Opini

Hukum Besi Oligarki: Koalisi Parpol Pemilu 2024

Oleh : indonews - Selasa, 23/08/2022 17:44 WIB

Girindra Sandino, Eksekutif Caretaker KIPP Indonesia. (Foto: Ist)

 

Oleh: Girindra Sandino*)

“Setiap kepartaian mewakili kekuatan oligarkis yang didasarkan atas basis demokratis” (Robert Michels: Political Party, 1958)

Jakarta, INDONEWS.ID - Pendaftaran partai politik untuk menjadi peserta pemilu sebagai tahapan awal penyelenggaraan pemilu 2024 baru saja ditutup pada 14 Agustus 2022. Sebanyak 40 parpol mendaftarkan diri di Komisi Pemilihan Umum (KPU), namun hanya 24 parpol yang dinyatakan memenuhi berkas dan dokumen persyaratan yang lengkap dan lolos ke tahap verifikasi administrasi.

Proses verifikasi administrasi akan dilangsungkan hingga 11 September. Hasilnya akan diumumkan pada 14 September 2022. Untuk partai parlemen yang berhasil lolos, proses verifikasi administrasi akan ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024.

Sementara parpol non-parlemen yang berhasil lolos verifikasi administrasi, akan menjalani verifikasi faktual di lapangan agar bisa ikut sebagai peserta Pemilu 2024. Ada peristiwa yang menarik dari tahapan pendaftaran parpol peserta pemilu tersebut, yakni beberapa parpol menyatakan kepada publik telah menjalin koalisi politik untuk menghadapi dan sebagai strategi memenangkan pemilu 2024. Misalnya, Partai Gerindra berkoalisi dengan PKB, kemudian Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Partai Golkar, PPP, dan PAN. Di sisi lain Nasdem terus menjalin komunikasi politik dengan PKS dan Partai Demokrat. Sementara PDIP, sebagai partai penguasa belum memutuskan untuk menggandeng parpol lain untuk berkoalisi di pemilu 2024.

 

Koalisi Parpol Pendukung Pemerintah

Saat ini koalisi partai politik (parpol) yang berada di barisan pendukung pemerintah berjumlah tujuh parpol, dengan jumlah raihan suara dan kursi pada pemilu 2019 sebagai berikut: pertama, PDI-P  meraih suara 27.053.961 (19,33 persen), dengan jumlah kursi yang dimiliki di parlemen sebanyak 128 kursi.

Kedua, Gerindra dengan raihan 17.594.839 (12,57 persen) suara, 78 kursi. Ketiga, Golkar  meraih 17.229.789 (12,31 persen) suara,  85 kursi. Keempat, PKB meraih 13.570.097 (9,69 persen) 58 kursi.

Kelima, Nasdem meraih 12.661.792 (9,05 persen), 59 kursi. Keenam, PAN meraih 9.572.623 (6,84 persen), dengan jumlah 44 kursi, dan terakhir ketujuh, PPP dengan raihan 6.323.147 (4,52 persen) suara, 19 kursi. Sehingga total jumlah kursi parpol koalisi pendukung pemerintah sebanyak  471 kursi atau 81,9 persen dari 575 kursi di DPR.

Sementara parpol di luar pemerintah atau oposisi, yakni Partai Demokrat dan PKS hanya memiliki 104 kursi atau hanya 18,1 persen dari total seluruh kursi di DPR, dengan rincian:  Partai Demokrat 10.876.507 (7,77 persen) suara atau 54 kursi di DPR. Kemudian PKS 11.493.663 (8,21 persen) suara atau 50 kursi di DPR.

Untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden nanti di pilpres 2024 nanti,  parpol atau koalisi parpol harus memiliki perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. Demikian bunyi Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Sehingga total jumlah kursi parpol koalisi pendukung pemerintah sebanyak  471 kursi atau 81,9 persen dari 575 kursi di DPR.

Sementara parpol di luar pemerintah atau oposisi, yakni Partai Demokrat dan PKS hanya memiliki 104 kursi atau hanya 18,1 persen dari total seluruh kursi di DPR, dengan rincian:  Partai Demokrat 10.876.507 (7,77 persen) suara atau 54 kursi di DPR. Kemudian PKS 11.493.663 (8,21 persen) suara atau 50 kursi di DPR.

Untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden nanti di pilpres,  parpol atau koalisi parpol harus memiliki perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. Demikian bunyi Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Bahwa perolehan kursi dan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden dengan 20% suara di Pilpres 2024 nanti hanya mampu dipenuhi koalisi parpol pendukung pemerintah yang saat ini berjumlah tujuh parpol seperti disebutkan di atas, dengan jumlah kursi 81,9 persen di DPR. Sementara parpol oposisi, demokrat dan PKS hanya memiliki total keseluruhan kursi di DPR, sebanyak 18,1 persen.

Syarat perolehan kursi tersebut adalah perolehan kursi pemilu sebelumnya yakni pemilu 2019. Artinya masih kurang sedikit lagi jika ingin mengikuti pilpres bagi gabungan parpol di luar pemerintah. Dan otomatis harus menggandeng parpol lain untuk memenuhi persyaratan sebagaimana diatur UU Pemilu.

 

Manuver Politik Parpol untuk Berkoalisi

Di Awal tahapan pemilu, Golkar, PAN, dan PPP resmi menggagas Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), kemudian disusul oleh oleh Partai Gerindra semeakin agresif untuk bisa mengganden PKB dengan nama Koalisi Kebangkita Indonesia Raya (KIR). Sementara di sisi lain Nasdem, Demokrat, dan PKS, sedang menjalani manuver politik untuk berkoalisi untuk menghadapi parpol-parpol yang sudah semakin matang untuk berkoalisi menghadapi pemilu 2024. Namun, PDIP, terlihat santai-santai saja mengingat sebagai parpol penguasa meraih suara 27.053.961 (19,33 persen), dengan jumlah kursi yang dimiliki di parlemen sebanyak 128 kursi, sehingga PDIP bisa berjalan sendiri tanpa harus mengganeng parpol lain.

Akan tetapi, demi stabilitas jalannya pemerintahan ke depan, mau tidak mau PDIP harus mengambil langkah bergabung dengan parpol-parpol besar, agar pemerintahan dan dalam penggodokan Undang-Undang berjalan lancar.

Untuk itu, membaca peta politik yang dipertontonkan elit politik saat ini, berikut ini analisa poliytik kami serta pendapat kami Indonesian Democratic (IDE) Center, sebagai berikut:

Pendaftaran partai politik di KPU merupakan suatu bentu partisipasi politik. Mengutip Miriam Budiarjo “partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok untuk kut serta aktif dalam kehidupan politik…” (Miriam Budiarjo: 1982). Sehingga tahapan awal pendaftaran politik di KPU dari tanggal 1 sampai 14 Agustus memiliki momentum politik yang positif, yakni parpol-parpol tersebut memberitahukan kepada publik sebagai marketing politik bahwa mereka menunjukkan kepada masyarakat berkoalisi untuk menghadapi penyelenggaaan pemilu 2024 demi kepentingan bangsa dan negara serta suksesnya penyelenggaraan pemilu 2024. Dalam hal ini koalisi yang terbentuk cepat memberikan edukasi politik kepada publik serta menggerakan secara aktif partisipasi pemilih dalam pemilu 2024.

Sangat menarik dan fenomenal untuk disimak adalah koalisi Gerindra dan PKB. Gerindra dalam pemilu 2019 kemarin meraih 17.594.839 (12,57 persen) suara, 78 kursi. Sementara PKB PKB: 58 kursi Jumlah suara: 13.570.970 (9,69 persen). Artinya koalisi KIB ini sudah memenuhi syarat untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden di Pemilu 2024.

Kemudian mengapa Gerindra memilih PKB sebagai mitra koalisi politik, karena fakta politik elektoral sejarah Gerindra dari pemilu-pemilu sebelumnya selalu menggandeng kalangan Islam garis keras, dimana tidak sesuai kultur bangsa Indonesia.

Menurut Hantington (2000) ”Identitas-identitas yang sebelumnya memiliki keserberagaman dan hubungan kausal menjadi terfokus dan mapan, konflik-konflik komunal biasanya disebut perang identitas. Memang teori Samuel Huntington tersebut telah menjadi gelombang dan momok yang nyata bagi kebangkitan politik identitas. Sebut saja, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad, yang memenangkan pemilu dengan mengandalkan sentiment Ras dan pribumi. Jair Bolsonaro, politikus sayap kanan Brazil yang memenangkan pemilu, Rodrigo Duterte yang kerap menyatakan pendapat-pendapat kontroversial dan keresahan berhasil menang dalam pemilu Filipina. Kemudian Giuseppe Conte (Five stars), gerakan populisme yang meraih kemenangan pemilu Italia, 2018 lalu.

Sehingga dalam hal koalisi-koalisi politik yang sedang dibangun saat ini Indonesian Democratic (IDE) Center memiliki pandangan sebagai berikut:

Pertama, Koalisi Gerindra dan PKB yang dibangun adalah langkah yang tepat, bahkan bisa meraih kemenangan melawan partai Penguasa yaki PDIP dan sekutuya nanti. Seperti diketahui Perolehan suara PKB berhasil meningkat menjadi 11,29 juta suara (9,04%) pada Pemilu 2014. Jumlah tersebut kembali bertambah menjadi 13,57 juta suara (9,69%) suara sah nasional pada Pemilu 2019. Dengan naiknya perolehan suara, jumlah anggota DPR dari PKB juga bertambah menjadi 58 orang (10,09%) dari total 575 orang untuk periode 2019-2024.

Kedua, Indonesia memiliki social capital yang luar biasa. Berbeda dengan negara-negara lain. Modal sosial itu antara lain adalah banyaknya ormas-ormas keagamaan yang memiliki basis massa dan selalu mengkampanyekan pentingnya rasa persatuan. Sebut saja Ormas keagamaan seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. NU dengan jumlah warganya 91,2 juta jiwa telah berhasil mengharmonisasikan hubungan agama dan negara. Jargon hubbul wathon minal iman (nasionalisme bagian dari iman), adalah diantara kuncinya.

Ketiga, politik identitas di seluruh dunia ada dan tidak akan bisa hilang, tapi lama kelamaan perannya menurun pada tataran kuantitas karena kedewasaan dan kematangan berdemokrasi di tiap negara, karena inklusifisme antar golongan terus meningkat, melumerkan blok-blok budaya (cultural blocks) antar golongan.

Keempat, dan yang terpenting Prabowo sepertinya menghindar dari kelompok-kelompok islam garis keras yang selalu membuat ujaran dan ucapan kebencian, kemarahan, kedengkian, sehingga hal ini membuat masyarakat menjadi takut dan resah. Dan dapat dibilang dukungan ulama-ulama, khususnya yang berlaga keras malah merugikan pada saat  dimana pasangan Prabowo-Sandi dalam menggaet suara pemilih, alias menjadi blunder politik. Karena saat ini masyarakat sudah cerdas dalam hal memilih pemimpin, termasuk siapa pendukungnya. Isu agama sangat sedikit korelasinya dengan peningkatan elektabilitas Prabowo-Sandi saat pemiu 2019.

Kelima, pertemuan para elite politik belakangan seperti Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh yang bertemu Puan Maharani dari PDIP tidak lepas dari kondisi perpolitikan yang ada. Bahwa Indonesia menganut pola pembentukan grand coalition, sebagaimana istilah literatur ilmu politik yang digagas Arend Lipjhart. "Artinya, koalisi yang dibentuk melibatkan banyak partai di parlemen. Ini yang terbaca dari manuver elite politik saat ini. Walau banyak penentangan di internal koalisi. Karena hampir dipastikan untuk membentuk pemerintahan yang kuat diperlukan koalisi Grand Coalition. Bisa jadi yang paling rajin menjalani komunikasi politik akan diikuti parpol-parpol lain.

Keenam, koalisi yang saat ini dibangun lebih cenderung kepada koalisi taktis dan koalisi strategis. Kolisi taktis dibangun untuk tidak memenuhi kepentingan ambisi dan ideologi parpol yang bergabung dan tidak berdasarkan pada keseimbangan sehingga dominasi kekuasaan berada        dan ditentukan oleh parpol besar, sehingga motivasi koalisi sangat pragmatis. Sebaliknya, koalisi strategis dibangun untuk pemenuhan kepentingan visi dan ideologi parpol, dengan maksud membentuk pemerintahan yang kuat dan tahan lama serta membagi kekuasaan yang adil dan demokratis.

Ketujuh, adalah berlakunyan hukum besi oligarki yang harus dihindari dan diawasi bersama-sama oleh kekuatan masyarakat sipil dan kekuatan pers sebagai salah satu pilar dari demokrasi. Hukum besi tersebut yaitu “Setiap kepartaian mewakili kekuatan oligarkis yang didasarkan atas basis demokratis” (Robert Michels: Political Party, 1958).

Menurut Robert Michels, penyebab  utama dalam partai-partai oligarkis adalah kebutuhan teknis yang mendesak kepemimpinan. Kemudian Robert juga menerangan bahwa hukum sosiologis dari partai-partai politik, “hukum besi oligarki” dengan ungkapannya bahwa “adalah organisasi yang melahirkan dominasi oleh golongan terpilih atas pemilih”.

Masih menurut Robert Michels organisasi kepartaian mengetengahkan suatu kekuatan oligarkis yang didasarkan pada basis demokratis. Dimana-mana ditemukan yang hampir tak terbatas dari para pemimpin yang dipilih atas massa pemilih, di sini struktur oligarkis telah mencekik prinsip dasar demokratis, penindasan seolah-olah suatu keharusan.

Sistem kepartaian kita yang menganut sistem multipartai sarat akan hukum besi oligarkis. Sehingga seolah-olah kolisi parpol dengan bangunan kesepakatan demokratis, namun tetap papol besar mendominasi struktur politik yang cenderung melekat hukum besi oligarki, karena basis dasarnya adalah ego politik pemimpin yang dipilih atas nama masa pemilih.

*) Penulis adalah Eksekutif Caretaker KIPP Indonesia

Artikel Terkait