Opini

Perlu Langkah Diplomatik Baru Demi Keberhasilan Misi Perdamaian Jokowi di KTT G20

Oleh : luska - Minggu, 17/07/2022 06:41 WIB

Oleh : PLE Priatna (mantan diplomat,  pemerhati masalah internasional)

Misi perdamaian Presiden RI ke Kiev dan Moscow, bila tidak ingin kehilangan momentum, sepatutnya segera ditindaklanjuti jajaran Kementerian Luar Negeri, guna melansir inisiatif diplomatik yang handal, agar KTT G20 benar bisa memberi hasil bagi perdamaian. 

"Kita sudah mulai dengan kunjungan ke Ukraina dan Rusia. Upaya misi damai ini akan terus kita lakukan dengan harapan membuahkan hasil di KTT G20 pada November mendatang di Bali," demikian sambutan Presiden RI Jokowi di Jakarta, 14 Juli 2022.

Setuju. Kita harus mengakhiri perang tidak di medan laga, tapi melalui meja perundingan, ujar Menlu RI di Bali. Penyataan itu bagus tapi jangan berhenti disitu, kita harus segera mewujudkan tahap demi tahap realisasinya.

Waktu hampir habis, tinggal 4 bulan, 120 hari lagi KTT G20, di Bali, 15-16 November 2022. Belum terlambat sepenuhnya, masih ada peluang, sekalipun berat, untuk bangkit menyusun siasat.

Tidak banyak waktu hingga KTT G20, agar tidak mati langkah -- saatnya berkomunikasi dengan para pemangku kepentingan di negara yang bertikai. Kita perlu serangkaian langkah diplomatik penguat, nutrisi yang bisa menjadi fondasinya.

Kunjungan Ketua BKSAP Fadli Zon, melalui Uni Parlemen Internasional (IPU) ke Kiev dan Moscow bertemu anggota DPR Ukraina dan Rusia itu, bisa menjadi modal bagi dialog jalur diplomasi trek kedua.

Mengapa diplomasi trek ke-2 ini relevan karena 4 bulan ke depan ini,  tidak ada lagi agenda khusus atau pun momen besar ala sidang darurat Menlu G20.  Kesempatan Indonesia bisa tampil secara tunggal menjadi mediator yang menghadirkan Menlu Ukraina dan Menlu Rusia berdialog di meja perundingan perdamaian. 

Coba kita menengok ke belakang, berita pertemuan Menlu G20 lalu didominasi acara seremonial di tengah kisruh aksi adu pernyataan delegasi Barat versus Rusia. 

Begitu juga, pada akhir sidang tidak menyisakan panduan baru, substansi hasil penting apalagi modalitas bagi langkah dialog Rusia-Ukraine. 

Fokus delegasi Menlu G20, dimotori AS dan Jerman, ujungnya berkutat menyelamatkan ekspor Ukraina  -- di tengah dalih ancaman krisis rantai pasok bahan pangan -- dan buntutnya justru mereduksi visi dan misi perdamaiannya.

Sementara selembar kesepakatan atau 2 halaman pernyataan pers bersama atau pun komunike hasil G20 tidak juga mampu dihasilkan dari balik persidangan itu. 

Hal itu bagi kita mencerminkan betapa sulit sidang para Menlu G20,  sehingga satu dua negara G20 bisa membelokkan dan menyeret suara perdamaian bukan menjadi prioritas kepentingan saat ini.

Oleh sebab itu kita harus berani menata diri bahwa pertemuan Menlu G20 telah gagal membuat lompatan dan terobosan ke depan. Dan terjebak membuka ruang baru, memindahkan kemelut Rusia dengan Ukraina ke pertemuan Bali. Dan hal yang sama, berulang saat para Menteri Keuangan G20 di Bali berlangsung Menkeu AS Janet Yellen menentang habis kehadiran Rusia.

Hal ini menjadi bukti gaung permusuhan Barat dengan Rusia justru semakin mengemuka, sementara upaya peredaan ketegangan dalam pertemuan tidak  bisa dilakukan. 

Peredaan ketegangan amat penting bagi langkah misi perdamaian. Tidak mengejutkan bila jamuan makan malam untuk membangun rasa saling percaya, membuka pembicaraan akrab guna mempertemukan delegasi Barat dengan Rusia, tidak juga terjadi, selain karena Menlu Rusia harus kembali lebih awal, suasana bathin sidang penuh dengan permusuhan.

Begitu juga bila sesi foto op, foto bersama, di luar ruang sidang -- yang biasa dijadwal di hari pertama selepas semua delegasi tiba -- ternyata tidak bisa dilakukan. 

Apa yang terjadi, tuan rumah disandera delegasi AS dan Barat yang mengancam memboikot dan menolak terdokumentasi berdiri berdampingan dengan Rusia. 

Disini Indonesia harus bekerja keras, sebagai pemegang mandat Presidensi G20 membuat terobosan, agar tidak kehilangan momen, mati langkah dan tidak ditelikung Barat. 

Dukungan kepada penyelenggara, tuan rumah presidensi G20 terus diberikan, namun sidang para Menlu G20 tampak lemah memaknai esensi perdam
Dukungan kepada penyelenggara, tuan rumah presidensi G20 terus diberikan, namun sidang para Menlu G20 tampak lemah memaknai esensi perdamaian yang diprakarsai Indonesia ini.

Mengapa kita harus memberi perhatian ekstra ? Sidang Menlu G20 jangankan menghasilkan pernyataan bersama ala pernyataan ketua -- yang mengupas butir langkah negara anggota mendukung dibukanya perundingan   damai -- sekadar foto op dan kesepakatan ala pernyataan pers bersama sebagai bukti ada langkah maju itu pun, tidak mampu ditorehkan.

Namun di tempat lain, tampaknya Presiden Turki, Erdogan mampu mencuri perhatian dengan menggagas pemulihan rantai pasok dan keamanan transportasi ekspor dikawasan dengan Rusia dan Ukraina, untuk mendirikan pusat koordinasi dan monitoring ekspor di kota Istanbul, Turki. Luar Biasa.

Indonesia juga bisa berkolaborasi dengan Presiden Erdogan Turki. Turki, selain anggota NATO berdasar Konvensi Montreaux adalah penguasa kunci untuk lalu lintas laut yang melewati Laut Hitam, Borporus dan Dardanela. 

Sementara kita juga memiliki celah mengkapitalisasikan rantai perbedaan kepentingan di Eropa, dengan Austria, Hungaria, Serbia, dan Swiss, misalnya, yang melarang senjata buatan Swiss dipasok ke Ukraina. PM Hungaria sangat menentang sanksi pada Rusia, yang justru menyulitkan Eropa. Celah kita mendekati dan menggunakan akses sikap negara tersebut guna menggoreng ide perdamaian.

Karena kita perlu segera menghidupkan kembali gaung perdamaian Rusia-Ukraina ini.

Sebagai ketua G20 diharapkan bisa menyelenggarakan Sidang Istimewa. Pertemuan darurat para Menlu G20 ala sidang istimewa para Menlu anggota OKI (Organisasi Kerjasama Islam). Pertemuan Mini Menlu G20 ala mini KTM yang menghadirkan utusan dari Kiev dan Moscow di bulan September atau awal Oktober menjelang KTT G20. 

Pertemuan ini penting agar misi perdamaian Presiden tidak mati langkah, kehilangan relevansi di tengah perang dan tak adanya pihak yang mau mendamaikan.

Kita tidak sendiri. Namun, kita belum secara maksimal memanfaatkan forum ASEAN untuk menggalang dukungan pada misi Jokowi ini, misal negara yang memiliki hubungan baik dengan Rusia atau yang bersikap abstein untuk mengecam dan menjatuhkan sanksi pada Rusia saat voting di Majelis Umum PBB. 
 
Kementerian Luar Negeri tidak asing mengandeng Perwakilan Tetap ASEAN di Jakarta, segera menjajagi ide perhelatan ala mini dialog Rusia-Ukraina. 

Dialog ala retreat yang menghadirkan Menlu ASEAN, anggota parlemen ASEAN, juru runding para pihak dari Kiev dan Moscow serta pemangku kepentingan terkait ini, -- tentu menjadi momen kreatif dengan bobot capaian diplomatik yang besar. Ruang pengaruh diplomatik RI tidak hanya di ASEAN tapi juga di tingkat global.

Jadi, dalam semangat Indonesia tampil beda, melalui forum ASEAN, kita bisa mengundang pertemuan tingkat Menlu ASEAN plus (Rusia dan Ukraina) dalam bentuk retreat guna tidak saja mempertemukan para juru runding kedua negara itu, bahkan membuka koridor perdamaiannya. Indonesia jangan menyerah sebelum melaksanakannya,  agar marwah misi perdamaian Presiden Jokowi untuk KTT G20 tetap relevan.

Hal serupa pernah dilakukan Presiden Erdogan melalui Diplomasi Antalya berhasil mempertemukan para juru runding Rusia-Ukraina. 

Empat bulan menjelang KTT G20, kita menghadapi tantangan berat. Misi perdamaian Jokowi dalam KTT G20 akan membuahkan hasil, sepanjang modalitas dan momen tersebut benar bisa kita laksanakan. Bismillah ************

 


.

TAGS : PLE Priatna

Artikel Terkait