Bisnis

Didik J Rachbini Ungkap 5 Masalah Ketahanan Ekonomi Indonesia di Tengah Ancaman Krisis

Oleh : very - Selasa, 19/07/2022 13:25 WIB

Didik J Rachbini, Rektor Universitas Paramadina dan ekonom senioar INDEF. (Foto:Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Baru-baru ini publik dikejutkan dengan kasus antri makanan di negara adidaya Amerika Serikat. Nampaknya krisis pandemi covid-19 terus berlanjut bahkan setelah covid-19 berakhir menjadi endemi. Sebelumnya, dua negara mengalami krisis ekonomi dan politik, yakni Pakistan dan Sri Lanka.

Pertanyaannya, apakah ada ancaman krisis ekonomi di Indonesia dalam satu atau dua tahun ke depan?

Rektor Universitas Paramadina yang juga seorang ekonom, Prof Dr Didik J Rachbini mengatakan pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Namun bisa dikaji dari indikasi-indikasinya.  

Setidaknya, katanya, ada 5 indikasi masalah yang terus berkelindan dalam ekonomi Indonesia.

“Pertama, krisis covid 19 dan dampaknya yang ternyata tidak berhenti setelah krisis berhenti. Dampaknya terus ada setelah covid-19-nya berhenti,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (19/7).

Didik mengatakan, berbeda dengan krisis ekonomi yang berhenti ketika inflasi telah reda, masalah supplai selesai, dan perbankan sudah bisa memberikan kredit lagi.

Namun krisis Indonesia saat ini bersifat multi dimensi, yaitu setidaknya dimensi kesehatan dan ekonomi. “Jadi, berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya. Maka seharusnya pemerintah tidak boleh abai terhadap dampak dari krisis covid ini,” katanya.

Dia mengatakan rumitnya krisis covid ini justru dimulai dari kebijakan yang tidak memadai, bahkan tidak karuan karena response kebijakan salah kaprah di awal krisis covid-19 pada tahun 2020.  

Kedua, katanya, yaitu kesinambungan pertumbuhan ekonomi.  Sebelumnya Presiden Jokowi berjanji untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi menjadi 7 persen. Namun, janji tersebut dilupakana saja karena mustahil terwujud.

Didik mengatakan, untuk mempertahankan pertumbuhana ekonomi sebesar 5 persen seperti sekarang masih menjadi tanda tanya karena pengaruh krisis global yang sudah memakan korban seperti terhadap Sri Lanka dan Pakitan.  

Dalam dua periode pemerintahan ini, katanya, kita tidak usah berharap ekonomio tumbuh 7 persen seperti janji kampanye. “Dalam keadaan tidak krisis saja 2014-2019 pertumbuhan ekonomi nyatanya tidak seperti yang dijanjikan, apalagi ketika terjadi krisis,” katanya.

Dia mengatakan, dengan pertumbuhan ekonomi hampir satu dekade seperti saat ini, maka harapan bangsa Indonesia untuk melakukan lompatan menjadi negara industri menjadi sulit dan bahkan tidak akan terwujud.

Pemerintah, kata Didik, menyia-nyiakan momentum historis  bonus demografi, yang hanya datang sekali dalam sejarah-bangsa-bangsa. Indonesia di tangan regim seperti ini akan menjadi negara yang lembek dan sakit. Pendapatgan per kapita cuma naik turun di sekitar 4 ribu US dollar. Sementara, Korea Selatan yang setara pada tahun1970-an awal sudah terbang dengan pendapatan per kapita 33 ribu US dollar dan Malaysia 12 ribu dollara per kapita. 

“Indonesia yang sakit sangat sulit melompat dari negara berpendapatan menengah menjadi negara berpendapatan tinggi melewati batas 10 ribu  US dollar per kapita. Di dalam pemerintahan sekarang ini, ekonomi mandeg di sini, sudah hampir 10 tahun ini pendapatan per kapita kita hanya 4 ribu  US dollar karena kepemimpinan dan kebijakan kita tidak memadai dan lemah.  Bonus demografi hilang, dimana stagnasi pendapatan menengah bawah akan menyimpan masalah besar, posti kemiskinan penduduk akan cukup besar. Hal itu akan menjadi masalah dalam stabilitas sosial,” katnya.

Masalah ketiga adalah krisis harga pangan dan energi. Di Amerika saat ini inflasi mulai tinggi dan sudah mulai ada antrian makanan. Makanan cukup, tetapi harganya tidak lagi terjangkau. Dalam ekonomi itu diartikan kondisi mulai sedikit chaos. Mengapa hal itu tidak atau belum terjadi di Indonesia?  

Menurut Didik, pemerintah Indonesia menyiram subsidi besar-besaran dan mencegat semua kemungkinan inflasi dengan mengorbankan apa saja sumber daya, menguras APBN, dan berutang besar.

“Cara kebijakan yang sembrono seperti ini berbahaya dan akan menjadi bom waktu di masa mendatang.  Bebannya akan ditimpakan  pada presiden yang akan datang. Presiden mendatang akan mendapat beban yang sangat berat dari warisan sekarang,” katanya.

Subsidi pemerintah saat ini sudah mencapai lebih dari Rp500 triliun. Suatu jumlah yang sangat besar dan berat. Hal itu sama dengan anggaran Presiden SBY dulu yang mencapai Rp 500 triliun untuk semua kabupaten dan provinsi, dan digunakan untuk bermacam-macam bidang pertahanan, keamanan, pendidikan, perikanan dan lain-lain. Jadi presiden saat ini mengambil langkah-langkah subsidi yang sangat besar dalam rangka mencari aman, tetapi akan membebani presiden berikutnya.

Keempat, ada utang yang sangat besar dan defisit dalam setahun yang mencapai Rp1,000 triliun. Utang satu tahun sebesar Rp1,500 triliun, yang berarti hal itu lebih besar dari pendapatan pajak dari seluruh rakyat Indonesia. Hal ini terjadi, kata Didik, karena tidak ada check and balance. Parlemen juga sebanyak 82 persen dikuasai partai pendukung pemerintah. Jadi, mereka tidak berani melakukan kontrol.

Justu pada masa krisis seperti sekarang, Pemda-pemda, Bupati dan seterusnya berfoya-foya hampir dua kali lebih besar dari masa sebelum krisis. “Itu bisa dihitung dari angka di kementerian berapa kali perjalanan dinas, dalam dan luar negeri, yang ternyata lebih banyak. Alasannya agar ekonomi bergerak, tetapi tentu saja bukan seperti itu caranya,” ungkapnya.

Pada saat krisis, menurut Didik, semestinya anggaran lebih dikendalikan. Ketika krisis, orang seharusnya menghemat. Bisa jadi ada pemotongan anggaran. Potongan itulah yang dimasukkan dalam anggaran PEN. Tetapi sekarang yang terjadi dipotong pun tidak, tetapi anggaran PEN sudah mencapai Rp700 triliun.

 

Kapasitas Kebijakan Pemerintah

Masalah kelima, kata Didik, yaitu adanya kesenjangan sosial. Pertanyaannya, apakah Indonesia akan mengalami nasib seperti Sri Lanka dan Pakistan? Didik mengatakan, dari segi ekonomi pasti Indonesia berbeda dengan kedua negara tersebut. Indonesia memiliki PDB sebesar 1 triliun US dollar, sementara Sri Lanka hanya memiliki PDB 80 miliar USD. “Jadi Indonesia is large economy, Sri Lanka small economy. Pada saat Indonesia krisis, Sri Lanka tidak alami krisis. Tidak ada hubungan langsung antara Sri Lanka dan Indonesia,” ujarnya.

Didik mengatakan, Indonesia dengan Sri Lanka jelas berbeda. Tetapi potensi resesi krisis dan resesi Indonesia memang ada. Dengan catatan jika stabilitas politik lebih berat. “Jika harga-harga terus naik, maka rakyat akan protes keras. Jadi, Sri Lanka dan Indonesia tidak sama, dan tidak bisa ditarik-tarik Indonesia akan mengalami krisis seperti Sri Lanka. Hanya, melihat krisis global sekarang dan Indonesia punya masalah berat seperti sekarang, maka potensi krisis pasti ada. Potensi akan semakin besar jika stabilitas politik tidak memadai. Segala kebijakan hendaknya tetap care terhadap krisis, kebijakan pembangunan IKN adalah contoh kebijakan yang tidak care terhadap krisis,” katanya.

Keenam adalah masalah kapasitas kebijakan pemerintah tidak memadai dan banyak sekali salah kaprah. Hal ini, kata Didik, merupakan masalah kepemimpinan ekonomi yang absen, yang bisa dilihat dan dari akibat buruknya kebijakan yang dihasilkan. Tidak ada lagi menteri yang punya kepemimpinan teknokratis, semua menjadi politisi rabun dekat, sehingga memperlemah kebijakan yang dihasilkan dalam kepemimpinan masalah ekonomi.

“Dulu masih bisa berharap kepada Menteri Keuangan, tetapi tidak lagi sekarang. Oleh karenanya kita ragu dalam masalah ekonomi akan bisa diselesaikan sehingga kita lepas dari krisis atau resesi di masa mendatang,” pungkasnya. ***

 

Artikel Terkait