Opini

Di Balik Konservasi Taman Nasional Komodo

Oleh : Mancik - Senin, 15/08/2022 12:27 WIB

Ewaldus Bole.(Foto:Istimewa)

Oleh: Ewaldus Bole

INDONEWS.ID - Kebijakan pembatasan jumlah pengunjung dan digitalisasi di Taman Nasional Komodo (TNK) yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Pemerintah Provinsi NTT menuai penolakan berbagai kalangan masyarakat. Penolakan terhadap kebijakan tersbut muncul karena tidak melibatkan elemen masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan dan tidak adanya sosialisasi, sehingga menimbulkan banyak pertanyaan di masyarakat.
Konservasi sebaagai alasan utama

Ide konservasi keanekaragaman hayati di TNK tentu harus didukung untuk menjaga kelestarian biawak Komodo. Ide pelestarian satwa biawak Komodo dilaksanakan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Peter A. Ouwens, Direktur Museum Zoologi Bogor pada tahun 1911-1912 (P3EBNT, 2018). Dimana, Upaya pemeliharaan dan perlindungan satwa Komodo kemudian dikedepankan pada tahun 1912 ketika wilayah pulau Komodo masih berada di bawah Kerajaan Bima. Kebijakan ini didukung oleh Netherlands Indies Society for the Protection of Nature (Ping, 2006).

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 menyebutkan bahwa taman nasional sebagai salah satu bentuk pelestarian keanekaragaman hayati dapat dimanfaatkan untuk penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budaya, pariwisata dan rekreasi. Menanggapi hal tersebut, salah satu upaya untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati di TNK adalah dengan melakukan pembatasan pengunjung berdardasarkan daya dukung dan daya tampung di TNK.

Berdasarakan kajian daya dukung dan daya tampung yang dilakukan oleh DITJEN KSDAE KLHK melalui Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) jumlah pengunjung ideal per tahun ke pulau Komodo adalah 219.000 wisatawan dengan pengunjung maksimal 292.000 orang. Oleh karena itu, perlu dilakuakan pengaturan kuota pengunjung dengan sistem pembatasan pengunjung. Tujuannya adalah untuk meminimalisir dampak negative kegiatan wisata terhadap kelestarian populasi biawak Komodo dan satwa liar lainnya, mempertahankan kelestarian ekosistem di pulau Komodo dan pulau padar khususnya, serta untuk mejaga kenyamanan pengunjung dan petugas selama beraktivitas di Taman Nasional Komodo.

Realita dibalik Konservasi

Upaya pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI) untuk melaksanakan agenda konservasi di TNK merupakan jawaban atas adanya krisis ekologi yang tentunya sangat mengancam eksistensi dan keberadaan biawak Komodo. Akan tetapi, dalam tataran praktiknya, pelaksanaan konservasi di yang dilaksanakan di TNK tidak bisa lepas dari berbagai dampak sosial seperti alienasi masyarakat konflik kepentingan dan kemiskinan (Muthohharoh dkk, 2021). praktik konservasi telah menimbulkan masalah seperti keterasingan masyarakat (Cinner & Aswani, 2007), konflik dengan masyarakat (Carranza et al., 2020; Hauzer, Dearden, & Murray, 2013), dan menimbulkan kemiskinan baru di masyarakat. (Adams, 2004),

Di sisi lain, dalam pengelolaan dan pelaksanaan konservasi, terdapat relasi politik antara manusia dengan alam, salah satunya terkait dengan hak dan akses terhadap sumber daya (Adams & Hutton, 2007). Ribot & Peluso (2003) menyebutkan bahwa konsep akses melekat pada kekuasaan. Ketidakseimbangan kekuatan dalam memanfaatkan sumber daya atau ruang sering terjadi (Bryan & Bailey, 1997), dan berpotensi menimbulkan eksklusi terhadap pihak atau kekuasaan yang lebih lemah (Hall, Hirsch, & Li, 2011).

Pada 2021, Jurnal sosiologi pedesaan Solidality menyampaikan hasil risetnya tetang Contestation of Spatial Utilization in Komodo National Park: Access and Exclusion Perspectives. Hasil penelitian menunjukan bahwa Pertama, pengelolaan konservasi di Taman Nasional Komodo terjadi pergeseran dari perspektif berbasis ekologi (EBC) menjadi konservasi berbasis pasar (MBC) mengakibatkan adanya perubahan aktor. Kedua, sebagai implikasinya, muncul sekumpulan kekuatan baru dengan aktor yang berbeda di setiap jenis periode konservasi. Selama periode EBC, ketidakseimbangan kekuatan terjadi antara masyarakat lokal di satu sisi dengan kantor TNK dan LSM konservasi di sisi lain. Ketiga, Aspek yuridis menjadi sumber kekuasaan yang terakhir. Sementara pada periode MBC, sumber kekuasaan berupa pasar dan yuridis. Ketiga, baik pada periode EBC maupun MBC, terdapat kekuatan yang mengakibatkan eksklusi terhadap masyarakat lokal.

Aktor dan Kepentingan di TNK

Perubahan Orientasi pengelolaan TNK dari EBC menjadi MBC mengakibatkan adanya perubahan actor dalam pemanfaatan ruang di TNK sebagai efek domino dari perubahan actor dan kepentingan. Selama orientasi pengelolaan konservasi TNK untuk menjaga kelestarian lingkungan dan satwa liar Komodo (periode EBC), maka actor strategis yang berperan penting dalam pengelolaannya adalah KLHK, LSM, sector swasta pariwisata dan masyarakat local.

Akan tetapi, orientasi pengelolaan konservasi di TNK sudah bergeser ke konservasi perbasis pasar (MBC). Selama periode MBC, relasi kuasa (actor) dan kepentingan dalam memanfaatkan ruang TNK menjadi kompleks. Dimana, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bertugas untuk menjalankan fungsinya untuk menjaga kelestarian lingkungan yang secara teknis dijalankan oleh Balai Taman Nasional Komodo (BTNK). Sedangkan, yang menjadi pengguna adalah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang secara teknis akan dijalankan oleh Badan Pelaksana Otoritas Labuan Bajo Flores (BPOLBF) dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Di sisi lain, masyarakat merupakan subjek yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap sumber daya alam di kawasan TNK untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara historis, masyarakat telah mengalami beberapa kali perubahan mata pencaharian sebagai bentuk adaptasi terhadap pola pemukiman, karakteristik ekologi, dan dampak dari kebijakan pengelolaan kawasan TNK. Pada masa MBC, orang-orang ini mendapat ancaman eksklusif dari gagasan penutupan dan relokasi masyarakat Pulau Komodo yang dikemukakan Gubernur NTT.

Aktor Pemodal

Mekanisme akses yang dilakukan selama pelaksanaan MBC yaitu teknologi dan Modal. Dalam konteks modal, pengelolaan Kawasan TNK diberikan kepada dua (2) perusahaan, PT. Komodo Wildlife Ecotourism dengan SK Kemenhut no. 796/Menhut/11/2013, tanggal 9 September 2013 (Pulau Padar dan Loh Liang Pulau Komodo) dan PT. Segara Komodo Lestari dengan SK Kemenhut no 5.557/Menhut/11/2013 tanggal 9 September 2013 (Loh Buaya di Pulau Rinca). Kedua perusahaan ini adalah milik David Makes yang juga adalah ketua Tim Percepatan Ekowisata Nasional, yang mana memiliki sejumlah usaha bisnis yang beroperasi di hampir semua taman nasional di Indonesia.

Pada tahun 2014 PT. Komodo Wildlife Ecotourism mendapatkan IUPSWA di pulau Komodo dan pulau padar pada bulan September 2014 seluas 426,07 Ha yang terdiri atas : 274,13 Ha di pulau padar (19,6 4 dari luas pulau padar), 151,94 Ha di pulau Komodo (0,5 & dari luas pulau Komodo). Sarana dan prasarana yang dapat dibangun seluas 42,6 Ha. Pada tahun tahun 2015, PT. Segara Komodo Lestari mendapat IUPSWA di pulau Rinca seluas 22,1 Ha (O,15 dari luas pulau rinca) dan ijin untuk membangun Sarana dan prasarana maximal 109 dari luas ijin yang diberikan yaitu 2,21 Ha. Selain Dua Perusahan ini ada juga PT. Synergi Niagatama yang juga mendapatkan izin usaha dalam Kawasan Taman Nasional Komodo dan PT. Flobamora yang sedang mengurus perizinan untuk dapat berinvestasi di Kawasan Taman Nasional Komodo (Sorot Jakarta, 2020). Sementara yang lain ada Direktur utama BPOLBF yang merupakan seorang pengusaha di bidang pariwisata.

Desain Bisnis di TNK

Pada tahun 2019, Direktur Utama BPOLBF Shana Fatina menyampaikan wacana harga tiket masuk Taman Nasional Komodo menjadi 14 Juta atau setara 1000 dollar dalam rangka merealisasi rencana pemerintah untuk menjadikan Labuan Bajo sebagai destinasi pariwisata super premium (Kompas, 2019). Dimana, Presiden Jokowi pernah menyampaikan bahwa pengembangan destinasi super premium Labuan Bajo akan dimulai pada awal tahun 2022. Untuk merealisasikan program tersebut, pemerintah merencanakan Labuan Bajo sebagai destinasi wisata super premium dengan menerapkan sistem membership.

Model Bisnis membership Taman Nasional Komodo dibagi menjadi beberapa segmentasi. Salah satunya segmentasi berdasarkan Demografi. Segmentasi berdasarkan segmentasi ini dilakukan dengan melihat profil kelas sosial atas yang dibagi menjadi tiga (3 cluster) berdasarkan aset Kekayaannya, yaitu Rich (Kaya) 1-5 M USD, very Rich (Sangat Kaya) 5-30 M USD, dan Ultra Rich (Paling Kaya) > 30 M USD. dengan target utama program membership yang dibagi menjadi 3 segmen utama yaitu, Pertama Ultra Rich berlaku untuk Philantropis menjadi first Prioritas (Prioritas utama). Kedua, very rich berlaku untuk Experientialist dan Traditionalist sebagai Prioritas utama dan Vanity-driven Luxury sebagai second Priority. ketiga Rich belaku sebagai non-member dengan fasilitas yang berbeda-beda untuk setiap member.

Jalan Tengah

Dalam upaya untuk meminimalisir terhadap berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam pengelolaan TNK, setidaknya ada empat hal yang menjadi perhatian khusus, yaitu Pertama, mengembalikan orientasi kegiatan konservasi dari yang berbasis pasar ke berbasis ekologi agar kelestarian satwa biawak Komodo tetap terjaga. Kedua, memperhatikan kepentingan masyarakat local dalam setiap pengambilan kebijakan, karena bagaimanapun kerarifan masyarakat local harus tetap terjaga sebagai bagian dari warisan budaya. Ketiga, penting adanya keterlibatan masyarakat dari berbagai sector dalam proses pemngambilan kebijakan. Dengan tujuan kebijakan yang diputuskan bisa mengakomodir kepentingan masyarakat lokal. Keempat, KLHK perlu mengevaluasi dan mempertimbangkan kembali perijinan beberapa perusahaan yang beroperasi di Taman Nasional Komodo.*

Artikel Terkait