang terjadi di Ukraine. 

Mengapa Presiden Jokowi tidak disarankan melihat penderitaan Palestina di Gaza akibat gempuran Israel ?  Lalu, tidak kah kita menjadi turut terjebak permainan yang berstandar ganda ini. 

Tidak mungkin sebagai warga yang baik, kita hanya mendorong Presiden RI Jokowi mengunjungi Ukraine, tapi tidak menyarankan untuk mengunjungi saudara kita di Gaza, Palestina melalui pintu wilayah Mesir (Kairo). "Setiap helaan nafas kita, ada perjuangan Palestina", demikian tegas Menlu RI Retno Marsudi.

Indonesia saatnya memanfaat momentum emas ini, untuk tidak terjebak dalam dilema standar ganda Barat. Menganakemaskan Ukraina dan menomorduakan Palestina ataupun isu lainnya, sementara inisiatif perdamaian terbelah dalam teori kemenangan ala Barat dan jalan diplomasi ala non-blok yang jalan di tempat. 

Mari kita dorong bersama agar inisiatif mediasi diplomatik Presiden Jokowi  bagi perdamaian Rusia-Ukraina tercapai,  tanpa kita perlu terjebak menjadi berstandar ganda seperti yang dilakukan Barat.

 

TAGS : PLE Priatna

Artikel Terkait