Nasional

Tragedi Kanjuruhan, Pengamat: Mengungkap Masalah Sistemik yang Dihadapi Polisi

Oleh : very - Selasa, 04/10/2022 10:56 WIB

Pengamanan oleh kepolisian dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang, Sabtu (1/10/2022). (Foto: H Prabowo/EPA, via Shutterstock)

Jakarta, INDONEWS.ID - Selama bertahun-tahun, puluhan ribu warga Indonesia telah berhadapan dengan kepolisian yang banyak dikatakan korup, menggunakan kekerasan untuk menekan massa dan tidak bertanggung jawab kepada siapa pun.

Di Ibu Kota Jakarta, misalnya, polisi menembak 10 orang dalam unjuk rasa saat kampanye menentang pemilihan kembali Presiden Joko Widodo pada 2019. Tahun berikutnya, petugas memukuli ratusan orang di 15 provinsi dengan tongkat saat mereka memprotes undang-undang baru. Dan di kota utara Ternate pada bulan April, petugas menembakkan gas air mata ke kerumunan demonstran mahasiswa yang damai, membuat tiga balita sakit.

Dunia melihat sekilas taktik itu pada hari Sabtu, ketika petugas anti huru hara di Kota Malang memukuli penggemar sepak bola dengan tongkat dan perisai dan, tanpa peringatan, menyemprotkan gas air mata kepada puluhan ribu penonton yang berkerumun di stadin Kanjuruhan, Malang. Metode kepolisian memicu penyerbuan yang berujung pada kematian 125 orang — salah satu bencana terburuk dalam sejarah olahraga.

Para pengamat mengatakan tragedi itu mengungkap masalah sistemik yang dihadapi polisi, banyak di antaranya kurang terlatih dalam pengendalian massa dan sangat militeristik. Dalam hampir semua kasus, para analis mengatakan, mereka tidak pernah harus mempertanggungjawabkan kesalahan mereka.

“Bagi saya, ini benar-benar fungsi dari kegagalan reformasi kepolisian di Indonesia,” kata Jacqui Baker, ekonom politik di Murdoch University di Perth, Australia, yang mempelajari kepolisian di Indonesia seperti dikutip nytimes.com, Selasa (4/10).

Selama lebih dari dua dekade, aktivis HAM dan ombudsman telah melakukan penyelidikan atas tindakan polisi Indonesia. Laporan-laporan ini, menurut Ms. Baker, sering sampai ke kepala polisi, tetapi tidak banyak atau tidak berpengaruh sama sekali.

“Mengapa kita terus dihadapkan dengan impunitas?” ujarnya. “Karena tidak ada kepentingan politik untuk benar-benar mewujudkan kepolisian yang profesional,” lanjutnya.

Setelah kekerasan pada Sabtu malam tersebut, para netizen menyerukan agar Kapolri harus bertanggung jawab. Pada Senin malam, hampir 16.000 orang telah menandatangani petisi yang menyerukan polisi untuk berhenti menggunakan gas air mata. Pemerintah bergerak cepat untuk meredam kemarahan publik, menskors Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat dan berjanji mengumumkan nama-nama tersangka yang bertanggung jawab atas tragedi itu dalam beberapa hari.

(Para suporter menyalahkan lilin di pintu depan Stadion Kanjuruhan Malang. Foto: Ulet Ifansasti/Getty Images)

Dia mengatakan, polisi tidak pernah sehebat atau sekejam ini. Selama tiga dasawarsa pemerintahan diktator Suharto, militerlah yang dipandang sangat berkuasa. Tetapi setelah kejatuhannya pada tahun 1998, sebagai bagian dari serangkaian reformasi, pemerintah menyerahkan tanggung jawab keamanan internal kepada polisi, memberikan kekuatan yang sangat besar kepada kepolisian.

Dalam banyak kasus, petugas polisi memiliki keputusan akhir tentang apakah suatu kasus harus dituntut. Menerima suap adalah hal biasa, kata para analis. Dan setiap tuduhan pelanggaran polisi diserahkan sepenuhnya kepada pejabat tinggi untuk diselidiki. Sebagian besar waktu, kelompok hak asasi mengatakan, mereka tidak melakukannya.

Wirya Adiwena, wakil direktur Amnesty International Indonesia, mengatakan “hampir tidak pernah ada” pengadilan atas penggunaan kekuatan polisi yang berlebihan kecuali pada 2019, ketika dua mahasiswa tewas di Pulau Sulawesi selama protes.

Jajak pendapat baru-baru ini menunjukkan penurunan tajam dalam kepercayaan publik terhadap polisi - turun menjadi 54,2 persen pada Agustus 2022 dari 71,6 persen pada April. Jajak pendapat itu dilakukan setelah muncul laporan kasus Irjen Ferdy Sambo, seorang jenderal polisi bintang dua yang membunuh bawahannya dan menginstruksikan petugas lain menutupinya.

Kurangnya akuntabilitas polisi bertepatan dengan anggaran yang membengkak. Tahun 2022, anggaran kepolisian nasional mencapai $7,2 miliar, lebih dari dua kali lipat dari tahun 2013. Anggaran tersebut terbesar ketiga di antara semua kementerian, melebihi anggaran Kementerian Pendidikan dan Kementerian Kesehatan.

Sebagian besar uang itu telah dihabiskan untuk gas air mata, pentungan, dan masker gas.

Andri Prasetiyo, peneliti keuangan dan kebijakan yang telah menganalisis data pengadaan pemerintah selama bertahun-tahun, mengatakan bahwa dalam satu dekade terakhir, Polri telah menghabiskan sekitar $217,3 juta untuk membeli helm, tameng, kendaraan taktis, dan peralatan lain yang dikerahkan selama protes.

Pembelian gas air mata melonjak pada tahun 2017 menjadi $21,7 juta, menurut Andri, setelah Jakarta diguncang oleh serangkaian protes yang melibatkan puluhan ribu orang Indonesia yang memprotes Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam kasus penodaan agama. (www.nytimes.com/2022/10/03/world/asia/indonesia-soccer-stadium-stampede.html)

Artikel Terkait