Bisnis

Pakar Energi UGM: Penyebab Terbakarnya Trafo Gardu Listrik Blok Rokan Harus Dibuka

Oleh : very - Selasa, 13/12/2022 10:06 WIB

Pakar energi dari Universitas Gadjah Madah, Dr. Fahmy Radhi. (Foto: Kagama.co)

Jakarta, INDONEWS.ID – Pakar energi dari Universitas Gadjah Madah, Dr. Fahmy Radhi, mengatakan bahwa penyebab terbakarnya trafo gardu listrik di Blok Rokan harus diperjelas dan dibuat setransparan mungkin. Karena itu, dia meminta PT Pertamina Hulu Rokan (PT PHR), yang mengelola blok tersebut, agar harus terbuka dan jangan ada yang ditutup-tutupi.

"Bahwa fasilitas produksi PHR di Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi Blok Rokan yang dulu dikelola Chveron itu ya harusnya dibuka penyebabnya terbakarnya trafo PHR sehingga mengakibatnya turun hasil produksi minyaknya," ujar Fahmi di Jakarta, Senin (12/12).

Fahmy yang juga pengajar Universitas Gadjamada (UGM) ini mengatakan turunnya produksi di PHR harus dibuka kepada publik.

"Juga intinya jika terbakarnya trafo PHR maka ini juga harus diperiksa apa human error atau trafo itu sudah tidak fungsi karena masih peninggalan Chveron lalu. Tapi jika baru yang kelola PHR maka harus diaudit dan Pertamina bagian operasi di lapangan harus tanggung jawab. Kenapa alat vital untuk produksi migas bisa seperti itu, kan harusnya ikuti SOP yang jelas dengan standar internasional," ungkap Fahmi.

Seperti diberitakan bahwa terbakarnya trafo PHR telah menyebabkan menurunnya produksi minyak di tempat tersebut.

"Kasus trafo kebakaran itu bagian dari rangkaian kasus PHR maka jika anjlok produksi yang infonya 95 ribu barrel dari 165.000 barrel per hari menjadi hanya 70.000 barrel per hari, untuk silakan cek lagi jika benar ama harus diterima kenyataan memang cadangan di sana sudah tak banyak lagi. Kecuali ditemukan sumur baru tapi sampai kini belum ditemukan juga," papar Fahmi. 

Fahmi mengatakan, sebaiknya kasus tersebut harus dievaluasi agar jangan sampai target Kepala SKK Migas untuk memproduski 1 juta barel hanya mimpi di siang bolong. "Itulah angan-angan saja kalau akan hasilnya (tidak sampai) 1 juta barel,” pungkas Fahmi.

Sementara itu, EVP Upstream Business PT PHR Feri Sri Wibowo, ketika dihubungi pada Sabtu (10/12) sempat tak menjawab. Namun dia kemudian mengatakan agar meminta informasi dari Vice President Corporate Affairs PT PHR, Rudi Arriffianto. Rudi kemudian menjawab dengan sebuah rilis, namun tidak menjelaskan berapa produksi minyak setelah kasus kebakaran tersebut. 

Rudi menjelaskan  bahwa sebagian wilayah kerja (WK) Rokan mengalami listrik padam sejak pukul 09.10 WIB akibat peristiwa itu. Namun, kata Rudi, api berhasil dikendalikan pada pukul 10.00 WIB.

“Saat ini tim sedang melakukan investigasi lebih lanjut dan PHR sedang mengupayakan restorasi untuk membangkitkan listrik agar secara bertahap untuk menghidupkan beban dan fasilitas operasi. Beberapa gedung perkantoran sudah mendapat pasokan listrik kembali,” ujarnya.

Namun, Rudi tidak mau menjawab ketika ditanyai terkait produksi Blok Rokan beroprasi normal kembali.

Informasi yang diperoleh yaitu operasi blok tersebut baru kembali pulih paling cepat dalam waktu lima hari. Kerugian akibat kehilangan produksi selama 5 hari diperkirakan mencapai Rp 1 triliun.

Presiden DPP Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Mirah Sumirat, Kamis (7/12/2022) menegaskan perlu adanya sanksi tegas terhadap pejabat-pejabat bagian operasi di lapangan dengan peristiwa itu.

Seperti diketahui bahwa ada beberapa orang meninggal dunia dalam kejadian tersebut.

“Menurut saya kalau ada serikat pekerjanya, itu bagus. Serikat pekerjanya harus segera bersuara dan juga melakukan tindakan-tindakan atau mengambil sikap yang cepat dengan segera melapor ke dinas tenaga kerja dan harus dikawal sampai ke pusatnya, kemudian minta dilakukan pemecatan terhadap pimpinan terkait lantaran lalai,” ungkapnya.

Perusahaan juga diminta harus memperbaiki kondisi kerja. “Kalau tidak diperbaiki, maka kejadian itu akan terulang lagi. Siapa pun pimpinananya kalau sistemnya begini akan terjadi begini terus-terusan,” ungkap Mirah.

Mirah mengatakan, yang paling bagus adalah terjadi perbaikan dari sisi kondisi kerja. “Kemudian kalau tidak ada serikat pekerja, maka tugas dari Disnaker sebagai pihak negara untuk meminta kepada perusahaan untuk menyediakan keselamatan dan kesehatan kerja bagi buruh yang ada di sana,” pungkas Mirah. ***

Artikel Terkait