Nasional

Konferensi Pendidikan di Timur Indonesia, Dari Tantangan hingga Solusi Bangun SDM Anak-anak Usia Sekolah

Oleh : Mancik - Sabtu, 24/09/2022 21:55 WIB

Para Nasumber dalam Konferensi Pendidikan di Timur Indonesia.(Foto:Istimewa)

INDONEWS.ID - Gerakan Indonesia Mengajar melaksanakan "Konferensi Pendidikan Di Timur Indonesia` di Gedung A Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Jakarta Pusat pada Sabtu, (24/9/2022).

Konferensi ini menghadirkan para pengajar yang selama ini terlibat dalam mendidik anak usia sekolah mulai dari NTT, Papua hingga Maluku.

Salah satu penggerak pendidikan dari Kabupaten Rote Ndao, Sevrin menceritakan pengalaman membangun gerakan 1000 buku untuk salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur tersebut.

Ia menerangkan bahwa ide tersebut mulai dari titik nol hingga terus berkembang dan mendapat dukungan masyarakat luas.

Dalam penjelasannya, Sevrin mengatakan, kelompok penggerak yang mereka bangun memulai membangun gerakan 1000 buku ini melalui pembangunan taman bacaan di beberapa tempat di Kabupaten Rote Ndao.

Gerakan ini pun berkembang hingga dapat membangun lebih dari 30 taman baca.

"Kita mulai pada tahun 2012, kita mulai dengan gerakan yang namanya gerakan 1000 buku untuk Rote Ndao," jelasnya.

Sevrin kemudian menceritakan perkembangan gerakan 1000 buku untuk Kabupaten Rote Ndao tersebut. Dalam perjalanannya, beberapa anggota yang terlibat melakukan inisiatif untuk mengkampanyekan gerakan ini melalui media sosial FB sehingga mendapat dukungan dari masyarakat.

Menurut Sevrin, banyak pihak yang menyumbang buku-buku yang masih layak untuk dibaca. Dengan demikian, anak-anak semakin tertarik untuk mendatangi taman bacaan yang telah dibangun.

"Kita mulai dengan grup di FB, gerakan 1000 buku untuk RoteNdao, kemudian kita juga dorong yang punya buku bekas bisa donasikan buku bekasnya, akhirnya mereka mendonasikan buku bekasnya," jelasnya.

"Awalnya kita berpikir 1000 buku itu selesai disitu saja, tetapi ternyata puji Tuhan banyak yang berbagi. Awalnya, kita hanya bentuk satu dua taman baca, akhirnya terbentuk menjadi 32 taman baca dan seterusnya," lanjut Sevrin.

Sevrin kemudian menerangkan, gerakan ini terus berlanjut dengan tantangan selalu ada. Berdasarkan komitmen para penggerak pendidikan yang ada, taman baca akan dibangun di setiap kampung.

"Mimpi ini adalah mimpi yang panjang karena butuh bukan hanya gerakan, tetapi kita butuh orang yang punya napas panjang istilahnya maraton. Jadi, kita bergerak, kita berkolaborasi dengan taman baca masyarakat yang kemudian sudah dibentuk tahun 2020 sampai sekarang," ungkapnya.

Pada kesempatan yang sama, salah satu penggerak pendidikan dari Kabupaten Timor Tengah Selatan, Maria Regina Jaga, menceritakan bahwa pembangunan pendidikan di TTS, masih jauh dari kata baik.

Banyak anak-anak yang memilih untuk tidak melanjutkan sekolah karena berbagai macam alasan termasuk karena faktor ekonomi.

Wanita yang akrab disapa Inja ini menerangkan, potret pendidikan di TTS hingga usia Indonsia merdeka 77 tahun, masih sangat tertinggal dengan daerah lain, terutama dengan Indonesia bagian Barat.

Banyak tantangan mulai dari listrik, jaringan internet hingga kondisi jalan tanah yang menyulitkan akses untuk masuk-masuk ke kampung-kampung dan sekolah-sekolah.

"Anak-anak di TTS, ya seperti juga anak -anak di Sabu Rai Jua, di kabupaten wah bagus, di kecamatan atau desa sampai dengan saat ini ketika 77 tahun Indonesia merdeka, kami punya jalan masih jalan tanah, kami masih punya daerah tidak punya listrik dan juga jaringan internet," jelas Inja.

Inja kemudian menerangkan bahwa perkembangan pendidikan di Indonesia terus berkembang, apalagi dengan tuntutan dunia globalisasi yang serba menggunakan teknologi.

Menurutnya, ini merupakan tantangan serius dalam merumukan metode pembelajaran di TTS di tengah kondisi keterbatasan yang ada.

Inja yang merupakan lulusan Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris ini menjelaskan, dirinya menemukan salah satu metode untuk mengajarkan bahasa Inggris kepada anak-anak komunitas binaannya.

Dalam ceritanya, ia menggunakan salah satu permainan lokal yang menghubungkan antara pengetahuan bahasa Inggris dan kearifan lokal yang ada di TTS.

"Saya menggunakan satu permaianan tradisional yang masih saya pertahankan sampai sekarang namanya permainan Siki Doka. Permainan Siki Doka itu mungkin ada juga di Indonesia Barat," jelasnya.

Ia kemudia menceritkan bahwa menggunakan metode ini, bukan tanpa tantangan. Hal ini tidak pernah terlepas dari kemampuan dan daya tangkap anak-anak yang masih membutuhkan bimbingan secara terus menerus.

Namun, ia menjelaskan, dirinya tidak pernah putus asa dengan tantangan yang ada. Dengan metode permainan tradisional yang ada, secara perlahan anak-anak secara perlahan dapat mengusai bahasa Inggris, minimal untuk bahasa sehari-hari dan berkaitan dengan pengenalan lingkungan sekitar.

"Jadi apa salah memadupadankan unsur internasional dalam bahasa Inggris dengan budaya lokal kita yang membantu menjembatani jalannya globalisasi, berbahasaInggris, kemudian cara mempertahankan kultur dan tradisi melalui permainan tradsional dan juga mengajarkan mereka untuk berbahasa Indonesia dan mendapatkan pendidikan yang layak dan sama persis dengan orang yang mengambil pendidikan formal," jelasnya.

Selain itu, Yanto, salah satu penggerak pendidikan dari Pulau Leti Maluku menceritakan pengalaman dalam mendampingi anak-anak usia sekolah. Mengawali cerita terkait pendampingan anak-anak usai sekolah di daerah tersebut, Yanto menekankan, Indonesia Timur pada umumnya masih sangat terbatas dengan berbagai macam fasilitas.

Namun, menurutnya, tantangan yang ada justru menjadi pendorong memulai gerakan mendampingi anak-anak yang membutuhkan pendampingan. Karena itu, Yanto dan rekan-rekan memulai gerakan pendampingan dengan fasilitas yang sangat terbatas.

"Kita tidak bisa bergerak kalau berpikir mulai dari keterbatasan. Itu yang membuat saya dan teman-teman bisa bergerak dalam satu forum kauledo pendidikan. Saya dan teman -teman dikoordinasi oleh seorang polisi yang suka belajar," jelas Yanto.

Dari pengalaman yang ada, kata Yanto, ia dan teman-teman tidak menunggu satu desai kurikulum yang bagus untuk memulai mendampingi anak-anak usia yang sekolah yang ada di daerahnya.

Menurutnya, dengan kemampuan yang mereka miliki saat itu, mereka bergerak untuk membagi ilmu pengetahuan kepada anak-anak dampingan.

"Kita tidak menyusun suatu kurikulum yang bagus dulu. Kita tidak harus punya buku, harus tunggu punya taman baca. Kita bergerak dengan apa yang ada pada kita yaitu semangat kita, yaitu apa, kita mau menolong generasi kita yaitu ilmu yang kita punya," ucapnya.*

Artikel Terkait