Nasional

Vonis Mati Tak Segera Dilakukan dan Bisa Berubah Setelah 10 Tahun, Berikut Penjelasan Pemerintah

Oleh : Rikard Djegadut - Rabu, 15/02/2023 09:06 WIB

Jakarta, INDONEWS.ID - Pemerintah memberikan penjelasan terkait vonis mati terhadap seseorang tidak segera dilakukan dan bahkan bisa berubah setelah 10 tahun menjalani hukuman. Hal ini persis terjadi pada Ferdy Sambo, yang menjadi otak di balik pelaku pembunuhan sang ajudan, Brigadir Yosua Nofriansyah Hutabarat alias Brigadir J.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wemenkumham) RI Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan proses kementerian di lembaga pemasyarakatan.

Menurut dia, vonis penjara tak sekadar masuk bui. Setelah menjalani pembinaan di lapas, terpidana harus bisa memastikan dikembalikan ke masyarakat.

"Bila yang bersangkutan tidak diterima masyarakat, tapi tidak mengulangi perbuatannya, serta tidak mengulangi perbuatan tapi bermanfaat bagi masyarakat," kata pria akrab disapa Prof Edy dalam Seminar Sekolah Akpol 2023 di Gedung Serbaguna Akpol Semarang, Selasa (14/2).

Dia juga mengatakan, aturan vonis hukuman mati bisa dievaluasi selama 10 tahun. Apabila selama 10 tahun tersebut berkelakuan baik, maka hukuman bisa diubah.

"Visi integrasi sosial hukuman mati dilihat perilaku selama 10 tahun di dalam menjalani, kalau sikapnya bagus masih punya kesempatan," kata Eddy.

Dia menegaskan, pidana mati di Indonesia berbeda dengan negara lain. Bukan hanya menyangkut persoalan hukum. Namun, pidana mati juga terkait aspek religi, politik dan sosial kemasyarakatan.

Dia juga sering beberapa kali didatangi oleh Duta Besar Belanda, Amerika Serikat, dan Australia lantaran lebih dari 142 negara Uni Eropa yang sudah menghapus pidana mati.

"Jadi persoalan negara kita berbeda dengan negara lain. Tidak masalah hukum semata. Politik, budaya, harus pokok persoalan masalah agama," ungkapnya.

Pihaknya juga telah menyampaikan survei hukuman mati terhadap beberapa responden mengenai apakah setuju tentang hukuman mati terhadap koruptor, bandar narkoba.

Hasilnya, dari 100 responden survei tersebut, sebanyak 80 persen di antaranya setuju dengan penerapan pidana mati. Namun, ketika ditanya apakah setuju teroris dihukum mati, 80 responden yang awalnya setuju, pada umumnya menolak pidana mati.

"Dari 80 persen yang awalnya setuju dengan pidana mati, berubah menjadi 20 persen setuju pidana mati diterapkan," jelasnya.

Artinya, pidana mati tidak hanya menyangkut masalah hukum, tetapi juga menyangkut persoalan politik, agama atau religi, dan sosial kemasyarakatan.

Karena itu, pemerintah mencoba mengambil jalan tengah, yakni hukuman mati adalah pidana khusus bukan lagi pidana pokok atau pidana tambahan. Alasan digunakan atau ditetapkannya pidana khusus karena penjatuhan pidana mati harus betul-betul selektif.*

Artikel Terkait