Nasional

Sudah Disubsidi Besar-besaran, Kok pada Ogah Kawin?

Oleh : Rikard Djegadut - Selasa, 14/03/2023 12:28 WIB

Jakarta, INDONEWS.ID - Jepang akan punah. pemerintah China dan Korea juga panik. Jumlah kematian pertahun jauh lebih tinggi dari angka kelahiran.

Pada tahun 2022 di Jepang, bayi yang lahir cuma 800 ribu orang, tapi jumlah rakyat yang mati ada 1,5 juta jiwa. China jumlah laki-lakinya lebih banyak dari perempuan.

Laki-laki ada 772 juta jiwa, sedangkan perempuan cuma ada 690 juta. Sudah jumlah perempuannya sedikit, perempuan lebih pilih jomblo lagi.

"Ngapain kawin, masih pacaran sudah digebuki, kawin digebuki sampai sudah cerai pun masih digebuki!" cuit seorang warganet China di media sosial weibo.

Cuitan itu bisa jadi gara-gara berita viral model cantik Abby Choi yang dibunuh mantan sang suami gara-gara harta gono-gini dan api cemburu.

Kenapa kemakmuran di negeri negeri Asia Timur membawa penderitaan terhadap keluarga dan mengancam populasi. Beda banget sama Eropa, khususnya negara negara Eropa Skandinavia?

Padahal sama-sama pinter, sama-sama makmur dan punya pemerintah yang keren, peduli rakyat, takut dan malu kalau nyolong (korupsi).

Masalah utama di kehidupan sosial, kesetaraan jender dan sekolah sekolah dan kampus terbaik.

Di Asia Timur Jepang, Korea dan China, laki-laki dan perempuan sama-sama stres setelah menikah. Meskipun subsidi sudah sangat memanjakan, mulai kelahiran, biaya pendidikan sampai uang saku.

Di Jepang, tiap kelahiran negara subsidi sekitar Rp56 juta, uang saku anak SD diberi pemerintah Tokyo 572.000 per anak perbulan.

Tapi itu rupanya tidak banyak yang menolong, sejatinya manusia mencari kebahagiaan dan kualitas hidup. contohnya pola mengasuh anak.

Perempuan setelah cuti hamil melahirkan dan mengasuh anak, laki-lakinya kerja lembur demi kesejahteraan keluarga. Laki-lakinya menjadi stress karena kerja harus banyak lembur, perempuannya juga stres karena karirnya terhambat.

Di Skandinavia, Eropa Utara, ada kesetaraan jender dan penghormatan terhadap perempuan luar biasa, bukan cuma perempuan yang diberikan hak cuti, tapi laki-laki juga ada cuti merawat anak anaknya.

Jadi perempuan bisa sama-sama berkarir dan menabung mimpi bersama demi keberlanjutan kehidupan. Persaingan pendidikan juga tidak terlampau ketat karena sekolah dan kampus-kampusnya punya kualitas hampir setara. Beda dengan Asia Timur, persaingan pendidikan menjadi pertarungan hidup dan mati ?

Bagaimana dengan kehidupan sosial dan pendidikan di Indonesia? Kita santai sajalah, di Karawang usia 20 tahun perempuan sudah jadi janda 5 kali, bukan sesuatu yang tabu.

Mau pendidikan yang ketat dan formal Monggo, yang informal tidak terikat jam dan bayaran murah juga ada. Masukin saja ke pesantren tapi jangan lupa cium tangan pak Kiai. Masa sudah tidak bayar, malas juga cium tangan. Kalau dosen gak perlu cium tangan kan kita sudah bayaran.*(Zaenal).

Artikel Terkait