Opini

Meningkatnya Penggunaan Mobil/Motor Listrik di Indonesia Harus Diimbangi dengan Membangun Pembangkit Listrik Berbasis EBT

Oleh : indonews - Jum'at, 07/10/2022 12:09 WIB

Energi Baru Terbarukan. (Foto: Ist)

Oleh: Atmonobudi Soebagio*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Untuk menghasilkan energi listrik sebesar 1 megawatt-jam (MWh), sebuah PLTU berbahan bakar batubara akan mengemisikan gas karbon dioksida (CO2) sebanyak 960 kg ke atmosfir.  Kapasitas pembangkit menurut jenisnya pada tahun 2021 adalah: PLTU 36,98 gigawatt (GW) atau 50%, PLTGU 12,41 GW (17%), PLTG/MG 8,54 GW (11%), PLTA /M/MH 6,41 GW (9%), PLTD 4,99 GW (7%), dan PLTS 0,15 GW serta PLT EBT lain 2,07 GW, atau secara bersama hanya 3%.  Sementara 12,34% sisanya berasal dari pembangkit listrik non-PLN.  Di luar PLTU yang menggunakan batubara, kita menggunakan PLTGU, PLTG/MGyang berbahan gas alam, dan PLTD yang berbahan bakar minyak solar yang juga tergolong bahan bakar fosil. 

Dari data tersebut, yang tergolong energi terbarukan dan ramah lingkungan hanya PLTA/M/MH dan PLT EBT yang hanya sebesar 12%.  Dan pembangkit yang menggunakan bahan bakar fosil adalah 88% dari total kapasitas daya listrik (databoks.Katadata.co.id).  Jika kapasitas total pembangkit listrik adalah 73,74 GW, maka jumlah total kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar fosil adalah sebesar 59 GW. (catatan: 1 GW = 1.000 MW).  Jadi, akan menimbulkan emisi CO2 di atmosfir sebanyak 496,5 juta ton setiap tahunnya.  Suatu jumlah yang sangat besar dan mengganggu kebutuhan manusia dan makhluk hidup akan oksigen (O2).  Hutan kita memang cukup luas dan dapat menyerap CO2 serta menggantikannya dengan O2, tetapi luas lahannya tidak cukup untuk menghasilkan oksigen tersebut.

Mobil/motor listrik memerlukan energi listrik yang tergolong energi bersih dan ramah lingkungan.  Karena itu adanya kebijakan Pemerintah untuk beralih dari ketergantungan pada BBM dan BBG fosil ke penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) merupakan hal yang patut didukung kita bersama.  Keputusan Pemerintah untuk pencapaian target Zero Emission by 2050 yang telah disepakati bersama dalam COP-26 di Glasgow bulan November 2021, patut kita dukung sepenuhnya.  Sebagai konsekuensinya, seluruh pembangkit listrik berbahan bakar fosil, khususnya batubara, di negara kita harus diakhiri paling lambat 2050.

 

Mobil/Motor Listrik adalah Kendaraan Masa Depan

Mobil/motor listrik di dalam negeri telah semakin meningkat jumlahnya. Namun di sisi lain kita masih mengandalkan pembangkit listrik berbahan bakar fosil, sehingga tidak membawa manfaat dalam mengurangi emisi CO2 di atmosfir kita.  Maka, yang terjadi adalah adanya peningkatan beban-beban listrik baru yang membutuhkan tambahan pasokan daya listrik dari pembangkit-pembangkit listrik yang mayoritas darinya masih berbahan bakar fosil.  Dengan kata lain, masuknya mobil/motor listrik akan berujung pada naiknya kebutuhan batubara dan gas untuk memenuhinya.  Jadi, yang akan terjadi bukan pengurangan bahan bakar fosil, melainkan penambahan pasokan bahan bakar fosil pada pembangkit tersebut.  Atau dengan kata lain, bukan mengurangi batubara dan gas alam; sebaliknya, akan menambah jumlah pasokan batubara dan gas untuk mengisi energi listrik pada battery kendaraan tersebut.

Jika masuknya mobil/motor listrik sudah menjadi kebijakan Pemerintah untuk mendukung target menurunkan emisi CO2, maka perlu segera dibangun pembangkit-pembangkit listrik yang berbasis energi terbarukan; di samping pembangkit yang sudah ada sebelumnya.  Kapasitas total seluruh pembangkit EBT harus lebih besar daripada kebutuhan energi listrik yang diperlukan seluruh kendaraan listrik, baik yang diproduksi di dalam negeri maupun yang diimpor. 

 

Potensi Energi Terbarukan Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis ekuator.  Di samping luas lautnya yang sebesar 62% dari luas total wilayahnya, negara ini juga memilik sejumlah gunung berapi yang merupakan bagian dari Rangkaian Cincin Api di wilayah Asia-Pasifik. Sejumlah pembangkit listrik berbasis energi panas bumi (PLTPB) telah dibangun dan masih akan terus berlanjut. Kapasitas total PLTPB Indonesia saat ini hanya sebesar 2.286 MW, atau 9,8% dari total potensi panas bumi yang sebesar 23.356,9 MW. Untuk itu, pembangunan PLTPB perlu terus dikembangkan kapasitasnya.

Laut yang demikian luas memiliki potensi energi mekanis dalam wujud gelombang, pasang-surut (tidal) dan arus laut, serta perbedaan suhu antara suhu permukaan dan suhu di dasar laut dalam. Perbedaan suhu sebesar 25 derajat Celsius, dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan daya listrik.  Ada teknologi pembangkitan listrik yang dikenal dengan sebutan Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC).  Konsep OTEC pertama kali dikemukakan pada awal 1880-an oleh insinyur asal Perancis, Jacques-Arsene ‘Arsonval sebagaimana dilansir oleh Britannica. Jika PLTU mengandalkan tenaga uap air untuk menggerakkan turbin uapnya, maka OTEC akan mengandalkan tenaga uap amoniak untuk menggerakkan turbin gasnya.  Sebagai pembanding, air mulai menguap pada suhu 40 derajat Celsius, sedangkan amoniak menguap pada suhu 25 derajat Celsius.  Tekanan uap amoniak dapat mencapai 9x tekanan atmosfir.  Teknologi ini telah diterapkan di Hawaii oleh perusahaan bernama Makai Ocean Engineering dengan kapasitas 100 KW, dan cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik 120 rumah di Hawaii.  Hidrogen sebagai bahan bakar gas juga dapat diproduksi di Indonesia dalam lewat proses elektrolisa skala industri karena luasnya laut kita.  Industrinya dapat ditempatkan di pesisir pulau-pulau di Indonesia dan membuka lapangan kerja  baru bagi penduduknya.

 

Rekomendasi

Ijin impor mobil/motor listrik perlu diatur dalam kuota impornya, agar tidak melampaui kapasitas pembangkit-pembangkit listrik EBT yang sedang dibangun.  Di setiap SPBU dapat dipasang unit pengisi battery mobil/motor listrik yang berbasis PLTS yang mana panel suryanya diletakkan di atas atap maupun pekarangan SPBU.  Masyarakat pelanggan listrik PLN juga perlu didorong untuk memiliki PLTS sendiri lewat sejumlah kebijakan prospektif yang membuat para pelanggan tertarik untuk menjadi Prosumer bagi PLN.  Semoga artikel ini dapat membantu memperluas pengetahuan masyarakat  tentang masalah perlistrikan di Indonesia dan tantangannya, sehingga siap mendukung Pemerintah dalam melaksanakan programnya yang berorientasi pada Pengembangan Energi Listrik Berbasis EBT dan tercapainya Zero Emission by 2050.

*) Prof. Atmonobudi Soebagio MSEE, Ph.D. adalah Guru Besar Energi Listrik pada Universitas Kristen Indonesia.

Artikel Terkait