Opini

Gerak Genit Aurora Keikhlasan

Oleh : luska - Sabtu, 06/08/2022 16:53 WIB

Bisik Hati Di Akhir Pekan

by : Noryamin Aini
(Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)

Jagalah hati, jangan kau kotori
Jagalah hati, lentera hidup ini
Jagalah hati, jangan kau nodai
Jagalah hati, cahaya Ilahi

Demikian bunyi bagian awal dan ref dari bait puisi sufistik dan religi tentang hati. Ia adalah getar qalbu; inti kesadaran diri. Suasana qalbu adalah bingkai (frame) dan wadah (basket) ketenangan hati. 

Baca juga : UJI MIND-SET

Dalam kamus psikologi, qalbu yang tenang akan merekah, mekar penuh pesona. Realitasnya memikat dan membahagiakan jati hati yang mengalami. Ia membuat pemujanya merasa menyaman berlama-lama menikmati tampilan keindahan yang memancar dari ketenangan qalbu.

Sahabat!
Saat qalbu kita tenang, semua hal menjadi indah. Semuanya membahagiakan. Semuanya menjadi energi dan mesin kebaikan. Cobaan dirasakan menjadi media dan tangga naik untuk meraih kualitas kesempurnaan martabat kemuliaan. Keberuntungan menjadi rasa syukur karena ia bisa berbagi lebih banyak kepada orang lain. 

Saat dikritik, ia bersyukur ada jiwa di seberang yang mengingatkan. Ia mengerti ada sisi dan hal lain yang tidak sesuai dengan penilaian orang. Saat dicampakkan karena hasad atau kedengkian, ia memaknainya sebagai tes kesabaran. 

Saat kehilangan, ia merasa berkesempatan untuk mengerti makna mendapatkan. Saat ada yang kurang atau berkurang, ia sadar bahwa semua kekurangan itu bermuara dari libido keinginan, keserakahan, untuk mendapatkan dan memiliki jumlah lebih, walaupun ia tidak dibutuhkan. Ia akhirnya sadar bahwa memanjakan daftar keinginan membuatnya lelah memperjuangkan obsesi tanpa ujung kepuasan.

Saat disayangi, ia mengerti makna indah dan lembut kasih kayang. Saat dicintai, ia malu dan merasa berdosa membiarkan cinta kekasih berubah menjadi petaka dan kesedihan. Saat dipercaya dan diberi amanat, ia mengerti makna terdalam dari penghargaan.

Saat dibenci, ia mengerti bahwa ia tidak mampu memaksa semua orang menyukainya. Ia akhirnya belajar berdamai dengan keadaan. Saat terusik rindu, ia mengerti greget perhatian dan sapaan. 

Saat kenyataan tidak sesuai harapan, ia mengerti bahwa ia bukan siapa-siapa. Ia bukan pangeran, bukan juga putera mahkota yang setiap rengekannya dimanjakan. Ia bukan penguasa otoriter dan dzolim yang bengis merampas hak dan kenikmatan orang.

Saat terjatuh, ia mengerti makna rangkulan dan tarikan tangan-qalbu yang menyelamatkan. Saat sakit, ia mengerti makna sehat. Saat dihibur dalam suasana berduka, ia mengerti sentuhan empati kepedulian. 

Saat sendiri karena dikucilkan, ia mengerti makna kebersamaan. Saat disapa, ia mengerti gelora kehangatan sosial. Saat dilibatkan dalam kegiatan kolektif, ia merasa dihargai.

Sahabat!
Dalam bingkai dan wadah qalbu yang tenang, nuansa hidup seperti pelangi yang menggoda pandangan. Dinamikanya seperti gerak "genit" aurora yang meliuk-liuk mempesona sorot tajam, tanpa kedip kenikmatan. 

Subhanallah. Ada decak kagum yang membuat qalbu terus bersyukur dalam setiap momentum dan keadaan. Tidak ada kebencian. Juga tidak ada kejengkelan. Tidak ada kegalauan. Kamu dan dia adalah aku dalam wujud lain. Dukamu dan duka mereka adalah kesedihanku yang tidak akan kubiarkan. 

Saat terhenti di batas awal capaian, tidak ada penyesalan dan kekecewaan. Tidak ada "kambing hitam" yang ingin ditumbalkan. Saat terpuruk gagal, jiwanya merasa seperti daun yang jatuh tanpa menyalahkan angin yang merontokkan dari tangkai. Semuanya mengajarkan hikmah dan pelajaran. Inilah jalan hidup; takdir ilahi.

Sahabat!
Sumber ketidak-tenangan qalbu, sumber ketidak-bahagiaan, kesedihan dan kegelisahan, adalah jiwa dan rasa kehilangan. Perasaan kehilangan ini bersumber dari rasa memiliki, yaitu perasaan jumawa yang selalu mengedepankan egoisme (semua karena aku dan prestasiku). 

Padahal, dalam setiap kesuksesan kita selalu ada kebaikan orang lain yang sering tidak kita sadari dan tidak kita hargai. Kisah suksesku adalah irisan kebaikan orang lain.

Coba kilas balik sekian banyak pengalaman kita bersedih! Lalu, cermati simpul dan pemicu utama rasa kehilangan dan kesedihan itu! 

Astaghfirullah. Hulunya adalah rasa keakuan. Ia adalah letupan emosi superioritas diri. Emosi dan psikologi keakuan ini adalah sumber, fuel, energi dan mesin ketidak-tenangan.

Hati yang dikuasai emosi keakuan sulit menyuarakan keikhlasan. Dalam jiwa keakuan, semua yang berada di luar "aku" dirasa sebagai ancaman yang akan merampas dan mereduksi luas horizon keakuan. Ia sumber dan mesin psikologi kehilangan. 

Coba cermati dan rasakan getaran beberapa pernyataan ini! Ia adalah refleksi yang keluar dari emosi keakuan. Berbagi dengan sesama dirasa sebagai aksi mengurangi apa yang dimiliki. Memuji dirasa sebagai opsi merendahkan diri di bawah prestasi orang lain. Membantu dirasakan sebagai aksi menghentikan diri untuk lebih berprestasi. Menyayangi dirasakan sebagai usaha mengurangi rasa bahagia sendiri. Memaafkan dirasa sebagai pengakuan diri bersalah. 

Emosi egoisme (keakuan), sejatinya, menciptakan jiwa obsesif. Ia adalah rasa memiliki, spirit menguasai yang tidak mudah mampu membuka relung batin keikhlasan untuk hajat orang lain. Padahal, keikhlasan adalah nutrisi ketenangan qalbu. 

Kenapa? Karena keikhlasan membuat kita tidak merasa kehilangan. Ia tidak menghadirkan kesadaran bahwa orang lain adalah sumber kesedihan dan kegagalan. Semuanya karena takdir Allah yang tidak kuasa kita tolak. 

Ridlo dan ikhlas menerima takdir Tuhan adalah puncak dari tetes awal aliran ketenangan qalbu. Dalam qalbu yang ikhlas, semua wujud dunia adalah titipan Allah. Semua glamour dunia bukan milikku; bukan milikmu. Semuanya adalah titipan. 

Apakah masih tersisa rasa tidak ikhlas saat menghadirkan getaran di qalbu kita untuk merasa ketenangan? Bahagia itu pilihan. Aku memilih bahagia dalam ketenangan qalbu.

#Aku_belajar_ikhlas_untuk_merasakan_ketenangan_qalbu
Pamulang, 6 Agustus 2022

TAGS : Noryamin Aini

Artikel Terkait