Nasional

Pers Sedang Mengalami Disrupsi dan Kualitas Jurnalis Menurun

Oleh : very - Jum'at, 15/12/2023 16:50 WIB

Diskusi bertajuk “Fatsoen Politik dan Media: Menuju Media sebagai Pilar dan Bukan Perusak Demokrasi”, pada Selasa (12/12). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - The Lead Institute Universitas Paramadina menggelar diskusi bertajuk “Fatsoen Politik dan Media: Menuju Media sebagai Pilar dan Bukan Perusak Demokrasi”, pada Selasa (12/12).

Diskusi yang berlangsung secara daring ini dimoderatori oleh Tri Wahyuti, M.Si, Selasa (12/12/2023).

Penulis dan Pemikir Islam, Dr. Haidar Bagir, menyampaikan bahwa akses sosial media saat ini telah menggantikan media konvensional baik cetak maupun elektronik yang tumbuh dari berbagai website, portal, dan lain sebagainya.

“Sosial media memberikan kesempatan bagi semua orang untuk mengirimkan berita yang disajikan sebagai suatu kebenaran. Tulisan yang sensasional, adalah semata-mata hal yang half truth tetapi bukan berarti memberikan setengah kebenaran, tetapi benar-benar hal yang salah,” kata Haidar.

Haidar berpendapat bahwa Indonesia cukup maju dengan UU ITE. Tetapi Indonesia harus mengoreksi pasal-pasar karet yang cukup membahayakan, seperti pasal mengenai pencemaran nama baik.

Narasumber lainnya yaitu Rizal Nova Mujahid dari Drone Emprit memaparkan peta media sosial terkait KPK Taliban, Capres-Cawapres 2023, Pilpres 2024, pemilu dan lain sebagainya.

“Narasi yang dibawa oleh media turut direspon dengan baik, tetapi banyak sekali isu-isu lain yang membawa isu-isu politik identitas lain pada tahun 2023,” ujarnya.

Dr. Agus Sudibyo, Peneliti Media dan Mantan Dewan Pers menyebutkan bahwa Keadaan pers secara global sedang tidak baik-baik saja. “Pers mengalami disrupsi dan kualitas jurnalis mengalami penurunan,” katanya.

Agus juga memaparkan bahwa lama-kelamaan masyarakat berada dalam kondisi tidak bisa lagi membedakan media media konvensional, media massa, ataupun media sosial karena semuanya sama saja.

“Media sosial menyajikan dan memberikan model-model baru, distribusi, dan monetisasi konten sehingga disebut sebagai friend and enemy secara bersamaan,” ungkap Agus.

Tetapi dalam diplomasi digital, lanjut Agus, media sosial disebut sebagai musuh dari media konvensional. “Dalam konteks ini, menyajikan good content, dan good journalism bukan hanya sekadar diamanatkan oleh undang-undang tetapi dengan alasan bisnis dan harus ada diversity content,” ujar Agus.

“Polarisasi yang muncul hendaknya direspon oleh media massa untuk kembali sebagai pers pilar keempat yang menjadi pilar publik yang beretika,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait