Bisnis

SVB Bangkrut, Akankah Berimbas Ke Indonesia?

Oleh : very - Sabtu, 25/03/2023 19:34 WIB

Silicon Valley Bank. (Foto: CNN Indonesia)

Jakarta, INDONEWS.ID - Kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) berisiko kecil secara langsung bagi Indonesia. Pasalnya, ada beberapa indikator antara lain perbankan di Indonesia mempunya kecukupan modal yang kuat.

Selain itu, tidak ada juga start up di Indonesia yang terhubung langsung ke SVB bank. Yang tercatat di IHSG memang terjadi guncangan karena pengaruh pasar global.

“Namun ke depan dari sisi moneter dengan jatuhnya SVB Bank bisa mengingatkan para regulator di dunia/USA, mungkin dalam hal SVB bank akan terjadi juga pada beberapa bank lain karena kepemilikan di government bond (obligasi pemerintah) dan beberapa institusi keuangan lain, systematic impact. Masalah utamannya ada pada interest rate,” ujar Peneliti INDEF, Eisha M Rachbini, Ph.D, dalam diskusi Twitter Space bertajuk “SVB Bangkrut, Akankah Berimbas Ke Indonesia” beberapa waktu lalu.

Dia mengatakan, pergerakan interest rate di luar negeri bisa jadi mempengaruhi posisi keuangan dalam negeri yang patut diwaspadai. “Yang harus dilakukan adalah menjaga kestabilan sistem keuangan. Meski di USA sanggup menanggung semua depositor yang ada sebesar 250 ribu USD,” katanya.

SVB bank merupakan salah satu bank yang inovatif di dunia. Dia menjadi salah sebuah bank yang sedang bertumbuh di USA dan 16 bank terbesar di USA meski segmennya di start-up dan venture capital. Banyak yang tertarik berinvestasi di SVB bank venture capital dan startup juga mempunyai deposit di bank itu karena memang sangat inovatif.

SVB bank juga mengalami pertumbuhan asset yang sangat cepat. Pada akhir 2021 SVB mempunyai 116 miliar USD dan naik menjadi 216 miliar USD di 2022. Masalahnya, terjadi liquidity mistmatch antara ketika adanya deposito sebagai tabungan jangka pendek oleh SVB bank ditanamkan ke investasi jangka panjang, di antaranya di government bonds. Sementara government bond saat sebelum pandemic covid 19 memiliki interest rate yang rendah. Hal ini karena kebijakan moneter di bank sentral USA dan beberapa negara waktu itu memang menstimulus perekonomian pasca krisis finansial 2018.

Ketika terjadi pandemi, pergerakan dari interest rate sangat cepat naik atau agresif di USA untuk mengatasi inflasi hingga dengan kenaikan interest rate yang sangat cepat itu nilai asset interest rate SVB jatuh. Nilai interest rate dengan harga government bond menjadi berbanding terbalik hingga assetnya turun.

“Sehingga hal itu merembet pada kepercayaan investor di startup dan venture capital. Muncul keputusan menarik dana di SVB bank namun tidak terdapat dana cukup di situ karena sudah diinvestasikan di longterm bonds. Terjadi mismatch dan tidak bisa mengcover penarikan dana yang sangat cepat dan kemudian collapse,” jelasnya.

 

“Agama Valuasi” Tidak Lagi Jadi Pegangan

Sementara itu, Pemimpin Redaksi (Pemred) Majalah Infobank, Eko B Supriyanto mengatakan, ketika Covid 19 terjadi laba bank-bank di dunia ternyata menjadi terbesar dalam sejarah. Modal Perbankan Indonesia amat besar bisa 24% capital.

“Jadi disebut sebagai lazy bank yang terlalu besar modalnya, CAR bagus. Tapi hal itu bisa memburuk tiba-tiba karena adanya kepanikan pasar. Kepanikan itu yang harus dijaga. Bisa tiba-tiba ada isu beredar dari WA ke WA dan kabar burung lain sehingga kepanikan melanda,” ungkapnya.

Dulu ketika pada 2020, kata Supriyanto, Ketua BPK pernah membuat pernyataan bahwa sedang ada masalah di perbankan. Maka seketika kepanikan terjadi. Nasabah ramai-ramai melakukan penarikan tabungan secara beruntun.

“Oleh karena itu semuanya harus hati-hati dalam membuat statement. Sekecil apapun yang terjadi pada perbankan jika negatif, akan menarik seluruh kepercayaan masyarakat,” katanya.

Pertanyaannya adalah apakah start-up di Indonesia akan lebih sulit ke depan? “Saat ini ‘agama valuasi’ yang dulu dianut oleh start-up tidak bisa lagi dijadikan pegangan. Untung tidak untung tidak masalah, yang penting valuasi. Sekarang ini tidak bisa. Agama valuasi oleh startup ditolak oleh pasar. Tidak ada yang tahan membakar uang tanpa bottom line. Sekarang di seluruh dunia termasuk Indonesia, ‘dewa’-nya adalah bottom-up atau keuntungan,” ujarnya.

Supriyanto mengatakan, PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) saat ini mem-PHK pegawainya hingga 1300 orang agar memperoleh laba. Dikatakannya, perbankan saat ini hampir tidak ada yang memberi kredit ke start-up atau tidak menjadi dominan.

“Karena perbankan di Indonesia jauh lebih hati-hati, ada jaminan dan lain-lain baru diberikan kredit. Kebanyakan bank memberi hanya dalam kerja sama venture capital, baru nyambung ke investor-investor lain. Indonesia tetap tradisional dalam cara pemberian kredit. Walaupun mengaku sudah menjadi bank digital,” ujarnya.

Karena itu, hampir seluruh perusahaan start-up di Indonesia telah mem-PHK karyawannya. Di dunia juga terjadi hal yang sama. Google, Silicon valley, dan lain-lain semua mem-PHK karyawan.

“Jadi semua kembali ke tujuan inti yaitu mencari keuntungan. Tidak ada lagi menjual valuasi dan sebagainya. Istilah ‘membakar uang; telah selesai pada 2021-2022. Saham start up tidak lagi laku,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait