Nasional

KPK Versus Korupsi Militer, Hukum Rusak Semua Roda Kehidupan Ikut Rusak

Oleh : very - Selasa, 01/08/2023 13:46 WIB

Diskusi Paramadina. (Foto: hasil tangkapan layar)

Jakarta, INDONEWS.ID – Pengawasan terhadap jalannya lembaga pemerintahan maupun lembaga hukum sangat penting dilakukan. Betapa tidak, jika sebuah lembaga hukum rusak maka semua rodak kehidupan juga akan ikut rusak.

Demikian disampaikan Rektor Universitas Paramadina, Prof Didik J. Rachbini dalam diskusi publik melalui platform twitter space yang diselenggarakan Universitas Paramadina, Senin (31/7/2023).

Didik mengatakan hal tersebut menanggapi kejadian yang saat ini menimpa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasca penangkapan Kepala Basarnas Marsekal Madya (Marsdya) Henri Alfiandi (HA) dan Letkol Administrasi Afri Budi Cahyanto (ABC) selaku Koorsmin Kepala Basarnas dalam kasus suap proyek alat deteksi reruntuhan. Dalam kasus tersebut, KPK juga ikut menangkap beberapa pihak swasta sebagai pemberi suap.

Dia mengatakan, ada tiga hal yang menjadi penyebab terjadinya kasus tersebut. Pertama, karena kehidupan demokrasi secara umum telah berjalan mundur, dan rusak bahkan telah masuk ke jurang. “Hal itu mempengaruhi situasi hukum dan hukum mempengaruhi demokrasi,” ujarnya.

Kedua, karena faktor partai politik yang memilih pimpinan KPK. Faktor partai politik yang memilih ini semakin tidak terkendali. “Partai adalah institusi yang paling tidak dipercaya karena korup. Pimpinan KPK sekarang dipilih dengan cara dagang sapi yang menghasilkan pimpinan seperti sekarang ini,” katanya. 

Ketiga, karena KPK dilemahkan secara sistematis di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dia mengatakan, KPK hendak dilemahkan sejak 15-20 tahun yang lalu, di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pasalnya, DPR merasa terganggu karena ratusan kadernya harus berurusan dengan KPK.

Namun, saat itu, Presiden SBY tidak setuju karena itu pelemahan tidak terjadi. Tetapi ketika Presiden Jokowi setuju maka KPK ikut dilemahkan. Saat ini, KPK menjadi lembaga yang bungkusnya independen tetapi sesungguhnya menjadi bagian dari pemerintah.

Narasumber lain yaitu Dr Dipo Alam menyatakan bahwa ada 2 persoalan yang terjadi saat ini.

Pertama, persoalan etis dan kedua persoalan legal formal. “Korupsi adalah kejahatan luar biasa. Secara etis mestinya yang kita prioritaskan adalah bagaimana memberantas kejahatan luar biasa ini,” katanya.

Menurut Dipo, pernyataan Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak yang mengaku khilaf dan meminta maaf atas penetapan tersangka Kabasarnas merupakan pernyataan yang secara etis luar biasa bermasalah karena telah mendemoralisasi semangat pemberantasan korupsi dan men-downgrade substansi penegakan hukum menjadi hanya soal prosedural belaka.

“Padahal kita tahu penetapan tersangka atas dua personel militer aktif tersebut lahir dari operasi tangkap tangan dan bukan dari pengembangan kasus biasa. Apalagi ada  bukti-bukti, ada video, ada uang dan sebagainya,” ujar Dipo.

Menurutnya, tidak benar jika ada penilaian bahwa anggota TNI yang terlibat dalam kasus Basarnas tersebut hanya bisa diadili melalui Pengadilan Militer.

Dia mengatakan, Undang-undang Pengadilan Militer menjelaskan tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang masuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan Peradilan Militer maka harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

“Dalam pasal 47 ayat 3 undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI disebutkan bahwa para prajurit TNI yang ditempatkan di luar institusi militer harus tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan itu,” paparnya.

Basarnas, kata Dipo, merupakan lembaga dengan jabatan sipil. Oleh karena itu kasus hukum yang menjerat pejabat Basarnas semestinya tunduk pada peradilan sipil. Prajurit hanya tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer.

“KUHAP menyampaikan suatu pesan kuat untuk mendahulukan peradilan umum daripada Peradilan Militer,” lanjut Dipo. 

Kredibilitas KPK memang sedang banyak dipertanyakan. Namun hal itu tidak harus membuat upaya penegakan hukum pemberantasan korupsi dipaksa harus tunduk kepada kekuatan tertentu dalam hal ini militer.

“Kita tidak boleh mem-framing kasus yang menjerat Basarnas ini dalam frame Polri VS TNI. Hanya kebetulan pimpinan KPK adalah perwira polisi dan Kabasarnas yang ditersangkakan adalah personel militer,” ujarnya. 

Dipo mengatakan, baik polisi maupun tentara jika brengsek maka tetap harus sama-sama diadili dalam sebuah peradilan yang transparan. Transparansi itulah yang dipertanyakan publik seandainya kasus ini jadi ditangani oleh peradilan militer.

“Agar komplikasi kasus semacam ini tidak muncul lagi maka semua perwira polisi dan TNI yang ditugaskan di berbagai lembaga sipil sebaiknya harus dipensiunkan kan diri dari jabatan kesatuannya. Jika ada masalah tidak muncul polemik yang muncul seperti yang ada sekarang,” ujarnya.

 

KPK Kehilangan Roh dan Nilai

Dosen Universitas Paramadina, Asriana Issa Sofia mengatakan bahwa kasus Basarnas ini memang seharusnya diproses di peradilan umum karena melibatkan anggota TNI aktif tapi sedang bertugas di lembaga sipil sehingga seharusnya KPK bisa yang berperan dalam tindakan hukumnya.

“Kasus Basarnas ini memang menciderai kepercayaan publik. Korupsi apapun tidak hanya merugikan secara keuangan negara, tapi banyak dampak-dampak yang lain, salah satunya adalah kepercayaan publik dan ini tidak bisa disepelekan,” tuturnya. 

Kasus korupsi sama dimata hukum. Dia harus equality before law, entah militer maupun sipil. “KPK sudah babak belur, sudah minta maaf dan lain lain, dan juga banyak kritik kepada KPK karena sebetulnya dari undang-undang masih bisa melakukan peradilan umum,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama Saut Situmorang mengungkapkan bahwa kondisi ini dimulai dari bencana undang-undang 19/2019, yaitu KPK kehilangan roh dan valuenya. KPK yang sebelumnya menjadi lembaga independen kini berubah menjadi dependen.

“Hal ini bisa kita ambil contoh, yaitu pemberantasan korupsi yang tadinya bebas conflict of interest, akuntabel dan transparan tetapi kini bergeser,” ujar Saut. 

Hal itu, kata Saut, karena revisi UU KPK disetujui oleh Presiden Jokowi. “Kalau Jokowi mau membuat Perpu dia menjadi presiden terkeren sepanjang sejarah. Tapi kenyataannya kan harapan itu tidak datang. Jadi presiden paling dipertanyakan dalam sejarah pemberantasan korupsi. Dan itu sudah terbukti dalam sejarah mulai dari tahun 95, indeks persepsi korupsi itu naik terus tapi di era dia terjadi penurunan 6 poin lebih,” paparnya.

 

Demokrasi Berada di Ujung Tanduk

Sementara itu, Peneliti LP3ES Wijayanto menyatakan dengan adanya kejadian yang berlangsung beberapa waktu terakhir ini, nasib demokrasi di Indonesia berada di ujung tanduk.

“Mengutip Samuel Huntington bahwa dalam suatu negara yang mengalami transisi demokrasi seperti di Indonesia ada 2 kemungkinan yang akan kita lihat. Pertama kita akan mengalami konsolidasi demokrasi atau kita akan gagal melaluinya dan kembali ke otoritarianisme,” katanya.

Demokrasi di Indonesia, katanya, mengalami kemunduran bahkan putar balik ke arah otoritarianisme. Kalau kita periksa dengan seksama momentum titik nadir demokrasi tersebut dimulai pada tahun 2019.

Saat itu ada peristiwa revisi UU KPK yang tetap dilakukan meskipun ratusan ribu aktivis mahasiswa turun ke jalan di kota besar di seluruh Indonesia termasuk 2 orang yang meninggal.

“Pemerintah bersama DPR tetap mengesahkan UU KPK. Ini adalah peristiwa besar pertama dimana kita mengalami demokrasi tanpa demos, demokrasi yang mengabaikan suara warga negara. Selanjutnya kebijakan yang mengabaikan warga negara seperti New Normal, Omnibus Law, RKUHP, wacana penundaan pemilu, presiden 3 periode, kemudian dimentahkan karena ada protes,” bebernya.

Peristiwa KPK meminta maaf kepada TNI, katanya, menyiratkan 2 hal. Pertama, kekhawatiran para aktivis bahwa revisi UU KPK akan melemahkan KPK sudah terjawab hari ini.

“Dan hal ini juga terjadi dengan adanya Indeks Persepsi Korupsi yang semakin buruk. Kemunduran demokrasi yang serius adalah ketika militer kembali mengintervensi kehidupan sipil, kecenderungan ke arah sana semakin menguat,” ujarnya.

Wijayanto mengatakan, hal besar yang terjadi di hadapan kita adalah bahwa kita mengalami situasi dengan kemunduran demokrasi di Indonesia yang berada jauh dari titik nadir.

“Kalau kemarin kita sudah sampai di titik nadir maka kita sudah akan sampai pada tepi jurang dan bisa terjun ke jurang otoritarianisme selama-lamanya seperti pada masa Orde Baru. Kita mesti ingat bahwa untuk sampai pada reformasi kita telah menempuh perjalanan yang sangat panjang,” ujarnya.

Karena itu, kata Wijayanto, situasi ini seharusnya menjadi wake up call bagi kita semua untuk mengatakan, “How low Can you go it has to stop now”.

“Harus berhenti sekarang atau kalau tidak kita akan kesulitan menjelaskan kepada anak cucu kita nanti bahwa demokrasi yang telah kita perjuangkan sekian lama kemudian kita wariskan kepada mereka telah berakhir kembali kepada otoritarianisme,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait