Sosok

Mengenal Rio Sarwono: Legenda Balap Indonesia yang Hobi Kuliah, Ikut Tour Jelajah Flores 1001 Tikungan

Oleh : Rikard Djegadut - Senin, 24/10/2022 17:33 WIB

Rio Sarwono, satu-satu pembalap Indonesia yang meraih piala saat kejuaraan dunia berlangsung di Medan tahun 1997.

Jakarta, INDONEWS.ID - Kepedulian pria satu ini terhadap kuliner tradisional, terutama dari Solo membuatnya mendapat penghargaan berupa gelar KRA dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Pada 2012 silam, pihak Keraton pun akhirnya mewisuda pria kelahiran 15 Februari 1958 ini dengan gelar KRA.

Dia adalah Rio Sarwono, pemilik Warung Solo di bilangan Jeruk Purut dan Resto Solo di Bogor. Kedua tempat makan itu menyajikan makanan khas Solo seperti Nasi Liwet. Berangkat dari kesukaannya makan Nasi Liwet itulah membuat ayah tiga anak ini membuka tempat makan.

Padahal suami dari ketua komunitas Titanium Jakarta ini tidak sepenuhnya tinggal di Solo. Masa kecil Rio hingga kelas dua sekolah dasar dihabiskan di Semarang.

Selanjutnya, anak ketiga dari lima bersaudara ini pindah ke Jakarta. Meski begitu, saat liburan tiba ia selalu pergi ke Solo karena tempat yang dialiri sungai Bengawan Solo itu sudah melekat di hati serta pikirannya. Salah satunya, ketika ia masih duduk dikelas dua sekolah dasar.

Rio kerap mengantar sang Nenek berdagang batik di pasar Klewer. Di pasar banyak pedagang makanan pula. Setiap pedagang makanan lewat, Rio selalu memegang dan memakannya. Setelah kenyang iapun tertidur dihamparan kain batik.

Saat mau pulang, Rio baru dibangunkan Nenek Yoso. Namun, sebelum menuju rumah, ia terlebih dahulu minum es. Kesukaan makan Rio beranjak sampai dewasa. Tak heran ketika liburan di Solo dirinya kerap makan Nasi Liwet.

"Pada waktu buka usaha, intinya sesuatu yang kita senangi. Berhubung saya senang Nasi Liwet, saya jual Nasi Liwet," ujarnya dikutip TNOL di Solo saat menerima penghargaan tersebut.

Bagi Rio, membuka tempat makanan khas Solo bisa mengobati rasa kangen terhadap kampung halaman. Selain itu, ingin memperkenalkan Solo baik dari sisi makanan maupun budayanya kepada masyarakat.

Tak heran, demi menghadirkan nuasa Solo, Rio pun memperkerjakan sekitar 75 persen pelayan dan koki langsung dari sana. Menurutnya, mencari pelayan dan koki dari Solo sangat sulit karena SDM terbatas. Kalaupun ada, mereka lebih menyukai bekerja di Bali.

Tak heran Warung Solo miliknya berkembang. Terbukti di sana terdapat Balai Sarwono. Kemudian ada show room batik yang menjual batik serta tempat belajar membatik. Kebanyakan yang suka belajar membatik dari kalangan asing dan kaum Ibu.

Tak hanya itu, di Warung Solo miliknya pengunjung juga dapat melihat-lihat barang antik. Jika mereka berminat, bisa langsung membeli. Konsumen Warung Solo di Jakarta 90 persen dari kalangan perkantoran. Sementara Resto Solo di Bogor lebih banyak dari kalangan keluarga.

Sebelum memiliki tempat makan, Rio juga sudah memiliki Rumah Saya yang bergaya Solo. Belum lagi Rio juga menjalankan Pendopo Kemang milik Tommy Soeharto.

Berkat itulah, salah satu kerabat Keraton Ibu Kusumo ‘melirik’ kepeduliannya terhadap Solo. Tempat makan itupun menghantarkan Rio mendapatkan penghargaan.

Ketika diwisuda, Rio didampingi sang istri Siska Sarwono. Usai wisuda, keesokan hari Rio menghadiri Upacara Adat Tingalandalem Jumenengan ke enam ISKS Paku Buwono XIII.

Atas penghargaan yang diberikan, Rio mengucapkan terimakasih. "Ada yang menghargai seperti ini saya berterimakasih," imbuh anak dari pasangan W. Sarwono dan Tati Sarwono ini. Nantinya gelar KRA yang Rio dapatkan tidak dicantumkan di depan namanya.

Padahal sebagai salah satu penerima gelar, Rio berhak menggunakan gelar tersebut. "Tidak dicantumkan, ini untuk anak cucu saja," ucapnya.

Menjadi Tentara

Siapa yang mengira kesuksesan Rio Sarwono dalam menjalankan usaha tempat makan, terselip sebuah cita-cita menjadi seorang tentara.

Memang darah tentara mengalir di tubuhnya. Maklum, sang ayah merupakan salah satu anggota TNI. Sebagai anak ia pun ingin seperti sang ayah.

Berhubung menjadi tentara harus jebolan IPA membuat Rio urung lantaran ia masuk jurusan IPS. Masuknya Rio dijurusan itu membuatnya menempuh pendidikan Administrasi Negara di FISIP UI tahun 1978. Cita-cita Rio beralih menjadi Bupati atau Lurah.

"Saya berharap masuk Administrasi Negara bisa menjadi Bupati atau Lurah suatu saat nanti. Suratan tangan akhirnya kerja di swasta," imbuh Rio seraya tersenyum.

Semasa kuliah Rio merupakan pereli nasional. Peringkat lima besar nasional selalu berada di gengamannya. Tak hanya itu, Rio juga sering mengikuti balap tingkat internasional.

Bahkan, dirinya menjadi satu-satunya pembalap Indonesia yang meraih piala saat kejuaraan dunia berlangsung di Medan tahun 1997.

"Jadi dunia balap itu aktivitas utama saya. Kuliah itu hanya hobi. Makanya gelar master saya ada dua. Di kalangan teman-teman, saya terpantau jarang masuk kelas, tapi selalu lulus tepat waktu, bahkan S1 saya, selesai lebih awal," bebernya belum lama ini.

Sebagai pembalap Rio sering mengalami kecelakaan. Namun, tak membuatnya trauma, justru memotivasi dirinya untuk lebih baik lagi. Tercatat Rio pernah mengalami kecelakaan pada tahun 1991.

Ia mengalami patah tulang sehingga menyebabkan dirinya tak bisa berjalan selama satu bulan. Kecelakaan tidak membuatnya berhenti dari dunia balap. Pihak keluarga juga tidak khawatir, melainkan memahami apa yang Rio tekuni.

Saya kenal istri dari sekolah. Bisa dibilang kita Gita Cinta dari SMA. Jadi saya kenal dia sudah ikut-ikutan balap," tutur Rio.

Selain menjadi pembalap ketika kuliah, Rio juga menekuni EO rally.

Setamat kuliah dirinya menjalani EO serta menekuni profesi kontraktor. Profesi ini bangkrut pada 1988 silam. Merasa kurang pintar lantaran usaha kontraktor bangkrut, Rio memutuskan melanjutkan pendidikan S2 di Prasetya Mulya mengambil jurusan bisnis.

Darisana ia mendapat tawaran disebuah perusahaan. Sambil bekerja di perusahaan Rio tetap menjalankan EO rally. Rio hanya bertahan beberapa tahun di perusahaan tersebut, tapi EO rally tetap berjalan. EO ini pernah berkerjasama dengan Yayasan Kemala Bhayangkari hingga tahun 1999.

Disela-sela menjalankan EO, Rio membuka restoran di BRI Tower serta impor es cream dari Italia yang dipadu dalam sebuah restoran. Sayang terjadinya kerusuhan 1998 membuat restorannya harus tutup lantaran konsumen yang dominan orang-orang bule meninggalkan Indonesia.

Begitupula dengan impor es cream. Impor es cream berhenti karena kurs tahun 1998 mencapai Rp 15 ribu. "Terpaksa tutup," kenangnya.
Rio pun mendapat kepercayaan dari Tommy Soeharto dan Tinton Soeprapto menjalankan bisnis media. Berhubung Rio seorang pembalap, ia mengoperasikan sebuah majalah tentang otomotif.

Di sini ayah dari Yama, Ria dan Triska Sarwono belajar dari nol mulai dari distribusi sampai pemasangan iklan. Untuk mendukung kinerjanya, Rio mengambil S2 manajemen media di UI. Sayang majalah tidak bertahan lama. Meski begitu, ia tak trauma menangani media. Baginya media menarik dan memiliki tantangan.

Apalagi ia mempunyai filosofi, kita itu perlu kerja keras dan jujur. Soal rezeki dan soal apa saja sudah diatur Tuhan. Rio menganggap kegagalan-kegagalan yang pernah dialami sebagai pengalaman berharga.

"Yang penting kita usaha, jujur dan berdoa. Urusan uang sudah dari Tuhan yang menentukan," tandasnya.

Artikel Terkait