Opini

Amoniak sebagai Bahan Bakar bagi Industri Kemaritiman dan Listrik

Oleh : indonews - Senin, 26/09/2022 17:55 WIB

Prof. Atmonobudi Soebagio MSEE, Ph.D. adalah Guru Besar pada Universitas Kristen Indonesia. (Foto: Ist)

Oleh: Atmonobudi Soebagio*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Energi memainkan peran yang krusial ketika masyarakat dunia menyepakati suatu “pembangunan yang berkelanjutan”. Definisi pembangunan berkelanjutan diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Gro Brundtland dkk sebagai “pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masa kini, tanpa membahayakan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya”.  Untuk memenuhi kebutuhan energi bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang, perlu dikembangkan sejumlah teknologi yang mampu mengonversikan energi matahari menjadi energi listrik, maupun energi alternatif lainnya.

Masalah terbesar yang terkait dengan energi matahari adalah tidak stabilnya pancaran sinarnya karena terhalang awan di siang hari. Masalah berikutnya  adalah dalam memastikan tersedianya pasokan energi listrik setelah matahari terbenam. Menyeimbangkan produksi energi bersiklus dan tidak konstan, yang simultan dengan ketidakpastian permintaan energi, menjadi perhatian utama bagi perusahaan-perusahaan penyedia energi listrik di seluruh dunia.

Dalam mengupayakan pembangunan yang berkelanjutan, tampak jelas bahwa kepedulian terhadap lingkungan merupakan bagian dari perhatian yang lebih luas, yang ditujukan pada kesejahteraan dan standar hidup. Lingkungan yang bersih bukanlah tujuan itu sendiri, melainkan merupakan prasyarat penting untuk memastikan bahwa semua wilayah di Indonesia cocok dan menarik untuk hidup, bekerja dan tercapainya kemakmuran bersama. Pasokan energi listrik dan bahan bakar yang memadai dan terjangkau sangatlah diperlukan untuk memenuhi kebutuhan industri, perdagangan dan pengguna energi di seluruh pelosok tanah air serta memungkinkan pergerakan orang dan barang antar kota dan antar pulau.

 

Industri perkapalan dan pembangkitan listrik meninggalkan jejak sangat besar.

Terlepas dari kenyataan bahwa perkapalan adalah alat transportasi yang paling hemat energi, ternyata menimbulkan jejak lingkungan sangat besar. Jika industri maritim diibaratkan sebuah negara, maka dia akan menjadi satu di antara enam penyebab gas rumah kaca (GRK) teratas secara global, yang berarti mengeluarkan 1 miliar ton CO2 setiap tahun; dan tujuh belas dari kapal-kapal terbesar di dunia mengemisikan sulfur sebanyak emisi dari seluruh mobil dunia bila digabungkan. Industri perkapalan memiliki potensi besar untuk mengurangi jejak ekologinya, tetapi saat ini dibatasi oleh beberapa faktor ekonomi makro yang mempengaruhi industri maritim dan dunia pada umumnya. Teknologi untuk mengembangkan sistem propulsi tanpa emisi pada kapal telah ada sekarang ini. Namun, tingginya biaya modal dan operasional, serta masalah keamanan, menyebabkan kurangnya sumber daya untuk memvalidasi konsep dalam kondisi pasar. Akibatnya, pemain yang ada merasa sulit untuk mengadopsi inovasi baru dalam industri yang sangat kompetitif ini.

Pembangkit listrik berbahan bakar fosil, khususnya batubara, juga memilik jejak yang sangat besar di dunia, karena untuk menghasilkan energi listrik sebesar 1 megawattjam (MWh) telah mengemisikan CO2 sebanyak 960 kilogram.  Jejak tersebut belum termasuk PLTN (reaksi fisi) yang meninggalkan limbah nuklir yang masih bersifat radioaktif selama puluhan tahun; bahkan lebih dari seratus tahun.  Penyimpanan limbah nuklir selama puluhan tahun dan biaya perawatan storage-nya yang mahal, menjadi biaya tambahan yang dibebankan di dalam tarif listrik pembangkit tersebut

 

Amoniak sebagai bahan bakar.

Pada bagian ini, penulis meminjam visi dan tujuan dari Proton Ventures (PV), sebuah perusahaan konsultan teknik di Belanda, yang meyakini bahwa alih-alih menyimpan energi listrik dari sumber matahari yang berfluktuasi ke dalam baterai, atau dalam bentuk hydrogen, untuk kemudian diubah kembali menjadi energi listrik, ada pilihan yang lebih baik yaitu menghasilkan produk bernilai tambah secara lokal a.l. amoniak, sebagai pembawa energi potensial pada nitrogen, sekaligus sebagai bahan bakar untuk masa depan. Untuk itu perlu pengembangan dan pengimplementasian pabrik penghasil amoniak yang berkelanjutan, terdesentralisasi, dan skala kecil dan/atau sistem penyimpanan energi untuk berbagai aplikasi, yaitu aplikasi penyimpanan bahan bakar, bahan kimia dan/atau pupuk. Tujuan PV adalah mengembangkan amoniak sebagai bahan bakar pilihan, yang diberi sebutan NFuel.

Karena amoniak adalah bahan kimia berbasis non-karbon, maka tidak ada emisi karbon dioksida akibat penggunaannya. Selanjutnya, seperti yang PV usulkan menggunakan kelebihan listrik dari energi terbarukan untuk memberi daya pada unit NFuel, tidak ada emisi berbahaya yang terkait dengan produksi NFuel. PV membayangkan sistem yang sepenuhnya ramah lingkungan, di mana tidak ada emisi karbon di hulu atau hilir.  Amoniak adalah salah satu bahan kimia bekas terbesar di dunia, dan teknologi untuk memproduksi, menyimpan, dan menangani amoniak telah terbukti, baik dalam skala besar maupun kecil.  Saat ini PV berkerjasama dengan Enviu (perusahaan yang merancang program akselerasi transisi pada sektor maritim non- fosil) dan C-Job (designer kapal) dalam memproduksi sebuah kapal besar berbahan bakar amoniak.

Amoniak memiliki karakteristik yang sangat baik, yaitu: (1) Kandungan hidrogen per satuan volume tinggi; (2) Tekanan uap jenuh pada 20 derajat C kira-kira 9 kali tekanan atmosfer, sehingga amoniak dapat dengan mudah dicairkan dan cocok untuk transportasi dan penyimpanan; (3) Amoniak digunakan secara luas dalam industri pupuk, sebagai bahan baku  kimia, dan sebagai zat pereduksi untuk menghilangkan NOx pada pembangkit listrik termal, oleh karena itu berkembang dengan baik di sektor produksi, transportasi, dan teknologi penyimpanan serta infrastruktur; (4) Amoniak dapat dibakar tanpa diubah kembali menjadi hidrogen.

 

Amoniak sebagai bahan bakar pembangkit listrik OTEC.

Apa itu OTECOTEC, yang merupakan singkatan dari Ocean Temperature Energy Conversion, adalah sebuah teknologi untuk membangkitkan listrik lewat pemanfaatan perbedaan suhu permukaan laut dengan suhu di dasar laut.  Teknologi ini menggunakan turbin berbahan bakar amoniak yang dilengkapi evaporator sebagai penguap amoniak dan condenser sebagai pengembun gas amoniak dalam siklus kerja sebuah turbin.   Dalam proses kerja OTEC, diperlukan suhu air permukaan laut sebesar 25 derajat Celsius dan suhu air di dasar laut sebesar 5 derajat C.  Amoniak akan menguap pada suhu 25 derajat Celsius dan mengembun kembali pada suhu 5 derajat Celsius.  Jadi, ada dua heat exchanger dalam OTEC, yaitu evaporator dan condenser.

Baru-baru ini, Badan Energi Internasional (IEA) telah memasukkan amoniak sebagai bagian dari campuran bahan bakar yang akan digunakan dalam waktu dekat. Gerakan itu muncul karena amoniak dapat berasal dari bahan bakar fosil serta dari sumber yang paling berkelanjutan. Karena produk pembakaran sebagian besar terdiri dari: air dan nitrogen, penerapan bahan bakar amoniak berpotensi menghasilkan energi nol-karbon dan penurunan NOx secara signifikan.  Analisis ini telah dilakukan pada mesin kendaraan bermotor, sedangkan pada pembangkit listrik baru-baru ini mendapatkan minat di berbagai negara. Namun, masih ada kekurangan studi untuk implementasi yang efisien dari teknologi ini, sehingga membutuhkan pekerjaan lebih lanjut untuk menarik dukungan industri.

Bagi Indonesia yang luas lautnya sebesar 62% dari luas seluruh wilayahnya dengan 17.000 pulau, baik yang berpenghuni maupun tidak, memiliki peluang yang sangat baik untuk mengembangkan pembangkit listrik jenis OTEC.  Usulan pengembangan pembangkit listrik jenis OTEC di Indonesia semakin penting dan strategis, mengingat terjadi krisis energi di seluruh dunia serta adanya komitmen bersama di COP-26 untuk mengakhiri penggunaan batubara, demi tercapainya Net Zero Emission pada tahun 2050.  Semoga menjadi perhatian kita bersama.

*) Prof. Atmonobudi Soebagio MSEE, Ph.D.  adalah Guru Besar pada Universitas Kristen Indonesia.

Artikel Terkait